Duel Visual Sengketa Tagar Cuaca Indonesia, Adu Gelap vs. Cerah?
Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Di era digital yang semakin didominasi keunggulan visual sekarang ini, sering kali kita mendapati ledakan kreativitas di ranah digital visual —-mulai dari meme, poster, hingga kampanye daring yang menyentuh isu-isu sosial. Sepertinya masyarakat tau warganet semakin terbiasa mengungkapkan pendapat dan perasaannya lewat gambar dan tipografi, bukan semata-mata lewat untaian kata.
Lihat saja fenomena di jagat media sosial Indonesia yang memanas belakangan ini -—yang dipicu oleh viralnya tagar #IndonesiaGelap dan disambut oleh kontra-narasi #IndonesiaCerah—- menjadi potret menarik bagaimana ‘cuaca sosial’ bisa tergambar jelas lewat karya visual. Berbagai desain kreatif mulai bermunculan, entah berupa poster, meme, hingga ‘parodi visual’ yang memancing tawa dan sekaligus mengajak kita merenung.

Tarung Idealisme via Visual
Semua bermula dari serangkaian poster bertuliskan “Indonesia Gelap” dengan ilustrasi yang mengekspresikan keresahan publik terhadap isu-isu yang dirasa kurang transparan, penuh kontroversi, atau menimbulkan kekecewaan. Lalu, lahir reaksi kreatif—mereka yang menyatakan diri “optimis” menyuarakan “Indonesia Cerah,” seolah menepis aura negatif dengan semangat positif. Uniknya, tak lama kemudian, bermunculan pula variasi lain seperti “Indonesia Cemas,” “Indonesia Gerah,” bahkan “Indonesia Parah,” menandakan kian beragamnya opini dan respons masyarakat.
Jika ditilik lebih dalam, fenomena ini adalah bukti nyata bahwa “desain adalah bahasa universal.” Publik menumpahkan aspirasi, keprihatinan, dan harapan mereka dalam wujud visual yang mudah dicerna. Alih-alih meledak-ledak dalam kata-kata kasar, mereka mengubahnya menjadi karya yang memicu senyum dan rasa penasaran. Tidak berlebihan jika kita menyebutnya sebagai cara berdebat yang lebih beradab dan lebih kreatif.
Memang, perang argumen di media sosial sering kali akhirnya berujung pada upaya saling serang dan lontaran umpatan kasar. Namun, gerakan “#IndonesiaGelap vs. #IndonesiaCerah”kali ini mungkin masih menunjukkan contoh yang berbeda. Saat ini orang-orang masih saling menimpali dengan desain kreatif. Daripada menghina, mereka memilih berekspresi. Perdebatan visual ini jauh lebih konstruktif, menghadirkan “permainan kata” dan ilustrasi yang memancing tawa daripada memancing amarah.
Seperti kata Pablo Picasso, “Everything you can imagine is real.” Imajinasi publik Indonesia rupanya tak terbatas. Imajinasi itu mewujud dalam bentuk poster-poster yang mengundang reaksi beragam, namun pada akhirnya menghibur dan mendorong diskusi. Kritik sosial yang tajam terasa lebih halus, bahkan satir, ketika dituangkan ke dalam bentuk visual yang ciamik.
Visual Semakin Penting?
Dalam dunia yang semakin cepat dan singkat perhatiannya, visual berperan seperti ‘pintu gerbang’ menuju pemahaman. Ketika kita melihat ilustrasi atau poster, otak kita dengan segera memproses pesan yang ingin disampaikan. Kata-kata sering kali baru dibaca setelah gambar menangkap perhatian kita. Bagi brand strategist maupun komunikator publik, ini adalah alarm untuk semakin serius memikirkan desain.
Marshall McLuhan pernah berkata, “The medium is the message.” Dalam konteks ini, medium visual ternyata menjadi saluran yang paling efektif untuk memancing perhatian publik. Jika pesan kita ingin menembus hiruk-pikuk media sosial, merancang visual yang unik dan relevan kini menjadi sebuah keharusan.

Suarakan Kritik tanpa Membungkam Etika
Fenomena “Indonesia Gelap” vs. “Indonesia Cerah” juga memberi pelajaran berharga: menyampaikan kritik bisa dilakukan tanpa meninggalkan kesantunan. Apalagi di tengah kemarahan kolektif, sering kali kita terpancing untuk melontarkan ujaran kebencian atau kata-kata kotor yang justru menutupi pesan utama. Sebaliknya, desain kreatif memberikan ruang bagi kita untuk menyalurkan ‘amarah’ atau ‘kekecewaan’ menjadi humor, sarkasme halus, atau keindahan artistik yang tetap mengena.
Dalam kata-kata R.A. Kartini: “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Ungkapan ini seolah relevan dengan pergulatan tagar #IndonesiaGelap yang kemudian dibalas #IndonesiaCerah. Alih-alih menghina pendapat lain, para kreator justru memanfaatkan momentum untuk menyuntikkan optimisme. Memang, boleh jadi situasi belum benar-benar “cerah,” tetapi semangat menyalakan lampu harapan adalah narasi yang lebih produktif ketimbang terus-terusan terjebak dalam kegelapan.
Pelajaran bagi Tokoh dan Pejabat
Perdebatan visual ini seharusnya menjadi cerminan bagi para pejabat dan tokoh masyarakat. Daripada menyulut kontroversi dengan retorika kasar, mengapa tidak mengadopsi pendekatan kreatif? Bayangkan jika pidato-pidato politik dibalut dengan humor visual, slogan inspiratif, dan desain yang mengusung nilai estetik. Pasti akan lebih menarik minat generasi muda dan sekaligus meredam emosi publik.
Bung Karno pernah berkata, “Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia.” Di era digital, “pemuda” yang dimaksud bukan hanya soal usia biologis, tetapi siapa pun yang berani berpikir segar dan berinovasi dalam cara berkomunikasi. Mereka yang cerdas memanfaatkan desain dan media sosial, akan lebih didengar dan diingat ketimbang yang berpidato panjang lebar tanpa daya tarik visual.
