Jika Kita Tak Menyelamatkan Tanah Banten Hari Ini, Maka Tak Ada Harga Diri Kita Dihadapan Anak Cucu Kelak
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
“Nak, itu tanah, laut dan pantai dulu milik kita, Wong Banten. Tapi sekarang, semua telah menjadi milik Aguan”
[Prolog]
Kita berjuang, pada hari ini hakekatnya tidak sekedar untuk generasi kita. Melainkan, juga untuk generasi anak cucu setelah kita. Kita berjuang pada hari ini, selain agar ada hujjah kelak dihadapan Allah SWT, juga agar kita mampu mendongakkan wajah kita, pada anak cucu generasi selanjutnya.
Apa yang mau dibanggakan, ketika kelak kita hanya mewariskan sejarah, sementara sejarah itu dipenuhi dengan aib dan rasa malu? Bayangkan, kita bercerita tentang tanah dan air milik kita, tetapi itu hanya sebatas kisah, karena pada faktanya itu semua tak lagi kita miliki? Bayangkan, jika kisah sedih dan rasa tak punya harga diri itu, kita wariskan kisahnya kepada anak cucu kita kelak?
Kita, tak mungkin menuliskan sejarah aib dan mewariskan rasa malu, pada generasi setelah kita. Sebaliknya, kita wajib menunjuk sejarah para ksatria yang melawan, yang dengan kisah itu anak cucu kita kelak dapat mendongakkan wajah dan membusungkan dada, sambil meneriakkan kata-kata “Kami adalah anak cucu para ksatria, para pejuang yang mempertahankan bumi air tempat leluhur kami tinggal, tempat kakek buyut kami hidup, dan tempat kami berjuang menyambung nyawa”.
Demikianlah. Hakekat perjuangan dan perlawanan terhadap kezaliman proyek PIK-2, bukan sekedar perjuangan hari ini, tetapi hakekatnya kita sedang menulis sejarah. Sejarah, yang akan kita wariskan pada generasi selanjutnya.
Kita, telah bangga dengan sejarah Sultan Ageng Tirtayasa. Kita juga bangga, dengan lahirnya Syaikh an Nawawi al-Bantani dari Bumi Banten.
Maka tugas kita selanjutnya, memberikan kebanggaan pada anak cucu kita, generasi selanjutnya. Kebanggaan atas sikap perlawanan untuk membela setiap jengkal tanah Banten.
Biarkan saja! Mereka, yang memilih menulis sejarah menjadi antek-anteknya Aguan. Abaikan saja, mereka yang memilih sekerat tulang dunia yang tidak mengenyangkan, ketimbang memburu kehormatan dan legacy kebanggaan bagi generasi selanjutnya.
Biarkan saja! Penguasa yang terus buta dan tuli, sehingga konsisten bungkam. Mereka, hanya perduli dengan singgasana kekuasaannya. Mereka, tak peduli pada rakyat yang dulu disembahnya.
Kita tidak akan tinggal diam, apalagi turut menyuarakan syair syair kebatilan. Kita adalah barisan Al Haq, yang melawan al Batil.
Catatlah! Nama-nama Kita di barisan pejuang. Bukan pecundang! Abadikan! Nama-nama Kita pada kompilasi barisan para pelawan.
Jika kita tidak menuliskan sejarah kebajikan hari ini, maka sejarah tak menyisakan waktu untuk menghapus keburukan. Sejarah, hanya bisa mengabadikan. Abadikan nama kita, dalam sejarah kaum pejuang yang melawan penindasan, melawan perampasan tanah rakyat Banten berdalih bisnis properti. [].