Jaya Suprana

Alasanologi Memilih Pemimpin​

Menuju Peradaban

OLEH: JAYA SUPRANA

MENJELANG Pilkada 2017 seorang pejabat tinggi negara menyatakan bahwa memilih pemimpin berdasar agama merupakan suatu tindakan inkonstitusional.

Pernyataan tersebut membuat saya merenung karena saya merasa yakin bahwa seorang yang sewajibnya menjadi suri teladan bagi masyarakat pasti berniat baik. Mustahil beliau berniat buruk. Maka pernyataan beliau wajib kita hayati bersama lebih lanjut agar jangan sampai kita melakukan tindakan inkonstitusional.

Sebagai seorang warga awam yang buta hukum yang sama sekali tidak menguasai ilmu hukum maka penghayatan lebih baik tidak saya lakukan melalui jalur hukum.

Sebagai pendiri Pusat Studi Kelirumologi, saya mencoba melakukan penghayatan lewat jalur alasanologi sebagai paham yang mempelajari alasan demi mencari kebenaran, mengenai apakah mungkin seorang warga memilih pemimpinnya secara tidak berdasar alasan agama selama di Indonesia data identitas keagamaan masih wajib diterakan pada masing-masing Kartu Tanda Penduduk.

Keraguan saya ditimbulkan oleh fakta bahwa pada setiap pemilihan umum selalu ditegaskan bahwa setiap warga berhak memilih pemimpin secara bebas dan rahasia.
Kata bebas bisa ditafsirkan sebagai hak asasi setiap warga bebas memilih pemimpin baik berdasar agama mau pun tidak berdasar agama.

Kata rahasia layak ditafsirkan bahwa pada hakikatnya merupakan rahasia setiap warga mengenai alasan diri masing-masing warga memilih pemimpin idaman sanubari masing-masing. Maka berdasar telaah alasanologi dapat ditafsirkan bahwa pendapat bahwa memilih pemimpin berdasar agama merupakan tindakan inkonstusional pada hakikatnya bertentangan dengan mazhab pemilihan umum secara bebas dan rahasia.

Secara alasanologis memang dapat disadari bahwa sebenarnya kita tidak boleh dan tidak bisa tahu alasan seorang warga memilih pemimpin idaman sanubarinya akibat mekanisme pemilihan lazimnya dilakukan secara tertutup tanpa bisa dan boleh diketahui oleh siapa pun juga kecuali sang pemilih dan tentu saja Tuhan Yang Maha Tahu.

Bisa saja sang pemilih malah sama sekali tidak memilih sebab kebetulan tidak ada calon pemimpin yang menurut keyakinan sang pemilih cocok dengan idaman hatinya. Atau bisa juga sang pemilih secara teknis mekanis keliru mencoblos calon pemimpin yang sebenarnya bukan idaman dirinya.

Bisa juga pemilih melakukan pilihan berdasar primbon atau bahkan secara acak alias ngawur. Bisa juga sang pemilih memilih pemimpin bukan berdasar alasan agama namun berdasar alasan tidak suka pada latar belakang etnis, ras, suku, golongan bahkan jenis kelamin atau usia sang pemimpin.

Bisa juga sang pemilih tidak memilih sang calon pemimpin akibat kebetulan pernah ada urusan persengketaan pribadi.

Pada kenyataan memang sulit bahkan mustahil untuk benar-benar mengetahui alasan seorang warga memilih calon pemimpin selama sang warga tidak secara jujur mengakui alasan dirinya memilih calon pemimpin idaman sanubari dan nurani dirinya sendiri. Bisa saja sang pemilih berbohong dalam pengakuannya.

Maka saya berterima kasih kepada sang pejabat tinggi yang berniat baik dalam mewejangi kita agar jangan memilih calon pemimpin berdasar agama agar tidak melakukan tindakan inkonstitusional sebab wejangan tersebut merupakan keyakinan beliau.

Sementara saya juga memiliki hak asasi untuk memiliki keyakinan diri saya sendiri yaitu saya akan memilih calon pemimpin rakyat secara bebas dan rahasia sesuai suara sanubari dan nurani diri saya sendiri. Bahkan bukan diri pribadi saya saja namun setiap warga Indonesia memiliki hak asasi untuk memilih calon pemimpin rakyat secara bebas dan rahasia sesuai sanubari dan nurani diri pribadi masing-masing.[***]

​Penulis adalah pendiri Pusat Studi Alasanologi​