DEVIDE ET IMPERA GAYA BARU
Beredarnya klaim sepihak secara massal melalui framing media khususnya media sosial: “Saya Pancasila, Saya Indonesia,” hal tersebut bisa diartikan secara ekstrim: “Kalian bersama kami, atau kalian (akan) berhadapan dengan kami”. Itu makna tersiratnya. Kenapa? Sebagaimana dikatakan oleh Pepe Escobar, wartawan senior AsiaTimes, “Bahwa politik praktis itu bukan apa yang tersurat melainkan apa yang tersirat” (2007). Inilah yang tampaknya tengah berlangsung secara masif di republik tercinta ini, sedang mayoritas anak bangsa ini justru larut dalam skema dimaksud.
Ya. Bangsa ini sepertinya tengah digiring dan/atau tergiring pada situasi dan kondisi dimana 6 (enam) konsep dasar geopolitik (wawasan nusantara) hendak dibuat jatuh ke titik nadir, antara lain:
Pertama, semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai unsur pokok dalam rangka mengintegrasikan keanekaragaman komponen bangsa malah dilemahkan. Hendak dibuat porak-poranda. Adanya klaim sepihak dari sekelompok orang seperti framing di atas justru kian melonggarkan keberagaman tersebut. Maksudnya (mungkin) ingin menjadi solusi atau memecahkan permasalahan tetapi dampaknya malah menambah permasalahan karena banyak komponen bangsa lain merasa ‘disingkirkan’ serta seolah-olah berada di luar koridor kebhinnekaan;
Kedua, persatuan dan kesatuan sebagai anasir dalam rangka mengakumulasi kekuatan nasional malah dipecah-belah. Tak hanya membelah antarelemen di masyarakat, bahkan telah mengadu-domba antarinstitusi negara;
Ketiga, bahwa kebangsaan sebagai konsep untuk hidup bersama justru dilumpuhkan;
Keempat, geopolitik sebagai doktrin dan ilmu sebagai aspek dalam rangka mewujudkan kedaulatan negara, dalam praktiknya malah didangkalkan;
Kelima, negara kebangsaan (nation state) sebagai konsep peletakkan negara sebagai sarana utama guna mewujudkan cita-cita, tujuan dan kepentingan nasional, justru dilencengkan bahkan hendak dibubarkan;
Keenam, negara kepulauan (archipelago state) sebagai konsepsi untuk mempertahankan keutuhan wilayah malah mau disewakan, bahkan diserahkan ke asing atas nama investasi, dan lain-lain.
Sepertinya, potret buram keenam dasar wawasan nusantara kita bukanlah fiksi, tetapi riil terjadi dan nyata. Ada anekdot yang menyatakan: “Tidak ada yang abadi di Bumi Pertiwi melainkan devide et impera,” agaknya bukan sekedar guyonan belaka. Bahwa virus adu domba tersebut bukan saja telah memasuki sistem negara, namun telah mendarah-daging. Bagaimana solusi?
Tak bisa tidak. Dibutuhkan kesadaran bersama atas wawasan nusantara yang meliputi keenam dasar geopolitik di atas dan mutlak harus ‘dimurnikan’ kembali. Jangan diobok-obok. Tidak boleh dikotori. Jangan ada satu-dua kelompok yang mengklaim dan/atau merasa paling bhinneka, atau sebaliknya. Jika Minahasa ‘dicubit’ maka seluruh anak bangsa merasa sakit, lalu melawan, dll. Apabila Aceh diganggu, semua komponen bangsa berteriak, bangkit bersama, dan seterusnya.
Hayo, murnikan kembali 6 (enam) dasar geopolitik kita guna mematikan virus devide et impera gaya baru!
- ARIEF PRANOTO