Selera Politik Jokowi Adalah PDIP

(Cerminan perilaku khianat dan pasca dipecat eks partainya PDIP)

Selain PDIP punya sejarah teramat penting bagi Jokowi sampai mati, karena fakta historis politik, pernah menjadi simbiosis mutualisme politik dan kekuasaan dalam masa manis dan keemasan untuk Jokowi (2022-2024) namun nano nano bagi PDIP ada masa manis, pahit dan kecut bahkan getir (2022-2024) karena Jas merah sesuai fakta politik kekuasaan yang dideskripsikan oleh publik secara umum, banyak fenomena penegakan hukumnya (law enforcement) nyaris machiavelisme atau metodelogi politik dengan ala suka-suka (politik kekuasaan), karena Jokowi dan rezimnya yang seolah pluralisme dengan politik modern pencitraan yang berjubah populisme, namun kenyataannya sebaliknya, Jokowi sering menggunakan pola penegakan hukum dengan cara persekusi dan kriminalisasi terhadap kelompok lawan politik, termasuk praktek obstruksi dan disobidiensi terhadap kroni yang terpapar korupsi dan gratifikasi, sehingga negara nampak membabi buta menyingkirkan kepastian hukum dan punahkan rasa keadilan masyarakat di era manis Jokowi 2014- bahkan  sampai medio desember 2024 memasuki kabinet merah putih dirasa masih bercorak dengan dimensi politik kekuasan ala Jokowi disertai fenomena “wajah belasan menteri setia sampai mati kepada Jokowi” diantaranya Muhaimin Cs.

Maka perspektif publik tidak juga dinyatakan keliru, Jokowi presiden 2 (dua) periode (2019-2024), kepingin memiliki partai bergambar banteng yang jeroan para karakter individu partainya sudah Jokowi hapal, karena pernah mesra selama kurun satu dekade/ 8-10 tahun, dengan segala kekuasaannya, tentu kontribusi saat itu dirasa nyaman di hati sang presiden dan kroni, selain isme daripada visi dan misi partai PDIP yang nasionalis cenderung sosialis, yang cocok selera dan amat menjiwai Joko Widodo.

Hanya saja gelagat Jokowi untuk menguasai partai tersebut dapat dibaca arahnya oleh Megawati Soekarno Putri, melalui interaksi Jokowi dengan segelintir petinggi di DPP PDIP dan ditandai gelagat manufer ngeyelnya para personal individu partai tersebut, yang anggap Megawati lex generalis, namun justru “lex specialis” terhadap Jokowi” sang presiden petugas partai.

Dan pola manufer para oknum petinggi partai dimaksud terbukti belakangan, setelah ber-kejelasan lalu pelan tapi pasti dibatasi gerakannya melalui surat peringatan, lalu disingkirkan dan akhirnya diberhentikan dan ada yang keluar dengan sendirinya setelah “transparan” membangkang. Diantaranya Budiman Soedjatmiko, Maruarar Sirait dan Efendi Simbolon.

Para tokoh pembangkang partai ini bakal lebih nekad  transparan dan berani kibarkan “Bendera dengan gerbong Jokowi” dalam internal partai,  andai saja Jokowi direstui mengangkangi konstitusi cukup dua periode sebagai pembatas, namun nafsu syahwat Jokowi tanpa gelap-gelapan kepingin 3 periode non pemilu.

Andai tak dicegah sang maestro Puan/ Tuan Partai PDIP entah kapan bakal berakhir Jokowi menjabat Presiden RI. Bahkan bisa jadi sistim republik bakal menjadi separuh monarki, cukup dengan Keppres, jabatan presiden bisa turun kepada Gibran Bin Jokowi? Jo. Omnibus Law yang overlaping bahkan bakal lebih tinggi dari UUD. 1945 dengan metode “menyipitkerdilkan” sistim konseluensi hierarkis undang-undang dan nafikan eksistensi lembaga penyelenggara negara yang ada, dengan pola disfungsikan MK dan DPR RI dalam praktik, lalu terus omnibus law direvisi sampai menyerupai UU khusus CILAKA-kan bangsa dan negara dengan metode menggigit keras dan menghancurkan siapapun versus politiknya.

Tentang sistim monarki ala Jokow tentu merupakan inkonstitusional, maka kesimpulan pertanyaannya adalah, “pelanggaran apa yang tak mungkin dilakukan oleh sosok berkarakter Jokowi yang seolah humoris, pluralis dan low profile, “namun berselimut utang dosa-dosa politik-hukumnya bak berkas menumpuk tinggi sampai menyentuh plafon ruang arsip?

Realitas saat ini fenomena langkah politik Jokowi sudah beralih strategi kepada faktor anak biologisnya sosok Gibran.

Maka faktor seorang genetika Jokowi plus biografi pendidikannya sesuai data empirik, identik dengan Gibran yang ditengarai (diyakini) hanya memiliki biografi pendidikan SMP dan 99, 9 % (100 % pembulatan desimal) adalah makhluk Fufu Fafa, tentunya hal yang melanggar sistim hukum UU. Tentang Pemilu Jo. TAP MPR RI Nomor 6 Tahun 2021, untuk mendaftar dan menjabat sebagai Wakil Presiden RI.

Maka tiga orang anak beranak dan menantunya Bobby serta keluarganya termasuk Anwar Usman dengan historis putusan MK dan MKMK jelang pilpres 2024 maka harus mendapat “merk di kening sebagai common enemy” tidak saja pribadi internal PDIP secara kolektif kolegial, namun musuh general bangsa ini.

Jokowi bisa saja sementara membuat politisi partai (PDIP) terlena, karena memprediksikan putranya Kaesang sudah menjadi Ketum Partai. Padahal PSI alat mimikri Jokowi, agar para politisi PDIP dan lainnya lepas kontrol, partainya (PDIP) bakal aman dari perompak partai yang menunjuk pada peristiwa partai demokrat, jadi sambil Indig-indig dan intip-intip kesalahan Sekjen Hasto Kristiyanto melalui stok aparatur yang tersisa di KPK untuk tujuan final menjerat Megawati Sang Ketum Partai, lalu lengser menyerah kalah dan partai PDIP pun berubah genggaman sesuai “mimpi jahat” Jokowi.

Sehingga Hasto sebagai tokoh prioritas  yang wajib dipatahkan oleh Jokowi, selain vokal dan keras memberikan perlawanan dan pernah terang-terangan mendiskreditkan IKN, dengan statemen sarkastik, “Kepala Otorita IKN, Bambang Susantono serta wakilnya, Dhony Rahajoe, mundur dikarenakan perencanaan yang terburu-buru (tidak matang) dari Presiden Joko Widodo padahal mendekati agenda perayaan hari sakral 17 Agustus 2024 (ulang tahun kemerdekaan RI) di IKN.

Selebihnya Hasto tokoh yang nampak lebih humble dan piawai strategi ilmu politiknya dibanding Puan Maharani sekalipun, selain realistis Hasto motor organisasi dan pendamping setia dan memiliki kedekatan dengan sosok Megawati sang Ketua Umum, dan dari sisi pandang objektif merupakan maestro politisi perempuan nomor wahid pasca kemerdekaan RI selain Putri dari Ir. Soekarno Presiden RI pertama.

Maka kesimpulannya Jokowi tetap berselera terhadap kemegahan partai PDIP bahkan andai ada kesempatan Jokowi bisa jadi meng-unifikasi PSI kedalam PDIP atau masing-masing bapak dan anak menjadi pemimpin partai yang  beraroma rasa nasionalis-sosialis, maka seluruh kader PDIP harus waspadai terhadap gerak-gerak gerik Jokowi dan langkah politis yang paling jitu adalah LAWAN SECARA RADIKAL DENGAN FORMAT SATU KATA “KANDANGI” SEGERA PERGERAKAN POLITIK JOKOWI.

Damai Hari Lubis
Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212

Penulis adalah Pakar Peran Serta Masyarakat dan Kebebasan Berpendapat

Gedung Dewan Pers Jumat, 20 Des 2024