Foto: dok. akun X YLBHI

PPN Itu Membakar Hati Jika 12%

CATATAN Aendra MEDITA *)

PAK Ahin, seorang penjual sayur keliling, berdiri di depan rumahnya sambil mengeluh kepada tetangganya. Harga-harga semakin naik, katanya, karena pemerintah berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11% menjadi 12 %.

“Bagaimana kita mau hidup kalau pajak begini besar? Semua akan kena dampaknya! Dari beras sampai gula, dari minyak sampai sayur yang saya jual. Yang rugi tetap kita, rakyat kecil,” keluhnya sambil menyeka peluh di dahi.

Sementara itu Bu Hanum, tetangga sebelahnya, ikut menimpali. “Betul, Pak Ahin, seorang penjual sayur keliling, berdiri di depan rumahnya sambil mengeluh kepada tetangganya.  Dulu saja dengan pajak 10 persen, kita sudah pontang-panting. Apalagi sekarang! Apa pemerintah tidak mikir kalau rakyat kecil ini bukan punya simpanan di bank?”

Di pasar, pembeli mulai enggan berbelanja dalam jumlah besar. “Cuma beli dua tomat, Pak,” kata seorang ibu muda kepada Pak Ahin. “Sekarang semua mahal, jadi harus hemat.”

Pak Ahin hanya bisa tersenyum pahit. Jika PPN dinaikkan, ia tahu akan makin sulit bagi pedagang kecil seperti dirinya untuk bertahan. Pajak itu akan merembet ke semua harga, dari produk utama sampai kebutuhan pokok.

Singkat cerita itulah yang terjadi saat ini di publik, di rakyat. Para pengamat berkomentarsegalah maca, tapi tak bergeming. PPN Naik, kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen merupakan amanat dari UU Nomor 7 tahun 2021 tentang HPP yang berlaku sejak 2021. “Kenaikan PPN sesungguhnya bukan peristiwa yang datang seketika. Sebelum 1 April 2022, tarif PPN berlaku 10 persen,” kata salah satu anggota DPR RI. Kalau dipantau setelah UU Nomor 7 Tahun 2021 berlaku, pemberlakuan kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen per 1 April 2022 diatur dan selanjutnya tarif PPN naik bertahap menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025.

Pelaksanaan APBN 2025  pemerintah diberikan ruang diskresi untuk menurunkan PPN pada batas bawah di level 5 persen dan batas atas 15 persen bila dipandang perlu, waktu itu. Dimana mempertimbangkan kondisi perekonomian bangsa. UU Nomor 7 Tahun 2021 Bab IV pasal 7 ayat 1 huruf b mengatur bahwa pemberlakukan PPN 12 persen berlaku paling lambat 1 Januari 2025. Pemerintah dan DPR sepakat untuk memasukkan asumsi tambahan penerimaan perpajakan dari pemberlakuan PPN 12 kedalam target pendapatan negara pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

Nah sema seperti pak Ahin dengan DPR disebuah desa ada sebuah rapat warga, para tetangga mulai berdiskusi tentang langkah apa yang bisa diambil. “Kita harus bersuara. Kalau kita diam saja, kenaikan PPN ini pasti akan terus berjalan,” kata Pak Ka Desa.

APBN 2025 diundangkan melalui UU Nomor 62 Tahun 2024. UU itu disepakati seluruh fraksi di DPR dan hanya fraksi PKS DPR RI yang memberikan persetujuan dengan catatan. Maka pemberlakukan PPN 12 persen dianggap berkekuatan hukum.

Taoi kembali harusnya negara atau  DPR  harus paham rakyatnya bukan hanya bisa untuk mempersulit rakyat jika PPN dinaikkan sedang bisnis tambang lainnya tidak, ada hirarki dan ini  makin sulit bagi pedagang kecil untuk bertahan. Pajak itu akan merembet ke semua harga, dari produk utama sampai kebutuhan pokok.

Dr. Syahganda Nainggolan dari Sabang Merauke Circle menulis bahwa kegaduhan di ruang publik terkait kenaikan pajak PPN dari 11% menjadi 12% telah berlangsung intens beberapa bulan terakhir. UU No 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang memuat 6 kebijakan terkait penerimaan negara, yang disusun oleh pemerintahan era Jokowi dan PDIP sebagai partai pemenang pemilu saat itu, menyatakan bahwa tahun 2025, adalah masa pemberlakuan PPN 12%. Namun, kegaduhan di publik saat ini dimotori oleh elit-elit partai PDIP, baik di DPR, maupun di luar DPR, serta kalangan intelektual yang terafiliasi dengan mereka, seperti Mahfud MD, Ganjar Pranowo sendiri menyerang pemerintah dalam isu kenaikan pajak ini dengan menggunakan istilah sarkastik “pemerintah harus dengar jeritan hati rakyat”.

Dalam suasana ekonomi yang memburuk, di awal pemerintahan Prabowo Subianto, yang merupakan bawaan pemerintahan Jokowi dan PDIP, tentunya sangat sulit bagi Prabowo menghindari ketentuan Undang-undang yang sudah diberlakukan. Sehingga, dalam konteks kenaikan pajak PPN sebesar 1% dari sebelumnya, pemerintah berusaha mengklasifikasi jenis-jenis barang dan jasa mewah tertentu yang diterapkan naik, sebaliknya beberapa jenis barang dan jasa vital bagi masyarakat umum tidak dinaikkan. Pengenaan kenaikan pajak misalnya pada  barang-barang luxurious seperti mobil, makan di hotel-hotel mewah, telah menjadi prioritas utama. Namun, disinipun kita melihat orkestrasi elit-elit PDIP menyerang kebijakan tersebut.

Sepertinya pintu PPN Itu membakar hati rakyat jika 12% terus dan akan berlaku tahun baru ini?

Dr Memet Hakim Pengamat Sosial dan Wanhat APIB & APP TNI menilai wajar sekali banyak yang menolak kenaikan pajak (PPN 12%), karena sangat memberatkan masyarakat kecil. PPN ini dipungut pada setiap produk olahan, tapi kadang juga barang setengah jadi dijadikan objek pajak. “APBN memang 2.400 triliun dari 3.000 triliun merupakan hasil pajak yang diambil dari rakyat menengah bawah, sekitar  490 triliun  dari BUMN dan pendapatan non pajak lainnya, sisanya defisit. “Pajak dari orang kaya  justru lebih sulit dikumpulkan, jadi dengan kata lain kelompok menengah bawah merupakan penopang negara, sedang kelompok orang kaya, 10 % dari penduduk justru disubsidi,”ungkap Memet Hakim yang juga pakar Sawit.

Lebih lanjut diriny menilai inilah kelemahan menteri keuangan dan Dirjen pajaknya. Lihat pula bagaimana kehidupan karyawan pajak dan bea cukai, mereka menikmati pajak dari perusahaan yang mau kolaborasi dalam merugikan negara. Mereka ini taunya rakyat kecil kalo bisa terus diperas, mereka tidak mau repot-repot menggali dari sumber lainnya.

“Mereka bagaikan robot, tapi bisa berpikir untuk para taipan yang bersedia bekerja sama. Lihat kasus susu di Boyolali. Impor susu dibebaskan pajak, tapi susu petani dikenakan pajak. Contoh ini membuka mata rakyat betapa bodohnya kementerian keuangan ini, akibat pro pengusaha.” ungkapnya.

Jika saja Omnibus Law dicabut, peluang mendapatkan dana ribuan triliun terbuka, terutama dari sektor pertambangan dan perkebunan. Jika BUMN  dibenahi dan dikembangkan peluang mendapatkan diatas 500 triliun terbuka, mengingat asetnya ada 10.000 triliun. Jika pajak regresif diberlakukan pada lahan tidur seluas 20 juta ha Di Indonesia,  peluang mendapatkan pajak bumi dan bangunan akan bertambah sebesar sekitar 500 trilyun, dan dana beredar di daerah bertambah sekitar 500-1000 triliun.

“Itu kalau kementerian keuangan mau mikir dan usaha, sekarang pinternya hanya menaikkan pajak dan mencari alasan untuk membodohi rakyat,” jelasnya.

Ahmad Noer Hidayat, ekonom dan dosen UPN, dalam tulisannya “Tolak Kenaikan PPN: Saatnya Kebijakan Kreatif untuk Indonesia Lebih Baik” menyarankan agar kenaikan pajak PPN 12% ditunda. Ahmad juga memberikan berbagai solusi untuk pemerintah dapat menggantikan kebijakan itu melalui penaikan pajak sektor digital dengan potensi penerimaan  Rp. 70-100 T, optimalisasi tata kelola perpajakan dengan potensi penerimaan Rp 50-75 T dan terakhir peningkatan pajak orang kaya (wealth tax).

“Pajak orang kaya berbeda dengan pajak PPh Badan yang juga masuk dalam bahasan UU HPP. Untuk Wealth tax ini di Amerika Serikat, misalnya, dikenal merupakan ide kebijakan dari kelompok pemikir demokrat seperti Profesor Stiglitz,”ungkapnya.

Akhirnya jika kita secui kesimpulan bahwa kasus PPN 12% ini naik keluhannya saja dari mulai warga tukang sayur dan pengamat sudah mengatakan demikian. Apakah masih ada ruang secara komunikasi politik antara pemerintah dengan kenyataan (rakyat)? Janganlah membakar hati rakyat? Kita lihat saja apa yang terjadi tahun baru ini? . Tabik…!!!

Aendra Medita/ist

Analis dan peneliti di Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI) JAKARTA

Sentul, 31 DESEMBER 2024