Rumah Musik Harry Roesli di Bandung/ist

Rumah Musik Harry Roesli
Perlu Perhatian Pelestarian

RUMAH Musik Harry Roesli (RMHR) mau dijual. Beban biaya pemeliharaan dan operasional menjadi alasan utama. RMHR butuh perhatian dan pelestarian.

Justru label RMHR yang menempel pada dinding rumah di Jl. Supratman 59 Bandung itu. Bangunan di atas lahan 800 m2 yang tak semata heritage dengan arsitektur kolonial Belanda. RMHR bernilai sejarah, simbol kreativitas musik Kota Bandung.

Bahkan sepanjang dua dekade, sejak kepergian sang tokoh — RMHR tetap berkiprah. Senantiasa berupaya tetap eksis, melanjutkan semangat dan dedikasi almarhum Harry Roesli. Dalam dunia seni dan pentas musik negeri ini. Harry Roesli wafat pada usia 53 tahun, 11 Desember 2004. Terlahir di Bandung, 10 September 1951.

Budayawan, Budi Dalton mengusulkan — agar RMHR (kelak) dapat dimiliki Pemkot Kota Bandung. Muhammad Farhan selaku Wali Kota Bandung (terpilih) memberikan respons pada kesempatan pertama. Tentu, tak serta-merta. Farhan belum secara definitif menjabat Wali Kota Bandung. Kecuali itu, harus lebih dulu urun-rembug dengan para pemangku kepentingan, utamanya lembaga legislatif.

Meski baru tahap awal perhatian, setidaknya sudah cukup membuka pintu opsi solusi. Bahkan, perhatian itu bisa meningkat ke level Pemprov Jawa Barat. RMHR bukan cuma soal Kota Bandung, bukan pula sebatas lingkup provinsi Jawa Barat. Lebih dari itu, RMHR punya reputasi nasional. Empat bulan lalu, almarhum Harry Roesli berhak atas penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma. Apresiasi atas dedikasi dalam bidang seni dan budaya disampaikan Presiden Joko Widodo kepada istri almarhum, Kania Perdani, 14 Agustus 2024.

Dalam konteks menjual rumah pada umumnya, tampaknya tak sulit. Namun juga tak mudah, terkait aspek heritage dan catatan sejarah. RMHR yang menggeliat sebagai ekosistem musik kota Bandung. Tak sulit, lantaran lokasinya di pusat kota. Di jalur utama Gedung Sate, Kantor Gubernur Jawa Barat. Berjarak hanya sekira satu km dari ikon kota Bandung itu.

Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli — nama lengkap Harry Roesli adalah cucu dari sastrawan Indonesia, Marah Roesli (07 Agustus 1889 – 17 Januari 1968). Harry Roesli dikenal sebagai musisi kontemporer. Sosok panggung yang tampil beda dan konsisten dengan kritik sosial. Dikenal pula sebagai aktivis Perjuangan Mahasiswa 1977/78. Pascareformasi 1998, menandai tumbangnya rezim orde baru — penulis menyaksikan orasi almarhum dalam aksi di depan Gedung Sate, Bandung.

Musisi bengal dan nyentrik pernah memperjuangkan, agar Kota Bandung memiliki gedung pertunjukkan. Arena pentas musik yang representatif dalam kapasitas dan akustiknya. Masa itu, hanya Gelora Saparua — gedung olahraga badminton, yang amburadul secara akustik. Dalam setiap pergelaran, harus lebih dulu menggayutkan puluhan lembar parasut bekas di langit-langit — demi mengatur gelombang suara tidak pecah bercecer.

Gedung atau arena pentas musik yang spesifik Kota Bandung tak pernah terwujud hingga kini. Harry Roesli dan kawan-kawan melancarkan kritik dan sindiran lewat gerakan bermusik. Antara lain bersama Dinny Swarma, membuat Pergelaran Musik Akustik 1982 di GOR Pajajaran. Arena olahraga yang tentu, secara akustik tidak memadai.

Pada tahun itu juga, Harry menggelar Musik Sikat Gigi yang terinspirasi Sajak berjudul sama karya karya Yudhistira ANM. Massardi. Kala itu, Guruh Soekarnoputra sebagai bintang tamu. Lagi-lagi harus di Gelora Saparua, menyusul ditutupnya Gedung Merdeka untuk pentas musik dan kegiatan umum lainnya. Gerakan moral Harry Roesli ditandai dengan menyumbang 20 keping bata merah ke Wali Kota Bandung, Husein Wangsaatmaja.

Bersamaan dengan pengembangan eks Penjara Banceuy pada 1983, Wali Kota memberikan fasilitas yang diharapkan itu. Tapi tak bersesuaian dengan gedung pentas musik hingga tak pernah difungsikan.

Lahirlah RMHR yang senantiasa hidup, bahkan setelah 20 tahun sepeninggal Harry Roesli. Hingga kabar kemudian akan dijual. Sepanjang hidupnya, Harry membangun ekosistem musik di kota kelahirannya. Bukti kecintaannya terhadap Kota Bandung yang sejak masa kiprah almarhum dikenal sebagai gudangnya musisi dan penyanyi bertalenta Indonesia.

Almarhum mengawali performa musik lewat Gang of Harry Roesli pada awal 1970an. Dimotori Albert Warnerin (gitar), Janto Soedjono (drums, perkusi), Indra Rivai (keyboard), Harry Pochang (harmonika, vokal), dan Dadang Latief (gitar). Berkiprah selama lima tahun. Bersamaan itu membentuk Kelompok Teater Ken Arok dengan beberapa kali pementasan. Antara lain Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada paruh 1975, sebelum diusik aparat.

Dalam perjalanannya, RMHR juga membina para seniman jalanan dan kaum pemulung di Bandung. Lewat wadah Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) yang juga pernah melahirkan DKSB Band.

Sejalan waktu dan sejarahnya, kini RMHR akan dijual. Tak semata menjual, tak pula sebatas membeli — setara transaksi pada umumnya. Nama mendiang Harry Roesli, hendaknya senantiasa melekat di sana. Di sekujur bangunan rumah bernomor 59. Nama melegenda.***

imam Wahyudi (iW)
jurnalis senior di bandung