Foto bersama pendiri Serikat Pekerja Antikorupsi (SPASI) dengan Dewan Pengurus Nasional dan Dewan Pengurus Wilayah Jabodetabek Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) di sekretariat SINDIKASI pada 5 Maret 2025 | SINDIKASI
Foto bersama pendiri Serikat Pekerja Antikorupsi (SPASI) dengan Dewan Pengurus Nasional dan Dewan Pengurus Wilayah Jabodetabek Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) di sekretariat SINDIKASI pada 5 Maret 2025 | SINDIKASI

Upaya Memperkuat Aktivisme di Dalam NGO melalui Solidaritas Kelas

JAKARTASATU.COM – Sebelas individu yang bekerja di Perkumpulan Indonesia Corruption Watch (ICW) secara kolektif (17/3) telah membentuk Serikat Pekerja Antikorupsi (SPASI). Pembentukan serikat ini, yang resmi tercatat di Suku Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Jakarta Selatan dengan nomor pencatatan 964/SP/JS/III/2025, menandai langkah signifikan dalam dinamika ketenagakerjaan di lingkungan organisasi non-pemerintah (NGO) di Indonesia.
SPASI didirikan sebagai respons terhadap kesadaran akan hubungan kerja formal di dalam NGO, yang sering kali berada dalam zona abu-abu antara aktivisme dan profesionalisme. Serikat ini berupaya untuk menciptakan hubungan kerja yang lebih setara, partisipatif, dan demokratis, tanpa menegasikan nilai-nilai dasar aktivisme seperti sukarelawanisme dan solidaritas sosial.
Menghapus Dikotomi Aktivis dan Pekerja
Dalam pernyataan resminya, SPASI menegaskan bahwa kehadiran serikat pekerja di NGO bukanlah upaya untuk mengkomersialisasi aktivisme, melainkan sebagai pengakuan atas realitas ketenagakerjaan yang ada. “Di dalam NGO, khususnya di ICW, terdapat hubungan kerja yang formal. Ada pekerjaan, ada upah, dan ada perintah. Ini memenuhi unsur-unsur normatif dari hubungan ketenagakerjaan,” jelas Erma Nuzulia Syifa, Ketua SPASI.
Sejak lama, dunia NGO di Indonesia terbagi dalam dua pandangan besar. Satu pihak berpendapat bahwa individu di NGO lebih tepat disebut aktivis, relawan, atau penggerak sosial, sehingga konsep serikat pekerja kurang relevan. Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa pekerja NGO juga berhak mendapatkan perlindungan dan kesejahteraan yang layak, mengingat banyak dari mereka memiliki kontrak kerja formal dan bergantung pada upah bulanan.
SPASI memilih untuk tidak terjebak dalam dikotomi ini. Serikat ini justru melihat bahwa status pekerja dan aktivis bisa berjalan bersamaan tanpa kontradiksi. “Kami adalah bagian dari kelas pekerja sekaligus aktivis yang menghendaki perubahan sosial progresif,” tambah Erma.
Menjembatani Relasi Kuasa dalam NGO
Serikat ini dibentuk dengan visi menciptakan tatanan sosial yang bebas dari korupsi dan eksploitasi, termasuk di dalam NGO itu sendiri. Dengan berafiliasi sebagai biro di bawah Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), SPASI juga memiliki akses pada jaringan buruh yang lebih luas di tingkat nasional dan internasional.
Salah satu motivasi utama pembentukan SPASI adalah adanya kesadaran bahwa kapitalisme global telah mempengaruhi pola relasi di NGO, termasuk dalam bentuk manajerialisme yang dapat menciptakan ketimpangan kuasa antara pekerja dan manajemen. Dengan adanya serikat pekerja, diharapkan ada mekanisme yang lebih jelas untuk menyuarakan hak-hak pekerja tanpa harus takut akan represi atau stigma negatif terhadap serikat pekerja itu sendiri.
“Kami berharap dengan adanya SPASI, hubungan kerja di ICW dapat lebih kolaboratif dan demokratis. Ini bukan sekadar soal hak ekonomi, tetapi juga soal menciptakan ruang kerja yang sehat dan setara,” ujar Erma.
ICW sebagai Laboratorium Self-Governance
SPASI juga mengakui bahwa ICW telah menjadi organisasi yang cukup akomodatif terhadap aspirasi pekerja. Dalam beberapa kesempatan, praktik tata kelola di ICW telah memungkinkan eksperimentasi metode self-governance yang lebih partisipatif dan dialogis.
“Oleh karenanya, kami optimis bahwa ICW akan menyambut baik keberadaan SPASI. Kami percaya ICW tidak akan melakukan tindakan union busting seperti intimidasi atau pemutusan hubungan kerja terhadap anggota serikat,” tegas pernyataan resmi SPASI.
Sebagai serikat pekerja di dalam NGO yang berfokus pada isu antikorupsi, SPASI juga berencana untuk memperluas perannya dalam advokasi ketenagakerjaan yang lebih luas, baik di dalam maupun di luar ICW. Serikat ini membuka pintu bagi seluruh pekerja ICW untuk bergabung dan berkontribusi dalam menciptakan pola hubungan kerja yang lebih sehat dan demokratis.
Solidaritas Kelas dalam Gerakan Antikorupsi
Di tengah meningkatnya tantangan demokrasi dan kebangkitan otoritarianisme di berbagai belahan dunia, SPASI melihat bahwa gerakan buruh dan serikat pekerja bisa menjadi kekuatan penyeimbang terhadap dominasi oligarki dan kepentingan elite global. Dengan membentuk serikat pekerja di dalam NGO, SPASI berharap dapat turut serta dalam arus besar kebangkitan gerakan kelas pekerja yang lebih luas.
SPASI menegaskan bahwa serikat pekerja tidak seharusnya dipandang sebagai alat perlawanan yang destruktif, tetapi justru sebagai mekanisme formal untuk memastikan kesejahteraan dan kesetaraan bagi seluruh pekerja, termasuk mereka yang bekerja di NGO.
“Mari berserikat dan menjadi bagian dari dunia yang sudah berganti rupa!” seru SPASI dalam pernyataan penutupnya.
Dengan langkah ini, SPASI menandai era baru dalam hubungan kerja di NGO, di mana aktivisme dan hak-hak pekerja bisa berjalan beriringan untuk mencapai perubahan sosial yang lebih adil dan demokratis. |WAW-JAKSAT