Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Prof. Jimly Asshiddiqie menilai bahwa tidak ada pilihan lain untuk Indonesia selain menjadi Negara Pancasila karena hal tersebut sudah final.
“Tidak ada pilihan karena Negara Pancasila sudah final. Berharap sudah ideal hari ini tidak mungkin. Biar kita menikmati dinamika ini,” tuturnya dalam seminar “Indonesia di Persimpangan Negara Pancasila dan Negara Agama” di Jakarta
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pertama di periode 2003–2008 tersebut berpendapat bahwa menegakkan aturan tidak perlu menunggu sampai aturan sempurna.
“Ya sudah ditegakkan secara alamiah. Pengadilan menciptakan keadilan tidak bisa menunggu undang-undang sempurna. Tidak akan,” ujarnya alumni Program Doktor Riset (doctor by research) ilmu hukum di Van Vollenhoven Institute dan Fakultas Hukum (Rechts-faculteit) di Universitas Leiden pada 1990 itu.
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang Hukum dan Ketatanegaraan pada 2009-1010 tersebut menegaskan bahwa proses penegakan hukum memberikan pendidikan meskipun hasilnya belum tentu sesuai harapan.
Bahkan, anggota Tim Ahli Panitia Ad Hoc Perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Perwakilan RI pada 2001-2002 itu mengemukakan bahwa proses mengadili adalah proses mendidik ke arah harmoni beradab.
Selain itu, Jimly menilai konservatisme dalam masing-masing agama merupakan masalah yang serius karena menyangkut kehidupan bersama.
“Sebagai Negara Pancasila, Tuhan kita semua itu dzat sama. Sebaiknya masyarakat bersatu menghadapi hedonisme global bersama,” kata Ketua Dewan Penasihat Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) tersebut.
Ada pun gerakan intoleransi dan fundamentalisme agama mulai mengusik dan mengancam kebhinekaan yang selama ini dalam pengayoman Pancasila sebagai faktor utama pemersatu bangsa Indonesia, demikian Jimly Asshiddiqie. |RMN