Vox Netizen Vox Dei, Penjual Es Teh dan Asta Cita Budaya
DALAM sepekan ini warga-net (netizen) Indonesia dihebohkan dengan viralnya hujatan pada perlakuan merendahkan seorang ulama pada seorang penjual es teh. Tak tanggung-tanggung dampaknya pada Perdana Menteri Negeri Jiran, Malaysia, Anwar Ibrahim yang sampai merespon dan merasa prihatin.
Presiden Prabowo sendiri menanggapi serius secara langsung pengunduran diri sang ulama tersebut dari jabatan meterengnya: Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan.
Penjual Es Teh, Sunhaji yang kebanjiran empati, khususnya berlimpahnya dukungan netizen tak hanya secara moral namun mengirimkan rezeki finansial ratusan juta yang langsung diterima di rumahnya, di Magelang. Penjual es teh itu dari sudut perspektif lain; bisa jadi memperkokoh pameo lawas Vox Populi Vox Dei, Suara Rakyat adalah Suara Tuhan di awal berkembangnya demokrasi modern, sejak revolusi Prancis awal abad ke-18.
Semboyan klasik yang diikhtiarkan melawan frasa Vox Rei, Vox Dei, Suara Raja adalah Suara Tuhan, pada abad 21 ini kemudian bertransformasi menjadi Vox Netizen Vox Dei, Suara Netizen adalah “Suara Tuhan”. Momentum itu dalam konteks negeri ini adalah representasi wong cilik di Indonesia yang mampu mendulang dukungan jutaan suara Netizen, menghentak kembali secara organik di dunia siber.
Bakul es teh sederhana dari Magelang itu mengingatkan kita pada Prita Mulyasari, 15 tahun lalu, dengan gerakan Koin Prita menggema dengan pengumpulan masal uang dalam bentuk koin yang dilakukan untuk mendukungnya— meski berbeda konteks bahwa Sunhaji mewakili warga dan ulama yang melecehkan itu mewakili “negara”, sedangkan pada kasus Prita, adalah warga (Prita) melawan “korporasi privat-global”.
Perempuan sederhana, pasien yang tidak puas dengan layanan Rumah Sakit Omni Internasional Serpong, Tangerang, Banten yang berawal dari surat elektronik yang ditulis Prita Mulyasari dan menyebar di internet. Kompas melaporkan terkumpul uang sebesar Rp 810,940 juta dan koin Peduli Prita Butuh 2,5 ton recehan pada 2009/2010.
Sunhaji dan Prita, meski dalam rentang waktu dan konteks berbeda, yakni “warga vs negara dan warga vs korporasi” memiliki muara sama. Yakni, yang bisa kita beri makna bahwa tentang kepedulian atas kesetaraan antara sesama warga negara, empati yang meluas di pelosok Tanah Air. Selain itu, yang terpenting adalah pencarian keadilan bagi masyarakat kecil di negeri yang menjunjung demokrasi dan acapkali tersumbat ekspresi privat warganya; yang kemudian beririsan dengan ingatan kolektif publik.
Dunia Maya dan Resiko Demokrasi
Indonesia dan hampir seluruh negara-negara di dunia, sepuluh tahun terakhir memang gamang menyikapi eksistensinya dalam menganut sistem berdemokrasi. Jika berkomitmen menegakkan negara demokrasi dan hukum sebagai pranata tertinggi tatkala segala hal terekam dan diawasi di dunia maya. Saat sama, justru melemahnya lembaga-lembaga tinggi demokrasi, jika di Indonesia seperti parlemen/DPR dan kekuasaan tinggi kehakiman/ MA dan MK.
Dua lembaga tinggi tersebut yang tak setajam lagi mengontrol keberadaan kebijakan Pemerintah; yang memunculkan dilema: suara netizen akan memperkuat demokrasi atau justru melemahkan dengan fenomena buzzer dan influencer yang dibayar oleh lembaga eksekutif/ kepresidenan untuk mensosialisasikan program-program pemerintah yang mungkin saja kurang layak diterapkan pada publik.
Demokrasi benar-benar tertaut secara niscaya dengan eksistensi suara Netizen, jika melihat statista.com, yaitu program komputer untuk analisis statistika yang dikembangkan oleh perusahaan StatSoft bahwa Amerika Serikat memiliki pengguna internet 331,1 juta, sedangkan Brazil 187,9 juta pengguna diusul oleh Indonesia dengan 185,3 juta pengguna internet. Dari data lain, yakni We Are Social dengan wearesocial.com, total populasi negeri kita, dari 276,4 juta orang yang memiliki perangkat telepon genggam yang terhubung sejumlah 353,8 juta, yakni 128%, lebih dari total populasi (jika satu orang memiliki lebih dari satu telepon genggam).
Sedangkan pengguna Internet, sebesar 212,9 juta pengguna yang sama dengan 77% dari total populasi. Sementara itu, Facebook yang ditemukan pada 4 Februari 2004 oleh Mark Zuckerberg, seorang mahasiswa Harvard, maka media sosial menjadi kekuatan baru saling terkoneksi antar warga dengan aplikasi lain lebih dulu lahir semisal Twitter/X (2003), Youtube (2005) dan Whatspp (2009). Maka, meledaklah pengguna media sosial di dunia siber yang aktif di negeri ini, yaitu 167 juta pengguna aktif, yang berarti sekitar 60,4% dari total populasi Indonesia saat ini (2024).
Dari data itu, seturut Indonesia Corruption Watch (ICW), pada 2020 dilaporkan bahwa pemerintah pusat telah mengeluarkan anggaran belanja untuk influencer mencapai Rp 90,45 miliar. Para influencer ini dibayar untuk melakukan sosialisasi program-program pemerintah.
Dari sejumlah data yang dihimpun ABC Indonesia, dalam kurun waktu 2020 sampai 2024 ini, tercatat pemerintah melibatkan influencer setidaknya tujuh kali. Mulai dari mensosialisasikan penanganan virus corona, kampanye 10 titik destinasi baru untuk mempromosikan pariwisata, rancangan undang-undang Cipta Kerja, kereta cepat, RKUHP, sosialisasi penerimaan peserta didik baru, dan yang paling netizen menyadari ada kebijakan yang keliru adalah IKN (Ibu Kota Nusantara).
Dalam dunia yang telah bergeser dan berinteraksi antar warga di dunia maya, lebih dari sepuluh tahun ini, pemerintah menggunakan influencer untuk sebuah kebijakan atau memperihatinkannya “proyek yang bermasalah”, sebagai apa yang disebut ICW, misalnya, dengan proyek IKN sebagai “investasinya tak ada yang masuk dari luar negeri, penemuan masalah dari sisi pengadaan barang dan jasanya pun tak berjalan sesuai target’, ujar seorang petinggi Koordinator Korupsi Politik di ICW.
Lamat-lamat, semboyan Vox Netizen Vox Dei mendengung di benak, fenomena es teh dan Sunhaji dari Magelang itu menumbuhkan harapan, tentang keadilan hari ini masih terhampar, terutama pada semangat netizen secara organik menggerakkan empati publik.
Asta Cita dan Strategi Budaya
Menafsirkan Vox Netizen Vox Dei dari perspektif budaya menarik untuk diulas menimbang bahwa empati sosial yang ditunjukkan oleh warga net dari penjual es teh yang viral adalah bagian dari nilai-nilai yang terus berkembang di masyarakat.
Kebudayaan yang tak diringkus dalam konteks hanya seni dan warisan benda tradisi dan etnik, membuka cakrawala tak habis-habisnya membuka kemungkinan-kemungkinan sistem paling sahih mengakses dan mengelola serta memfasilitasi warisan tak benda dan nilai-nilai pengetahuan yang terus-menerus untuk membangun dialektika atas warga dan negara.
Visi tinggi Pemerintahan baru adalah delapan jalur pembangunan yang disebut Asta Cita. Pemerintah bercita-cita ‘sakral’ mengokohkan ideologi hingga menjamin demokrasi. Selain itu, upaya untuk pemantapan sistem pertahanan negara dan mendorong kemandirian bangsa lewat swasembada pangan hingga ekonomi kreatif, memperkuat pembangunan SDM, sampai menyoal reformasi politik, hukum dan birokrasi.
Penulis mencatat ada tiga poin penting dalam Asta Cita yang beririsan dengan ruang-ruang terbuka dan demokratis untuk tetap memfasilitasi ekspresi masyarakat secara kultural tak akan dihambat dengan UU ITE, Undang Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Nomor 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) — terutama suara Netizen, yakni pendekatan yang disebut oleh Asta Cita.
Pertama adalah pernyataan tentang pemantapan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru.
Dalam konteks ini, penulis membayangkan bahwa negara sudah selayaknya mempercayai warganya, bahwa sistem pertahanan dan keamanan bangsa selalu berbanding lurus dengan kemandirian, yakni ikhtiar ekspresi komunal yang tidak dihambat yang berarti kemandirian warga untuk mengembangkan potensi pengetahuan lokalitasnya, intelektual pun nilai-nilai kulturalnya.
Yang pada akhirnya, memberi kontribusi kongkrit pada negara pun bangsanya; yang di saat sama pemerintah memfasilitasi dan tidak berprasangka buruk.
Yang kedua, adalah meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas, mendorong kewirausahaan, mengembangkan industri kreatif, dan melanjutkan pengembangan infrastruktur.
Dari irisan Asta Cita dan Budaya, yakni peningkatan dan membuka lapangan kerja yang berkualitas, terutama industri kreatif berbasis budaya, menurut penulis kuncinya pada pengembangan secara sungguh-sungguh sumber daya manusia lokal yang majemuk.
Penerapan sistem tak setara dengan dikotomi pusat-daerah di masa lalu; yang memberi ruang- ruang koruptif jelas-jelas bertentangan dengan tantangan iklim meritokrasi abad ke-21, yakni kompetensi para pelaku ekonomi kreatif berbasis kultur lokal.
Selama ini kantung-kantung komunitas yang tersebar seantero Nusantara belum terdata secara sahih dan kemampuan lokalitas estetiknya pun jejaring sistem perekrutan dan pembinaan keahlian di bidangnya.
Desain kebijakan UU Pemajuan Kebudayaan belum mengarusutamakan pelaku masyarakat sipil (civil society)-seniman, ilmuwan, ulama dan para profesional pun akademisi dan pelaku/praktisi kultural sebagai ujung tombak kebudayaan.
Emansipatoris publik, merupakan syarat mutlak — sesuai dengan fenomena Netizen yang tak terbendung– dalam terwujudnya empat langkah strategis perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan tersebut di UU Pemajuan Kebudayaan.
Yang ke-3, seperti dicatat penulis cita-cita tentang Asta Cita, yakni memperkuat penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan, alam, dan budaya, serta peningkatan toleransi antar umat beragama untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan dan peningkatan toleransi adalah mustahil bagi penulis, jika prasyarat keadilan pada kesempatan edukasi dan aksesbilitas selain keadilan kesetaraan geografis dan lokalitas budaya tak dijamin dalam sebuah UU secara tersendiri.
Kita acapkali mengandaikan sebuah baju sempit yang kita pakai, pasti sesuai ukuran orang lain yang kita paksa untuk nyaman dipakai.
Sunhaji, si penjual es teh itu meski ditawari umroh dan permintaan maaf terbuka di media sosial oleh sang ulama, dan ia (Sunhaji sendiri) menerima; bagi netizen tak cukup. Keadilan kemudian terurai tatkala pengunduran diri sang ulama sebagai wakil “penguasa” ditunaikan.
Bambang Asrini Widjanarko, pemerhati sosial, seni dan budaya
Kalau Anda di Kanan, Sering-Seringlah Menoleh ke Kiri, Kalau di Kiri Sering Seringlah Menoleh ke Kanan
Hendrajit
Analis Geo-Politik
Spektrum kiri ini memang luas, membentang dari...
Konflik Politik Jokowi Vs PDIP, Muslim Arbi: KPK Jadi Alat Tekan!
JAKARTASATU.COM-- Analis Politik Muslim Arbi mengatakan publik sudah mengetahui sejak lama konflik Jokowi dengan...
Microculture Konoha: Wanita yang Memasang Bulu Mata di atas Kereta Api
By Buni Yani
Praktik memasang bulu mata di tempat umum adalah microculture yang merupakan serpihan...
Mengapa yang paling Berpengalaman pun Bisa Menjadi Korban?JAKARTASATU.COM - Evolusi AI tidak hanya memengaruhi berbagai industri, tetapi juga telah mengubah taktik para pelaku kejahatan...
PAGAR LAUT 30 KM ALAT BUKTI KEJAHATANby M Rizal FadillahPenyegelan pagar laut oleh pihak Kementrian Kelautan Perikanan (KKP) patut untuk diapresiasi, meskipun janggal bin...