WAW-AI
WAW-AI

Remaja Diarak Gara-Gara Curi Pisang Untuk Makan?

Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Pada sebuah senja Dukuh Pangonan, di mana bayang-bayang pilu menyatu dengan harapan yang tersisa, terlontar sebuah kisah yang menebar nelangsa lebih dari sekadar peristiwa. Di Desa Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati itu, nasib pilu seorang remaja yatim piatu menorehkan cerita duka yang sungguh mengiris hati.
Konon karena lapar yang mendera sekeluarga, bocah itu terpaksa mencuri pisang demi mengisi perut adiknya. Dan sialnya,justru kini ia terpaksa diarak keliling kampung dengan mengabaikan seluruh rasa malu yang harus dipikulnya.
Tidakkah di balik berisik kelakar, cemoohan dan tatapan sinis mereka yang tega mengaraknya, ada terbersit pelajaran hidup yang memanggil jiwa-jiwa kita untuk merenunginya dalam-dalam?
Dalam lika-liku perjalanan hidupnya yang tidak beruntung, kisah bocah ini bagaikan puisi tragis yang ditulis dengan tinta air mata. Kehilangan ibunya tujuh tahun lalu dan kepergian ayahnya yang entah ke mana, telah meninggalkan lubang keterpurukan yang begitu dalam. Ia yang harus mengemban tanggung jawab merawat adiknya yang masih duduk di bangku sekolah, terpaksa memilih jalan yang tak mudah. Setiap langkahnya seolah berkata, “We can do no great things; only small things with great love.” Seperti yang diungkapkan dengan lembut oleh Mother Teresa, bahwa dalam hal-hal kecil terkandung kekuatan cinta yang luar biasa.
Kisah bocah ini tentunya tidak hanya sekedar tentang pencurian setandan dua tandan pisang semata, melainkan kisah tentang betapa getirnya hidup yang menuntut pengorbanan habis-habaisan. Di tengah canda, tawa masyarakat dan pencitraan para pejabat, ia terpaksa menandatangani surat pernyataan bersama sang kakek, sebuah surat pernyataan dengan janji siap mengganti kerugian sebesar Rp250.000 kepada sang pemilik kebun.
Dus, sebersit ironi kehidupan pun tersaji. Saat banyak yang menikmati kenyamanan, ada jiwa-jiwa yang dipaksa harus menolak hantaman rasa lapar demi bertahan hidup. Di situ, terbayanglah apa yang pernah diucapkan Mahatma Gandhi, “The best way to find yourself is to lose yourself in the service of others.” Dalam pengabdian kecil yang tulus, kita menemukan makna kehidupan yang sejati.
Tak ketinggalan, menyeruak juga bayang-bayang Martin Luther King Jr. yang turut menghampiri dan mengingatkan bahwa “Darkness cannot drive out darkness; only light can do that. Hate cannot drive out hate; only love can do that.” Di tengah hiruk pikuk kritik dan cemoohan, sinar kasih yang kecil namun menyala itu mampu mengusir kegelapan yang merundung hati. Kisah bocah ini seakan menyuarakan betapa perihnya ketidakadilan, sekaligus menyalakan lentera harapan bagi kita semua untuk kembali merenungi apa sebenarnya arti kemanusiaan yang haqiqi.
Melalui lara bocah pencuri pisang yang sederhana, tersirat panggilan hati untuk tidak hanya menatap sejuknya kenyamanan perut kita sendiri, melainkan panggilan untuk merangkul setiap jiwa yang terabaikan. Boleh jadi di balik setiap helai kulit pisang yang terkelupas, tersimpan doa dan asa—sebuah bisikan lirih bahwa hidup, meski dipenuhi duka, tetaplah layak untuk dirayakan dengan kehangatan cinta.
Marilah kita dengarkan nyanyian lara sang bocah pencuri pisang yang bercerita tentang perjuangan, harapan, dan keikhlasan. Biarkan kisah ini menjadi pengingat bahwa kasih sayang yang tulus dapat mengubah perih menjadi harmoni, dan bahwa setiap kita memiliki peran untuk menghapuskan kegelapan dengan seberkas cahaya cinta yang bisa selalu kita nyalakan. Tabik.