Terperosok Ilusi AI, Hoax Staf Khusus Mencakar Wajah Komdigi
Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Di tengah maraknya disinformasi di era digital, kasus yang menimpa Stafsus Bidang Stratkom Menkomdigi, yang kini tengah menjadi perbincangan hangat, seakan membuka kembali luka lama tentang kepercayaan publik terhadap aparat pemerintah. Dugaan penyebaran hoax yang dilakukan oleh pejabat publik—dalam hal ini Rudi Sutanto (atau yang dikenal juga dengan nama Rudi Valinka dalam dunia buzzer dan media sosial) —tidak hanya menyulut kemarahan netizen, tetapi juga memicu perdebatan mendalam mengenai etika komunikasi, mekanisme verifikasi informasi, dan strategi branding dalam ranah pemerintahan.
Memang di era digital sekarang, kecepatan informasi sering kali mengalahkan keakuratan. Kasus Staf Khusus Bidang Strategi Komunikasi Kementerian Informasi dan Digital (Komdigi) yang diduga menyebarkan hoax tentang kewajiban retreat kepala daerah ini tentunya bukan sekadar insiden administrative semata, melainkan cerminan tantangan struktural dalam komunikasi publik modern. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Bagaimana institusi pemerintahan dapat mempertahankan kredibilitas di tengah arus disinformasi yang begitu deras?

Kronologi dan Konteks Insiden
Kisah bermula ketika seorang warganet melalui akun @LaiElfrid mengajukan pertanyaan mengenai dasar hukum yang mewajibkan kepala daerah mengikuti retreat di Magelang pada Februari 2025. Tak lama setelah itu, akun @kurawa mengunggah foto yang mengklaim menampilkan Pasal 164 ayat (1) dari UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, penelusuran mendalam mengungkap bahwa teks tersebut sebenarnya mengatur susunan pimpinan DPRD kabupaten/kota, bukan kewajiban retreat. Koreksi ini segera disampaikan oleh akun @murtadhaone1, yang menampilkan teks asli pasal tersebut. Dalam kasus ini, diduga Rudi Sutanto telah terjebak teknologi kecerdasan buatan (AI) khususnya ChatGPT (Generative Pre-training Transformer) saat mencari UU tersebut. Mungkin Rudi lupa bahwa AI seringkali ngelantur dan memberikan informasi fiktif dan imajinatif saja. Ia abai bahwa dalam pemanfaatan teknologi ChatGPT pengguna harus memenuhi kaidah etika dan menghindari memasukkan data yang belum tervalidasi untuk permasalahan yang serius.
Dus, insiden ini memicu kemarahan netizen dan kekhawatiran serius tentang integritas penyebaran informasi oleh pejabat publik. Masyarakat mulai mempertanyakan apakah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Komdigi) benar-benar memiliki sistem verifikasi internal yang memadai untuk mencegah penyebaran hoax.
Strategi Komunikasi dan Branding Pemerintahan
Dalam konteks transformasi digital, integritas informasi menjadi fondasi utama kepercayaan publik. Dr. Rhenald Kasali, seorang akademisi dan praktisi bisnis terkemuka di Indonesia, menekankan, “Di era digital, kecepatan informasi harus selalu diimbangi dengan verifikasi yang cermat. Kesalahan dalam penyebaran data dapat merusak kepercayaan masyarakat secara fundamental.”
Pernyataan ini mencerminkan urgensi bagi setiap institusi pemerintah untuk tidak hanya fokus pada penyampaian pesan, tetapi juga memastikan bahwa setiap informasi yang disebarkan telah melalui proses validasi yang ketat.
Memang dunia digital saat ini memfasilitasi penyebaran informasi dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Claire Wardle, co-founder First Draft, seorang pakar internasional dalam verifikasi fakta, mengingatkan, “Platform digital memberikan ruang bagi narasi palsu untuk menyebar dengan kecepatan dan skala yang belum pernah kita lihat, sehingga menantang mekanisme tradisional dalam pengecekan fakta.”
Pernyataan Wardle menggarisbawahi bahwa algoritma media sosial, yang didesain untuk memaksimalkan engagement, sering kali justru menjadi jalur utama bagi disinformasi.
Dari perspektif akademik, Dr. David Lazer, profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan salah satu peneliti terkemuka mengenai misinformation, menambahkan, “Disinformasi berperilaku seperti penyakit menular di era digital—menyebar lebih cepat daripada kebenaran, yang menuntut respons sistematis dalam verifikasi dan edukasi publik.”
Pandangan Lazer menekankan perlunya inovasi dalam metode deteksi dan respons terhadap hoax agar masyarakat tidak terjebak dalam siklus informasi palsu.
Strategi Krisis dan Peran PR
Ketika sebuah institusi menghadapi krisis komunikasi, transparansi dan respons cepat adalah kunci pemulihan kepercayaan. Timothy Coombs, profesor di Texas A&M University dan pakar krisis komunikasi, menyatakan, “Dalam situasi krisis, respons yang terbuka dan segera sangat penting untuk memitigasi kerusakan reputasi dan memulihkan kepercayaan publik.”
Menurut Coombs, mekanisme krisis yang efektif tidak hanya mencakup klarifikasi atas kesalahan, tetapi juga penegasan komitmen institusi terhadap perbaikan sistem dan akuntabilitas.
