Dibuat dengan AI ∙ 23 Desember 2023 pukul 2.37 PM
Dibuat dengan AI ∙ 23 Desember 2023 pukul 2.37 PM
Debat Capres Cawapres Bukan Cerdas Cermat
Oleh: WA Wicaksono
Analis Iklan dan Pencitraan
Usai berlangsungnya Debat Calon Wakil Presiden 2024, jagat warganet diramaikan oleh kasus pertanyaan membingungkan Cawapres dari Pasangan No Urut 2, Gibran Rakabuming Raka, kepada Cawapres dari Pasangan No Urut 1, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang gagal dipahami oleh Cak Imin.
Pasalnya, saat bertanya Gibran mengajukan sebuah akronim asing (singkatan istilah bahasa Inggris) tanpa memaparkan kepanjangannya sehingga gagal dipahami oleh Cak Imin. “Karena Gus Muhaimin adalah Ketua Umum PKB, saya paham Gus paham ini. Bagaimana langkah Gus Muhaimin untuk menaikkan peringkat Indonesia dalam SGIE?” tanya Gibran singkat.
Bingung akan maksud pertanyaan tersebut, maka saat diminta menjawab pertanyaan singkat itupun Cak Imin segera merespon “Apa? Apa itu SGIE? Mohon maaf, saya tidak pernah mendengar SGIE?,” ujarnya jujur.
Akibatnya Cak Imim mengalami kerugian waktu karena quota waktu yang seharusnya bisa dilakukan untuk menjelaskan wawasannya malah habis dengan permintaan untuk menjelaskan pertanyaan tersebut kepada sang penanya. Barulah setelah diminta ini Gibran menjelaskan.
“Gus, kita kan sedang fokus mengembangkan ekonomi syariah dan keuangan syariah. Otomatis kita harus paham SGIE. SGIE adalah State of Global Islamic Economy. Dan Indonesia sudah masuk 10 besar di dalamnya terutama makanan halal, komsetik halal. Mohon maaf kalau pertanyaan saya sulit,” kata Gibran sambil tersenyum.
Setelah mendapatkan penjelasan itu, barulah Cak Imin mampu menjelaskan wawasannya terkait permasalahan tersebut dengan baik, meskipun jelas-jelas karena insiden tersebut Cak Imin banyak mengalami kerugian. Rugi waktu dan dijatuhkan karena dianggap tak mengetahui akronim yang dilontarkan Gibran.
Biang kerok dari insiden tersebut adalah penggunaan akronim semata. Pasalnya Gibran melontarkan pertanyaan menggunakan akronim tanpa menyebutkan kepanjangannya apalagi menjelaskan hal-hal penting terkait akronim tersebut. Menurut Gibran akronim tersebut sudah umum padahal menurut umum tidaklah demikian. Apalagi hal ini diperparah dengan spelling pengucapan Gibran menggunakan ejaan bahasa Indonesia, padahal itu merupakan singkatan dari kosakata bahasa Inggris.
Dus pertanyaan Gibran tersebut dianggap tidak jelas, atau lebih jahat lagi memang ditujukan untuk membingungkan atau membuat yang ditanya terlihat bodoh dan tidak mengerti permasalahan.
Menanggapi insiden tersebut, Capres No Urut 1, Anies Baswedan menanggapi dengan bijak dan santai. Menurut Anies, pertanyaan Gibran tidak substantif. “Kualitas pertanyaannya adalah kualitas pertanyaan aspek technicality, bukan aspek substansi,” ujarnya.
Mestinya, menurut Anies kualitas pertanyaan sekaliber capres/cawapres harus bernilai dan mendalam. Bukan sekedar ‘permukaan’ saja. Makin tinggi posisi, makin berfokus pada substansi. Dan ditingkatkan kepemimpinan itu pada tingkat substansi. Tapi sebagai pertanyaan tentu sah-sah saja dan publik nanti akan menilai apakah memang ini format cerdas-cermat untuk hafalan atau ini format tentang ideologi gagasan, nilai yang kemudian diwujudkan dalam kebijakan,” jelasnya santai.
Harus kita ingat, debat calon wakil presiden memiliki peran yang tak kalah penting dalam memahami visi dan misi para calon pemimpin. Jauh dari sekadar adu ingatan atau hapalan. Karena itu debat cawapres seharusnya menjadi arena untuk membahas isu-isu mendasar yang dihadapi oleh bangsa. Esensi sejati dari debat cawapres yang seharusnya adalah membuka wawasan, mendorong kreativitas, dan menggali solusi serta kebijaksanaan dari para calon wakil presiden.
Dalam konteks debat calon wakil presiden, sebaiknya kita melepaskan pandangan bahwa debat ini adalah ajang untuk adu ingatan atau hapalan. Sebaliknya, debat cawapres harus menjadi panggung untuk menggali pemahaman mendalam tentang isu-isu yang mendasar. Hal ini mencakup berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan politik yang memengaruhi masyarakat. Debat seharusnya melampaui pertunjukan kemampuan mengingat dan lebih fokus pada pemahaman mendalam serta solusi nyata.
Debat cawapres juga seharusnya menjadi ajang untuk menilai wawasan para calon pemimpin, mengukur tingkat kreativitas mereka dalam menyikapi permasalahan, serta mengevaluasi solusi dan kebijaksanaan yang mereka tawarkan. Para calon wakil presiden diharapkan mampu memberikan gagasan-gagasan inovatif yang dapat mengatasi tantangan-tantangan kompleks yang dihadapi negara.
Penting untuk dicatat bahwa pertanyaan yang diajukan dalam debat cawapres, tidak hanya menguji pengetahuan, tetapi juga menunjukkan kelas sang penanya sendiri. Pertanyaan yang jelas dan tajam mencerminkan kemampuan berpikir kritis dan pemahaman mendalam tentang isu-isu yang dibahas. Sebaliknya, pertanyaan yang kabur atau tidak jelas dapat mengindikasikan kurangnya pemahaman atau kehati-hatian dalam merumuskan pertanyaan. Oleh karena itu, kualitas pertanyaan menjadi tolok ukur penting untuk menilai kelas intelektualitas penyelenggara debat dan audiens.
Kemampuan berpikir kritis dan analitis penanya tercermin dalam kualitas pertanyaan yang diajukan. Pertanyaan yang mendalam, relevan, dan cerdas menandakan bahwa penanya telah melakukan riset dan pemikiran mendalam tentang topik tersebut. Kemampuan untuk mengajukan pertanyaan yang menantang memperlihatkan keinginan penanya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam dan komprehensif.
Kejelasan dalam penyampaian pertanyaan merupakan indikator langsung dari kejelasan pemikiran penanya. Pertanyaan yang disampaikan dengan bahasa yang jelas dan struktur yang teratur memberikan kesan bahwa penanya telah memahami topik tersebut dengan baik. Sebaliknya, pertanyaan yang ambigu atau terlalu kompleks bisa menunjukkan ketidakjelasan pemikiran penanya, yang dapat menyulitkan pihak yang menjawab untuk memberikan respons yang tepat.
Pertanyaan yang membingungkan seringkali mencerminkan kebingungan penanya terhadap topik yang sedang dibahas. Ini bisa disebabkan oleh kurangnya pemahaman atau informasi yang memadai. Penanya yang terbingung mungkin perlu mendalami subjek lebih lanjut sebelum mengajukan pertanyaan, untuk memastikan bahwa pertanyaannya mencerminkan kebutuhan pemahaman yang lebih baik.
Pertanyaan yang dirancang untuk menjebak atau menjerumuskan dapat mencerminkan kepandiran penanya. Ini mungkin merupakan upaya untuk menciptakan kesulitan bagi pihak yang ditanya, tanpa memperhatikan integritas dan etika komunikasi. Pertanyaan semacam ini tidak hanya menunjukkan kurangnya sikap fair play, tetapi juga menggambarkan kurangnya semangat untuk mendiskusikan secara konstruktif.
Pertanyaan yang bersifat merendahkan atau menjatuhkan menunjukkan kekerdilan jiwa penanya. Komunikasi yang sehat seharusnya mempromosikan dialog dan pemahaman bersama, bukan menciptakan konflik atau memperburuk suasana. Pertanyaan yang mengandung kekerasan verbal dapat merugikan proses komunikasi dan memperkecil nilai dari perbincangan.
Sekali lagi, dalam dunia yang dipenuhi dengan informasi, pertanyaan menjadi alat yang kuat untuk menggali pemahaman dan mendorong refleksi. Oleh karena itu, kualitas pertanyaan tidak hanya mencerminkan tingkat pengetahuan penanya, tetapi juga membawa aspek-aspek lain seperti kemampuan berpikir kritis, integritas, dan etika komunikasi. Melalui pertanyaan yang baik, kita dapat membangun dialog yang berarti dan produktif untuk memajukan pemahaman dan kerjasama. Tabik.