Ilustrasi Kebakaran Bukit Hollywood | WAW-AI

Kota yang Terbakar

Cerpen
Wahyu Ari Wicaksono
Entah apa penyebabnya, kafe kecil di pinggiran Los Angeles ini ternyata masih selamat dari jilatan api. Meski tak luput dari sesaknya kepulan asap kebakaran yang tertiup angin, di kafe ini beberapa warga masih bisa menyempatkan diri untuk nongkrong dan ngobrol secukupnya. Di antaranya adalah empat jiwa yang sebenarnya juga merasa miris dihantui oleh ancaman kehangusan: Greta si penyair gagal, Antonio si pemadam pensiun, Clara si agen asuransi yang hidupnya senantiasa beraroma uang, dan Daryl si pengungsi tanpa nama besar. Mereka duduk mengelilingi meja, secangkir kopi hitam yang sudah dingin dan hamper beku menjadi saksi bisu percakapan yang mereka lahirkan.
“Lihat kota ini,” ujar Greta, matanya nanar memandang keluar jendela, “seperti puisi yang dicoret-coret hingga tak terbaca lagi.”
Antonio mengangguk pelan, wajahnya dikerutkan oleh kenangan yang sebagian sudah hangus. “Api adalah penulis yang kejam. Dia tidak butuh tinta, cukup berbekal angin Santa Ana dan semak-semak kering untuk menjeadikannya sebagai tragedi.”
Clara mendengus, mengaduk kopinya yang sudah tiga kali disiram susu agar Kembali hangat. “Haduuuh mungkin buat kalian itu puisi. Tapi buatku? Itu sebuah statistik. Lima ribu rumah lenyap, sepuluh nyawa melayang, hampir satu juta orang kehilangan tempat tinggal. Dan itu baru laporan minggu ini. Belum pasti”
Daryl, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. Suaranya serak, seperti daun kering yang terinjak. “Tapi apa kita pernah benar-benar memiliki tempat tinggal? Rumah itu ilusi. Hari ini kita di sini, besok kita jadi debu.”
Semua hening, kecuali sayup dan samar-samar suara sirene polisi dan pemadam kebakaran di kejauhan. Mereka tahu, di luar sana, kebakaran masih terus menari liar, seolah-olah Los Angeles adalah pesta pribadi mereka.
“Kerugian ekonomi?” Clara melanjutkan dengan nada sinis. “$57 miliar, lebih besar dari PDB negara kecil. Tapi coba tebak, siapa yang membayar? Aku rasa bukan mereka yang membakar kembang api di hutan saat pesta ulang tahunnya.”
“Atau mereka yang membangun rumah di perbukitan, dekat bahan bakar alami,” tambah Antonio. “Kami selalu bilang, jangan tinggal di sana. Tapi siapa yang peduli? Orang lebih takut kehilangan pemandangan matahari terbenam daripada nyawa.”
Greta tersenyum pahit. “Mungkin karena mereka tahu, di kota ini, matahari selalu terbenam. Tidak ada pagi. Tidak ada harapan. Hanya abu.”
Daryl memandang ke arah Greta, matanya seperti kaca yang retak. “Kau tahu apa yang paling menyakitkan? Aku kehilangan foto-foto anakku. Bukan karena kebakaran, tapi karena aku terlalu sibuk menyelamatkan televisi tua. Apa kau percaya itu?”
Clara, untuk pertama kalinya, tidak punya jawaban. Dia menatap kopinya yang sekarang benar-benar sudah sangat dingin, seperti menyalahkan cairan hitam itu atas semua yang terjadi.
“Los Angeles,” Antonio berkata perlahan, “adalah kota yang lupa cara memadamkan api. Bukan hanya api hutan, tapi api keserakahan, api ego. Kita menyalakan terlalu banyak api, lalu heran kenapa semuanya terbakar.”
Di luar, angin Santa Ana mendesir lirih, membawa aroma kayu yang hangus dan mimpi yang mati. Mereka sangat paham, percakapan ini tidak akan menghentikan kebakaran. Tapi di dalam kafe kecil itu, setidaknya mereka memiliki sesuatu yang tidak bisa dibakar oleh api yaitu cerita.
“Mungkin kita semua adalah sisa-sisa abu dari api yang lebih besar,” ujar Greta, suaranya seperti puisi yang hampir selesai.
“Atau mungkin,” kata Daryl, “kita adalah percikan. Pertanyaannya, maukah kita menyala lagi?”
Dan di tengah kota yang terbakar, di bawah langit yang merah membara, mereka diam-diam berharap untuk menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar debu. []