Jalanan di sekitar Rumah Sakit Nasser dibanjiri limbah. Seluruh sistem drainase telah rusak setelah berbulan-bulan pertempuran sengit dan pemboman oleh pasukan Israel. Wilayah Palestina, Mei 2024. © Ben Milpas/MSF
Jalanan di sekitar Rumah Sakit Nasser dibanjiri limbah. Seluruh sistem drainase telah rusak setelah berbulan-bulan pertempuran sengit dan pemboman oleh pasukan Israel. Wilayah Palestina, Mei 2024. © Ben Milpas/MSF
JAKARTASATU.COM – Isabelle Defourny, Presiden Médecins Sans Frontières (MSF)-Prancis, dan Christopher Lockyear, Sekretaris Jenderal MSF, telah beberapa kali mengunjungi Gaza sejak Oktober 2023. Berikut kisah kesaksian mereka. Mereka menyaksikan penderitaan yang tak terbayangkan, termasuk di wilayah yang secara sepihak dinyatakan sebagai “kawasan kemanusiaan” oleh Israel, namun tetap menjadi sasaran serangan secara rutin. Meski begitu, rekan-rekan MSF melaporkan situasi yang jauh lebih parah di Gaza utara, di mana akses sepenuhnya tidak memungkinkan. Di wilayah yang mencakup Beit Hanoun, Jabalia, dan Beit Lahia ini, kondisi telah memburuk menjadi mimpi buruk nyata, menyoroti kebutuhan mendesak akan perhatian dan tindakan internasional.
Selama berminggu-minggu, masyarakat di distrik Gaza utara seperti Beit Hanoun, Jabalia, dan Beit Lahia menghadapi salah satu serangan paling kejam dan brutal sejak awal perang. Wilayah ini terus-menerus dibombardir oleh pasukan Israel, yang sekali lagi memilih menyerang tanpa pandang bulu di area yang luas, sehingga menyebabkan korban sipil dalam jumlah besar. Di saat yang sama, pasukan Israel mengeluarkan perintah evakuasi yang mustahil untuk dilaksanakan. Di antara mereka yang mencoba meninggalkan wilayah tersebut, banyak yang dilaporkan mengalami penahanan sewenang-wenang, sementara yang lain ditembaki atau dibombardir saat mereka melarikan diri.
Fakta bahwa perintah evakuasi mulai dikeluarkan 48 jam setelah operasi militer di kamp pengungsi Jabalia bulan lalu menunjukkan bahwa pasukan Israel tidak berniat untuk menyelamatkan warga sipil. Peringatan-peringatan ini hanya bersifat kosmetik.
Hingga baru-baru ini, beberapa rekan kami dan anggota keluarga mereka masih terjebak di distrik-distrik ini, menyaksikan sendiri ketidakmanusiawian yang terjadi. Dua di antaranya hingga kini masih tidak dapat melarikan diri. Mereka hidup dalam ketakutan dan dengan alasan yang kuat: pada 10 Oktober, rekan kami, Nasser Hamdi Abdelatif Al Shalfouh, tragisnya meninggal akibat luka pecahan peluru di kaki dan dadanya di Jabalia. Beberapa hari kemudian, pada 14 Oktober, seorang fisioterapis MSF dan anaknya terluka akibat pecahan peluru. Pada 24 Oktober, serangan Israel di sebuah bangunan menewaskan Hasan Suboh, staf MSF lainnya, di Khan Younis, Gaza selatan. Nasser dan Hasan adalah rekan MSF ketujuh dan kedelapan yang tewas di Gaza sejak 7 Oktober 2023.
Setelah dua minggu pengepungan total, pasukan Israel kini mengizinkan beberapa truk mengirimkan bantuan kemanusiaan di Gaza utara. Namun, mereka masih mencegah bantuan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan besar di wilayah tersebut, secara efektif mengurangi jalur kehidupan bagi ribuan orang. Sejak Oktober, tingkat bantuan yang diizinkan masuk ke Gaza utara, maupun seluruh Jalur Gaza, belum pernah serendah ini.
ig@msf_indonesia
ig@msf_indonesia
Rumah sakit berada di bawah ancaman perintah evakuasi atau langsung diserang. Pada awal Oktober, pasukan Israel mengepung tiga rumah sakit utama di Gaza utara—RS Indonesia, Al-Awda, dan Kamal Adwan—sementara ratusan pasien dilaporkan berada di dalamnya.
Pada 22 Oktober, salah satu tenaga medis kami yang berlindung di dalam RS Kamal Adwan yang dikepung menggambarkan situasi di dalamnya sebagai bencana, dengan jumlah pasien yang luar biasa banyak dan kekurangan pasokan medis serta peralatan untuk merawat mereka. Ini terjadi sebelum rumah sakit tersebut diserang dan digerebek oleh pasukan Israel antara 25 dan 28 Oktober, kemudian dibom berulang kali—termasuk stok obat-obatannya—dalam beberapa minggu terakhir.
Di Gaza utara, infrastruktur medis telah dihancurkan atau hanya sebagian yang masih berfungsi. Ini membuat rumah sakit tidak mampu merawat pasien, terutama yang mengalami luka kritis yang pada akhirnya divonis mati. Kami mendengar kisah memilukan tentang pasien yang meninggal karena kekurangan listrik. Selama minggu-minggu terakhir Oktober dan minggu pertama November, jumlah konsultasi medis di klinik MSF di Kota Gaza lebih dari dua kali lipat, akibat kedatangan pengungsi dari Gaza utara.
Meski serangan di Gaza utara tampak sangat kejam, ini tampaknya merupakan kelanjutan logis dari strategi yang diadopsi pasukan Israel sejauh ini di Gaza. Sejak awal perang, sebagai respons terhadap pembantaian brutal yang dilakukan Hamas pada 7 Oktober 2023, kami menyaksikan dengan ngeri ketika pasukan Israel memulai kampanye pengeboman tanpa pandang bulu. Kampanye ini dilakukan sambil mengeluarkan perintah evakuasi yang didasarkan pada kebohongan tentang keberadaan “zona aman,” di mana warga sipil bisa berlindung dari kekerasan.
Sepanjang kampanye kematian dan penghancuran oleh Israel, pola kekerasan yang tak terbayangkan telah muncul dengan jelas: warga Gaza dipaksa memilih di antara dua hal yang mustahil. Mereka bisa tetap tinggal, melanggar perintah evakuasi, dan dianggap sebagai target sah hingga dibunuh, atau dibiarkan tanpa akses kebutuhan dasar. Alternatif lainnya adalah melarikan diri dengan risiko kehilangan nyawa, baik selama perjalanan maupun di tempat tujuan baru. Pada saat yang sama, tidak ada harapan bagi mereka untuk mencapai tempat yang benar-benar aman di luar Jalur Gaza, karena semua titik penyeberangan telah ditutup sejak Mei 2024. Kami telah berulang kali menyerukan agar titik-titik penyeberangan ini dibuka kembali dengan jaminan bahwa hak untuk kembali bagi warga tetap terjamin.
Selama beberapa minggu terakhir, pembicaraan di Gaza telah ramai mengenai apa yang disebut ‘Rencana Para Jenderal’ atau ‘Rencana Eiland’ di kalangan pasukan Israel. Rencana ini bertujuan untuk menghapus keberadaan warga Palestina di bagian utara Gaza, baik dengan membunuh mereka, memaksa mereka keluar, atau membiarkan mereka mati kelaparan jika tetap tinggal. Cara serangan di Gaza utara saat ini dilancarkan, ditambah dengan bahasa dehumanisasi yang digunakan otoritas Israel terhadap warga Palestina, semakin memperkuat dugaan bahwa kita sedang menyaksikan pelaksanaan rencana ini.
Kekejaman demi kekejaman terus menumpuk pada tingkat yang belum pernah kami saksikan selama pengalaman kami bekerja dengan MSF di beberapa krisis kemanusiaan paling akut dalam beberapa dekade terakhir. Israel telah membunuh lebih dari 43.000 orang, termasuk hampir 14.000 anak-anak, dan melukai lebih dari 100.000 lainnya, menurut otoritas kesehatan di Gaza. Tim medis kami menyaksikan langsung kengerian dari kampanye pengeboman yang tanpa henti ini: anak-anak dengan luka bakar di seluruh tubuh dan wajah, banyak yang mengalami patah anggota tubuh setelah tertimbun reruntuhan selama berjam-jam, ada yang harus menjalani amputasi tanpa anestesi, dan mayat demi mayat yang terus berdatangan ke fasilitas medis kami.
Pasukan Israel secara konsisten gagal melindungi warga Gaza dan terus melakukan penghancuran Jalur Gaza, membuatnya tak lagi layak huni. Selama kunjungan kami, bahkan ketika kami telah mengantisipasi hal terburuk, kami terkejut dengan tingkat kehancuran yang luar biasa: rumah, sistem air dan listrik, sekolah, universitas, masjid, gereja, rumah sakit, arsip publik, situs bersejarah semuanya rata dengan tanah, mencapai lebih dari 66 persen bangunan yang ada, menurut PBB. Beberapa dari 800 rekan kami di Gaza menceritakan bagaimana ofensif Israel telah menghancurkan struktur sosial, harapan, bahkan kenangan mereka; benda-benda, foto, dan penghubung lain dengan masa lalu mereka telah hancur. Semua komponen masyarakat telah dihancurkan.
Pada Januari 2024, Mahkamah Internasional memerintahkan Israel untuk menghentikan pembunuhan terhadap rakyat Palestina, mengakhiri pemindahan paksa dari rumah mereka, memastikan akses mereka terhadap bantuan kemanusiaan, dan mengambil semua langkah yang ada untuk menghentikan penghancuran kehidupan di Gaza. Sepuluh bulan kemudian, tidak ada upaya nyata untuk mencegah genosida. Sebaliknya, pasukan Israel terus membunuh banyak orang dan dengan sengaja menghalangi pengiriman bantuan. Keputusan parlemen Israel, Knesset, pada 28 Oktober untuk melarang UNRWA merupakan pukulan terbaru yang menghancurkan upaya memberikan bantuan kepada warga Palestina. Sudah lebih dari cukup waktu bagi Israel untuk berhenti terang-terangan mengabaikan putusan Mahkamah Internasional, dan bagi para sekutunya untuk mengakhiri dukungan terhadap kampanye penghancuran warga Palestina di Gaza.|WAW-JAKSAT