JAKARTASATU – Sewaktu bedah buku di PTIK Jakarta Rabu, 24 Mei 2017 lalu, sempat mencuat pertanyaan baik dari salah seorang narasumber, Prof Ronny Nitibaskara, dan satunya seorang mahasiswa Unhan. Pertanyaannya senada. “Kenapa kok terorisme tidak terlalu dibahas dan jadi fokus kajian di buku Perang Asimetris? ”
Sebenarnya simpel; aja. Kalau kedua penanya tadi baca betul keseluruhan atau saripati isi buku, harusnya sudah paham dan tak perlu nanya-nanya lagi. Meskipun terorisme itu memang isu strategis dan merupakan ancaman, namun dalam kasus belakangan ini baik di dalam maupun luar negeri, lebih dimainkan sebagai “penyebab jadi-jadian.” Jadi lebih daripada sekadar buat CIPTA KONDISI seperti istilah di intelijen dan kepolisian.
Sebagai penyebab jadi-jadian, berarti aksi terorisme sebenarnya dalam tahapan pola perang asimetris, merupakan tahapan pertama. Yaitu untuk menebar isu. Berarti, melalui sebuah aksi terorisme, ada agenda yang sedang disiapkan. Begitu terorisme sebagai aksi tebar isu berhasil, maka mulai disusun agenda atau tema gerakan.
Dari situ lantas skema sesungguhnya mulai dihadirkan, setelah tahapan agenda dimunculkan sebagai tema gerakan. Justru di aspek inilah, buku Perang Asimetris memusatkan kajian utamanya, untuk megungkap modus modus semacam ini. Sehingga terorisme hanya salah satu aspek saja dari pola perang asimetris yang seringkali dimainkan oleh pihak asing maupun kalangan tertentu di dalam negeri.
Kesan saya, pertanyaan yang terlontar dair Prof Ronny maupun mahasiswa Unhan yang kebetulan mempertanyakan hal ini, sadar atau tidak, didasari oleh kerangka teori dan pemikiran yang menempatkan terorisme sebagai ancaman yang berdiri sendiri. Ada terorisme, maka harus ada kontra terorisme. Sesederhana itu.
Namun Prof Ronny Nitibaskara pada aspek lain dari ulasannya, justru mengemukakan sebuah kerangka konseptual dari Antonio Gramsci yang sangat mendukung tesis utama buku kita, Perang Asiemetris dan Skema Penjajahan Gaya Baru.
Prof Ronny Nitibaskara, mengulas buku ini dengan menggunakan konsep hegemoni yang berasal dari Antonio Gramsci terkait kerangka konsep yang ditawarkan Arief Pranoto dan Hendrajit mengenai konsep Perang Asimetris.
Prof Ronny yang saat ini masih menjabat Penasehat Ahli Kapolri, menjabarkan empat unsur ketika suatu negara bermaksud menguasai atau menghegemoni negara lain. Pertama, adanya kontrol terhadap atas produksi sumberdaya alam. Kedua, kontrol atas kekuasaan politik. Ketiga, kontrol atas pengetahuan. Dan keempat, kontrol atas kehidupan manusia.
Apa yang dikemukakan Prof Ronny, memang itulah yang kita dalami betul dalam buku Perang Asimetris. Kontrol atas produksi sumberdaya alam, nampak jelas dalam kasus bagaimana Kementerian keuangan kita sejak era SBY sampai sekarang, selalu menghalangi pembangunan kilang minyak untuk meningkatkan kapasitas produksi yang diprakarsai oleh Pertamina. Bukankah salah satu sebab kenapa negeri kita sekarang jadi importir minyak gara-gara kapasitas produksi minyak kita menurun? Bahkan di tataran hulu, lahirnyua UU Migas No 22/2001 sangat jelas telah melumpuhkan kewenangan Pertamina dalam mengelola migas dari hulu ke hilkir. Jelaslah bahwa melalui UU migas tersebut, pihak korporasi-korporasi asing sebagai VOC-VOC gaya baru, berusaha mengendalikan atau mengonrol sistem produksi sumberdaya alam kita. Sehingga kapastias produksi kita dilumpuhkan dari dalam. Dan alat yang digunakan mereka adalah kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan.
Begitu pula kontrol atas politik, sudah diuraikan panjang lebar baik oleh buku kita maupun presentasi mas Agung Marsudi yang penulis buku Chevronomics, bahwa 70 persen undang-undang yang dihasilkan oleh DPR, semunya pro kepentingan korporasi-korporasi multinasional asing. Bahkan menurut Agung, sistem tata kelola kenegaraan kita, termasuk konstitusi negara kita, sudah berhasil dirasuki kepentingan asing. Bukti nyata adalah UUD 1945 hasil 4 kali amandemen berhasil ditetapkan apda 2002 lalu, sehingga praktis sudah berubah jadi UUD 2002 yang sangat berhaluan liberal.
Kontrol atas pengetahuan. Nah yang satu ini, saya kira memang perlu fokus kajian tersendiri yang juga tak kalah menarik didalami dalam beberapa waktu ke depan. Sebab yang krusial bukan sekadar kontrol atas pengetahuan sebagaimana diutarakan Prof Ronny Nitibaskara, melainkan juga kontrol asing atas kebudayaan kita. Sehingga kita semakin menjauh dari jatidiri bangsa.
Maka itu, kedua nara sumber lainnya, Mas Dirgo D Purbo, dan Agung Marsudi, bersepakat bahwa solusi keluar dari jeratan Perang Asimetris asing tiada lain kita harus berkomtimen kembali menegakkan nasionalisme dan menghidupkan kembali konsepsi wawasan nusantara pada tataran yang lebih kongkrit dan membumi. Itu berarti geopolitik harus kita posisikan sebagai Ilmunya Ketahanan Nasional. *** (Hendrajit)