Mochtar Lubis/ist

SENI UTUH merupakan bentuk yang sebenarnya dalam sebuah keyakinan dan kesempatan hakiki, menjelaskan istilah ini di belahan bumi mana pun akan lebih sama dan yang lain akan jadi acuan.

Seni yang utuh akan punya pengaruh mendunia apalagi karya itu membumi dan menunjukan estetika, dan itu lahir dari adalah bahasa tersembunyi yang datang dari jiwa yang sublimasi. Belum ditemukan catatan yang menyatakan kalau seni biasa tanpa pengaruh adalah mutlak, namun seni akan bertemu dan hakekat hidupnya yang punya rentang “sezaman”  dengan waktu.

Dalam seni bukan yang ternodai secara sepintas akan terjaga. Apa lagi perjalanan panjang yang mendasar dan bisa dikatakan memiliki pandangan luas. Disinilah kata kuncinya adalah ruang jiwa. Kesenian itu berangkat dari rasa jiwa ada dibalik karya-karya besar, dan terlihat di seni lukis, tari, seni suara, literasi, maupun seni grafis yang cenderung menjadi seni terapan dan mungkin yang kekinian adalah multimedia.

Jika seni berbaur dengan konteks kekinian misalnya politik, makan akan banyak pengaruh  keduanya sama-sama menyimpan misteri atau konflik kepentingan. Kesadaran yang tidak dapat atau setidaknya sulit dimengerti oleh alam sadar umum maka seni estetiknya hnaya respok politik saja, tapi sebenarnya lebih karena seni itu selain punya makna juga punya jiwa itu tadi.

Tidak ada keharusan karya seni menjadi perpanjangan dari politik. Sah-sah saja jika karya seni merespon perwujudan dari politik, anmun umunya adalah sebua kritik hendaknya.  Masa silam adalah yang menyimpan “drama” atau tragedi, walaupun bisa saja komedi. Ini terjadi di politik bukan?

Sebaliknya, karya seni yang merupakan hasil dari pergumulan jiwa yang superrelatif tafsir menyenangkan. Seni mengembuskan harapan dan penghiburan, tanpa terpeleset menjadi sesuatu yang banal atau sekadar menjadi lelucon dangkal. Seni itu harus sublim tanpa ternodai makna. Yang pada akhirnya, seni memang bukan semata “apa yang diucapkan”, namun menekankan pentingnya “bagaimana mengucapkan” sesuatu. Dengan pemahaman seperti persoalan kejelasan atau kelancaran “komunikasi”. Sehingga seni hakiki primer, yang utama, adalah proses komunikasinya, meski pun harus siap di kritik dan di politik juga demikian.

Dalam dua bulan terakhir soal kritik mengitari pikiran waktu tahunnya politik jelas pesta demokrasi. Baru tersadar kembali saat ini dan Jadi ingat Mochtar Lubis -Wartawan Jihad.

Mochtar Lubis adalah sosok seorang jurnalis. Budayawan dan pernah menjadi pemimpin redaksi Indonesia Raya. Ia juga pengarang terdepan Indonesia. Jadi teringat kisahnya peran sebagai seorang pemimpin redaksi.

Ia kerjanya bisa dikatakan mempunyai kebijakan kuat dalam redaksional Indonesia Raya. Mochtar berkali-kali melakukan kritik terhadap pemerintah. Gaya jurnalisme Mochtar berani, tajam, dan tidak dapat digoyahkan oleh siapapun dan menjadi inspirasi bagi banyak media lain di era itu, demikian David T.Hill menyebutnya Mochtar Lubis dalam Majalah Prisma dan dikutip dalam buku Jurnalisme dan Politik di Indonesia.

Dan dia mengatakan, “Kenapa kita harus takut kalau kita yakin bahwa yang akan kita kemukakan itu adalah benar, untuk kepentingan masyarakat, untuk kepentingan bangsa,” jelas Mochtar Lubis. Dan inilah yang jadi ingat tokoh ini punya aura dan marwah yang tak bisa dipungkiri dia tak bisa ternodai apalagi karya sastranya (seni), karya  jurnalismenya yang utuh sampai kini dia jadi panutan atas perjuangannya. Sehingg Mochtar telah jadi simbol kebebasan pers. Tabik…!!!

(Aen)