Muhammadiyah Menarik Uang Tunai Rp 15 triliun di Bank Syariah Indonesia | IST
Muhammadiyah Menarik Uang Tunai Rp 15 triliun di Bank Syariah Indonesia | IST

Bank Muhammadiyah Momentum Gerakan Ekonomi Islam

Oleh: Eddy Junaidi (Yayasan Kalimasadha Nusantara)
Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan (ormas)terbesar di Indonesia, juga terbesar dari segi aset. Belum ada yang menandingi aset Muhammadiyah. Kita dikejutkan Muhammadiyah mengkaji penawaran Joko Widodo tentang fasilitas izin tambang. Bahkan dalam waktu bersamaan ingin mendirikan Bank Syariah Muhammadiyah.
Menarik Uang Tunai Rp 15 triliun di Bank Syariah Indonesia
Kemunduran koperasi dan UMKM di era pemerintahan Joko Widodo membuat Muhammadiyah prihatin. Koperasi yang merupakan Soko Guru diubah wujudnya menjadi BUMDes (Badan Usaha Milik Desa). Sejalan dengan reformasi yang liberal kapitalistik. Hampir semua kebijakan Joko Widodo mengutamakan korporasi, dan jauh dari pembinaan UMKM.
Kita paham mayoritas UMKM adalah pengusaha pribumi-Islam. Islam phobia termasuk dalam pembangunan ekonomi Islam. Keberhasilan ekonomi syariah (termasuk bank syariah) menjadi inspirasi bagi Muhammadiyah untuk terlibat di bisnis perbankan. Dengan modal Rp 15 triliun BPRS Muhammadiyah tergolong bank besar mampu berbuat dalam membina UMKM.
Pimpinan Muhammadiyah melalui salah satu ketuanya; DR. Hafid Abbas menyatakan bahwa kehadiran BPRS Muhammadiyah jauh lebih bermanfaat untuk umat ketimbang uang pasif di Bank Syariah Indonesia. Ini faktual karena sewaktu krisis 1998, selain bantuan likuiditas IMF untuk perbankan, ketahanan ekonomi rakyat tertolong oleh 30 juta koperasi dan UMKM saat itu. Jika dua UMKM menanggung 4 orang, tentu hampir separuh penduduk Indonesia saat itu tertolong UMKM.
UMKM di era Joko Widodo hancur, dimulai ketika Joko Widodo mengubah Koperasi menjadi BUMDes, dan sistem Bapak Angkat di era reformasi dihilangkan. Perbankan disorientasi mengenai kuota KUR (Kredit Usaha Rakyat) 20% dengan membeli dari bank yang berorientasi UMKM seperti BRI. Perbankan tidak terlibat lagi dalam hal pembinaan UMKM, karena orientasi ekonomi pada korporasi.
Muhammadiyah terpanggil karena UMKM semakin terpukul pada saat Covid, khusus restoran dan warung makan, banyak tidak boleh berjualan selama 2 tahun ketika Covid.
Momentum Kebangkitan Pengusaha Pribumi (Islam)
Prabowo seharusnya menjadikan referensi keberhasilan ayahanda, Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo (Menteri Perdagangan Republik Indonesia – 1951) dengan program “Benteng”, yang bertujuan mengurangi ketimpangan ekonomi pribumi dan non-pribumi. Program Benteng tergolong berhasil, karena melahirkan pengusaha pribumi yang bertahan sampai saat ini, seperti: Kalla (perdagangan)-Makasar, Bakrie (perkebunan)-Lampung, Hasyim Ning (otomotif)-Padang, Rahman Tamin (Padang) dan Pardede (Medan)-tekstil, Andi Sose (taksi), Sidi Tando (properti)-Padang, Soedarpo (perkapalan). Sampai sekarang pengusaha tersebut masih eksis.
Walau sudah lama (pasca reformasi), pengusaha pribumi tercampak dari 20 orang terkaya. Sewaktu Orde Baru; Bakrie, Kalla, Ponco Sutowo, Fahmi Idris (Kodel), Wiwoho Basuki, Probosutedjo, Arifin Panigoro, Sudwikatmono, masih dominan sebagai orang terkaya di Indonesia bersama pengusaha non-pribumi. Pasca reformasi hanya satu nama pengusaha pribumi yakni; Chairul Tanjung (Trans Corp) binaan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Padahal Malaysia (Mahathir Mohamad) salah satu negara yang juga berhasil
mengeliminir ketimpangan ekonomi antara pengusaha pribumi dan pengusaha etnis Cina. Muhammadiyah berupaya sebagai pemicu kebangkitan ekonomi inklusif untuk UMKM.
Mudah-mudahan menjadi inspirasi bagi Prabowo Subianto untuk membangkitkan ekonomi yang semakin terpuruk di era Joko Widodo. Indonesia maju hanya akan tercapai jika permasalahan fundamental ekonomi; jerat utang, ketimpangan, dan ekonomi yang berazas keadilan sosial, menjadi basis asumsi sesuai pasal 33 UUD 1945.
Sistem Ekonomi Pasar Memperlemah UMKM
Kita mengetahui dalam ekonomi pasar (kapitalistik), modal menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi. Prinsip dasarnya yang kuat semakin kuat, apalagi jika kebijakan investor dalam sepuluh tahun ini sangat pro-investor.
Pemerintah hanya kreatif dalam hal fiskal seperti intensifitas pajak, mulai dari PPN 12%, UMKM dipungut pajak yang membuat UMKM semakin terpukul. Seharusnya UMKM dibina karena membangun entrepreneurship yang dibutuhkan negara untuk akselerasi pembangunan ekonomi. Membesarkan taipan memang membesarkan GDP, tapi negara dapat apa, karena uang hasil ekspor, parkir di luar negeri. Dana yang kembali ke dalam negeri sebatas kebutuhan cashflow bulanan para taipan. Sungguh tidak adil, dan pemerintah tidak melakukan apa-apa, malah memberi insentif pajak, bukan memperbesar PNBP (Penghasilan Negara Bukan Pajak). Lebih tragis lagi, memperbanyak pungutan dana publik; seperti pungutan untuk turis, dan Tapera.
Kita tahu pengelolaan dana publik yang “ugal-ugalan” (tidak melalui APBN) hanya muncul sebagai utang domestik/kewajiban dalam negeri yang diragukan akuntabilitasnya.
Tercatat dana Bakti Telkom yang dikorupsi proyek BTS-Telkom, dana Reboisasi kelapa sawit dan pertambangan, dana Haji, simpanan Bank (LPS), Taspen (Dana pensiun) yang konon dibayarkan dengan APBN karena terkuras untuk pembangunan infrastruktur (tol) yang BUMN pengelola juga dibebani utang terancam bangkrut.
Mudah-mudahan tim Transisi Prabowo sangat berhati-hati ketika cut-off (serah terima) dari SMI (Sri Mulyani Indrawati), karena dipastikan tidak akuntabel, dan banyak jebakan bagi Menteri Keuangan pemerintahan Prabowo Subianto.
Muhammadiyah sudah memicu pergerakan ekonomi non-pribumi (Islam), Prabowo Subianto tinggal melakukan akselerasi dengan sistem ekonomi inklusif seperti Program Benteng ayahanda di era Orde Lama.
Penutup
Era pemerintahan Prabowo Subianto saatnya mengurangi ketimpangan ekonomi dan mengembalikan azas ekonomi kepada koperasi dengan tulang punggung UMKM yang terbukti dapat mendongkrak ekonomi pribumi, dan sekaligus perekonomian negara sesuai kehendak Pasal 33 UUD 1945.