ig@antonioguterres
ig@antonioguterres
JAKARTASATU.COM – Pada tanggal 15 Maret 2025, dunia kembali memperingati Hari Internasional untuk Melawan Islamofobia, sebuah momen refleksi yang semakin relevan di tengah meningkatnya intoleransi terhadap umat Muslim. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres, dalam pesannya menyoroti bahwa banyak umat Muslim menjalani bulan suci Ramadan dengan perasaan takut akibat diskriminasi, pengucilan, dan bahkan kekerasan.
Guterres mengungkapkan keprihatinannya terhadap peningkatan prasangka anti-Muslim yang memanifestasikan diri dalam berbagai bentuk, mulai dari profil rasial dan kebijakan diskriminatif yang merendahkan martabat serta hak asasi manusia, hingga serangan fisik terhadap individu dan tempat ibadah. Fenomena ini, menurutnya, merupakan bagian dari wabah intoleransi yang lebih luas, mencakup ideologi ekstrem dan serangan terhadap kelompok agama serta populasi rentan lainnya.
“Ketika satu kelompok diserang, hak dan kebebasan semua orang terancam,” tegas Guterres, menekankan bahwa intoleransi terhadap satu komunitas berdampak pada keamanan dan kebebasan seluruh masyarakat.
Dalam upaya mengatasi isu ini, Guterres menyerukan tindakan kolektif dari berbagai elemen masyarakat. Pemerintah diharapkan dapat mendorong kebersamaan sosial dan melindungi kebebasan beragama. Platform daring juga memiliki peran penting dalam membatasi penyebaran ujaran kebencian dan pelecehan. Selain itu, setiap individu didorong untuk bersuara menentang prasangka, xenofobia, dan diskriminasi dalam bentuk apapun.
Hari Internasional untuk Melawan Islamofobia pertama kali diperingati pada tahun 2021, setelah Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi yang menetapkan tanggal 15 Maret sebagai hari untuk meningkatkan kesadaran global terhadap meningkatnya Islamofobia dan mempromosikan toleransi beragama. Tanggal ini dipilih untuk mengenang serangan tragis di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, pada tahun 2019, yang menewaskan 51 orang dan melukai puluhan lainnya.
Di Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, peringatan Hari Internasional untuk Melawan Islamofobia tahun ini diisi dengan berbagai kegiatan yang menekankan pentingnya toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Berbagai organisasi masyarakat dan lembaga pendidikan mengadakan diskusi, seminar, dan lokakarya yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang Islam dan mengurangi stereotip negatif terhadap umat Muslim.
Salah satu acara penting adalah seminar nasional yang diselenggarakan di Universitas Indonesia, Depok, dengan tema “Membangun Masyarakat Inklusif: Melawan Islamofobia dan Mempromosikan Toleransi Beragama”. Seminar ini menghadirkan berbagai pembicara dari kalangan akademisi, tokoh agama, dan aktivis hak asasi manusia yang membahas strategi efektif dalam melawan Islamofobia dan mempromosikan toleransi di masyarakat.
Selain itu, kampanye media sosial dengan tagar #MelawanIslamofobia2025 menjadi trending di Indonesia, di mana netizen berbagi cerita dan pengalaman tentang pentingnya toleransi dan menghormati perbedaan. Kampanye ini berhasil menjangkau jutaan pengguna internet dan mendapatkan dukungan luas dari berbagai kalangan.
Pesan Guterres pada peringatan tahun ini menekankan bahwa perjuangan melawan Islamofobia bukan hanya tanggung jawab umat Muslim, tetapi juga seluruh komunitas global. Dengan bekerja sama untuk menegakkan kesetaraan, hak asasi manusia, dan martabat, masyarakat dapat membangun lingkungan yang inklusif di mana semua orang, tanpa memandang keyakinannya, dapat hidup dalam damai dan harmoni.
Peringatan Hari Internasional untuk Melawan Islamofobia tahun ini menjadi pengingat bahwa perjuangan melawan diskriminasi dan intoleransi masih panjang. Namun, dengan komitmen bersama dan tindakan nyata, harapan untuk dunia yang lebih adil dan toleran tetap terjaga.Pada tanggal 15 Maret 2025, dunia kembali memperingati Hari Internasional untuk Melawan Islamofobia, sebuah momen refleksi yang semakin relevan di tengah meningkatnya intoleransi terhadap umat Muslim. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres, dalam pesannya menyoroti bahwa banyak umat Muslim menjalani bulan suci Ramadan dengan perasaan takut akibat diskriminasi, pengucilan, dan bahkan kekerasan.
Guterres mengungkapkan keprihatinannya terhadap peningkatan prasangka anti-Muslim yang memanifestasikan diri dalam berbagai bentuk, mulai dari profil rasial dan kebijakan diskriminatif yang merendahkan martabat serta hak asasi manusia, hingga serangan fisik terhadap individu dan tempat ibadah. Fenomena ini, menurutnya, merupakan bagian dari wabah intoleransi yang lebih luas, mencakup ideologi ekstrem dan serangan terhadap kelompok agama serta populasi rentan lainnya.
“Ketika satu kelompok diserang, hak dan kebebasan semua orang terancam,” tegas Guterres, menekankan bahwa intoleransi terhadap satu komunitas berdampak pada keamanan dan kebebasan seluruh masyarakat.
Dalam upaya mengatasi isu ini, Guterres menyerukan tindakan kolektif dari berbagai elemen masyarakat. Pemerintah diharapkan dapat mendorong kebersamaan sosial dan melindungi kebebasan beragama. Platform daring juga memiliki peran penting dalam membatasi penyebaran ujaran kebencian dan pelecehan. Selain itu, setiap individu didorong untuk bersuara menentang prasangka, xenofobia, dan diskriminasi dalam bentuk apapun.
Hari Internasional untuk Melawan Islamofobia pertama kali diperingati pada tahun 2021, setelah Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi yang menetapkan tanggal 15 Maret sebagai hari untuk meningkatkan kesadaran global terhadap meningkatnya Islamofobia dan mempromosikan toleransi beragama. Tanggal ini dipilih untuk mengenang serangan tragis di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, pada tahun 2019, yang menewaskan 51 orang dan melukai puluhan lainnya.
Di Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, peringatan Hari Internasional untuk Melawan Islamofobia tahun ini diisi dengan berbagai kegiatan yang menekankan pentingnya toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Berbagai organisasi masyarakat dan lembaga pendidikan mengadakan diskusi, seminar, dan lokakarya yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang Islam dan mengurangi stereotip negatif terhadap umat Muslim.
Salah satu acara penting adalah seminar nasional yang diselenggarakan di Universitas Indonesia, Depok, dengan tema “Membangun Masyarakat Inklusif: Melawan Islamofobia dan Mempromosikan Toleransi Beragama”. Seminar ini menghadirkan berbagai pembicara dari kalangan akademisi, tokoh agama, dan aktivis hak asasi manusia yang membahas strategi efektif dalam melawan Islamofobia dan mempromosikan toleransi di masyarakat.
Selain itu, kampanye media sosial dengan tagar #MelawanIslamofobia2025 menjadi trending di Indonesia, di mana netizen berbagi cerita dan pengalaman tentang pentingnya toleransi dan menghormati perbedaan. Kampanye ini berhasil menjangkau jutaan pengguna internet dan mendapatkan dukungan luas dari berbagai kalangan.
Pesan Guterres pada peringatan tahun ini menekankan bahwa perjuangan melawan Islamofobia bukan hanya tanggung jawab umat Muslim, tetapi juga seluruh komunitas global. Dengan bekerja sama untuk menegakkan kesetaraan, hak asasi manusia, dan martabat, masyarakat dapat membangun lingkungan yang inklusif di mana semua orang, tanpa memandang keyakinannya, dapat hidup dalam damai dan harmoni.
Peringatan Hari Internasional untuk Melawan Islamofobia tahun ini menjadi pengingat bahwa perjuangan melawan diskriminasi dan intoleransi masih panjang. Namun, dengan komitmen bersama dan tindakan nyata, harapan untuk dunia yang lebih adil dan toleran tetap terjaga. |WAW-JAKSAT