INDONESIAMU, INDONESIAKU, INDONESIA KITA (8)
Abdullah Hehamahua
Hutan Indonesia, selain memiliki pohon kayu, tanaman nonkayu seperti rempah-rempah dan bahan baku herbal, juga menjadi lahan perkebunan. Ia meliputi perkebunan karet, kelapa sawit, cengkeh, pala, kakau, lada, rami, dan lain-lain.
Artikel seri ini, dikomunikasikan perkebunan karet sebagai salah satu komoditas ekspor, selain untuk keperluan domestik.
Karet Indonesia, 10 tahun belakangan ini sangat murah harganya. Hanya Rp. 5.000 – Rp. 6.000 per kilogram. Satu dari sekian penyebabnya, karet Indonesia kurang berkualitas. Sebab, petani mencampur susu karet dengan pasir, kerikil atau ranting agar berat ketika ditimbang pembeli.
Petani karet di Sumsel misalnya, tidak bisa sekolahkan anaknya ke pendidikan tinggi karena berkurangnya penghasilan akibat rendahnya harga karet. Pemda, dalam kontek ini, jarang, bahkan boleh dibilang, alpa dalam membimbing petani, bagaimana memperoleh karet yang bermutu. Hal serupa terjadi di Jambi, Sumut, dan Kalimantan. Dampaknya, petani kurang bersemangat ke kebun untuk menyadap getah karet.
Tragisnya, Thailand, dengan luas lahan 2 juta ha, tahun 2018, menghasilkan 3,76 juta ton. Indonesia, pada tahun yang sama, dengan lahan 3,67 juta ha, produksinya hanya 3.7 juta ton. Sebab, produktivitas perkebunan karet di Indonesia hanya berkisar 1,1 ton per hektar. Produktivitas karet Thailand, 1,7 ton per hektar.
Anehnya, Malaysia yang hanya punya lahan karet seluas 1,84 juta hektar, tapi menghasilkan 1,27 juta ton. Penyebabnya, Malaysia menerapkan “Mercu Cut Tapping System” (MCTU). Teknologi ini meningkatkan hasil karet sebesar 300 persen dari cara yang diterapkan di Indonesia.
Dahsyatnya, Malaysia punya kebun karet yang luas di Indonesia. Kuala Lumpur Kepong Berhad (KLK) misalnya punya 139.126 ha di Sumatera, Babel, dan Kalimantan. Perusahaan perkebunan terbesar Malaysia, Kumpulan Guthrie Berhad memiliki ribuan hektar karet di Sumut dan Kalbar.
Penyebab lain, karet Indonesia kalah produksi dari kedua negeri jiran karena pemerintah Thailand dan Malaysia, serius memerhatikan petani mereka. Hal tersebut dilakukan dengan cara memberi bimbingan ke petani, meremajakan pohon karet, dan menampung hasil karet petani. Hasilnya, petani tidak menjadi korban tengkulak.
Karet Menurut Anda
Anda mungkin lupa, Petani karet Ogan Komering Ilir (OKI) unjuk rasa di kantor gubernur Sumsel. Mereka mendesak pemerintah untuk segera mengembangkan industri hilir berbasis karet agar mendongkrak harga jual karet petani.
Sekjen Serikat Petani Sriwijaya (SPS), Anwar Sadat mengatakan, “Ketidak-stabilan harga karet itu membuat petani menjerit. Olehnya, Pemda harus cepat tanggap untuk memberikan solusi bagi usaha karet petani.”
Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) menyebutkan, nilai ekspor karet tergerus, nyaris 50% dalam 5 tahun terakhir. Menurutnya, produksi karet alam nasional pada tahun 2023, sebesar 2,25 juta ton, turun dari produksi tahun sebelumnya, 2,65 juta ton. Ekspor pun turun dari 2,08 juta ton, tahun 2022 menjadi 1,76 juta ton hingga akhir tahun 2023.
Wakil Direktur Eksekutif Gapkindo, Uhendi Haris mengatakan industri karet nasional mengalami keterpurukan sehingga kinerja produksi dan ekspor karet alam terus mengalami penurunan sejak 2017 hingga tahun 2023.
Tragisnya, menurut Uhendi, kondisi produksi karet seperti itu mengakibatkan 46 dari 152 pabrik “crumb rubber” tutup sepanjang 6 tahun terakhir. Anehnya, Uhendi mengatakan, Indonesia sebagai negara yang punya lahan karet terluas di dunia, tapi harus mengimpor bahan olahan karet (bokar) sebanyak 254.454 ton sejak 2019 hinga Oktober 2023.
Karet Menurut Saya
Penulis, sewaktu menjadi Direktur Pascasarjana, STIE Mura, menugaskan mahasiswa, meneliti, mengapa harga karet di Sumsel, rendah. Hasilnya sama dengan temuan pejabat Dinas Perkebunan Sumsel, Rudi Aprian, yakni:
(a) Kebijakan Tiongkok mengenai pandemi Covid-19 yang menerapkan “lockdown” terhadap karet. Padahal, China, konsumen karet nomor satu dunia;
(b) Perang Rusia – Ukraina turut mempengaruhi ekonomi global di mana eropa mengalami resesi, krisis pangan dan daya beli masyarakat berkurang;
(c) Daya saing karet asal Thailand yang lebih murah dibanding milik Indonesia. Padahal, Thailand adalah produsen karet nomor satu dunia;
(d) Penurunan harga karet di Sumsel, bukan hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal, tetapi juga faktor internal. Sebab: (a) Sebagian besar produksi karet petani rendah karena bibit asal-asalan, kurang pemeliharaan dan pemupukan; (b) Mayoritas tanaman, sudah tua; (c) Sebagian besar karet dijual melalui pedagang pengepul secara harian; (d) Kebiasaan petani yang menyimpan bokarnya secara direndam atau dicampur dengan bahan bukan karet guna memperberat timbangan; (e) Petani karet selama ini menggunakan pembeku lateks yang murah.
Karet Kita
Karet adalah komoditas andalan ekspor Indonesia setelah kelapa sawit. Sebagian besar karet dipakai untuk bahan baku pembuatan ban kendaraan. Sisanya digunakan untuk pembuatan sarung tangan, benang, dan produk alas kaki
Sumsel, tahun 2023 menjadi provinsi dengan perkebunan karet terluas, 883,3 ribu ha. Sumsel menghasilkan 767.000 ton karet. Posisinya diikuti Jambi, 408,5 ribu ha (11,5%) dengan produksi 285.500 ton; Sumatera Utara, 373,1 ribu ha (10,5%) dengan produksi 307.800 ton.
Provinsi penghasil karet lainnya adalah: Riau (214.800 ton), Kalbar (183.200 ton), Kalsel (153.200 ton), Kalteng (136.400 ton), Sumbar (122.000 ton), Lampung (116.700 ton), Bengkulu (87.100 ton); Kaltim (66.300 ton), Aceh (63.900 ton), Babel (38.600 ton), Jabar (36.900 ton), Jateng (23.700 ton), Jatim (17.400 ton), Kepulauan Riau (10.300 ton), Banten (8.400 ton), Papua (4.800 ton), Sulsel (3.800 ton), Sulteng (2.500 ton), Maluku (700 ton), Kalimantan Utara (200 ton), dan Sultra (100 ton).
Pemerintah menjadikan karet sebagai bahan baku bagi beberapa keperluan, antara lain: (a) Bahan konstruksi; (b) Produk medis; (c) Produk rumah tangga; (d) Bahan kemasan; (e) Bahan bakar; (f) Bahan campuran aspal; dan (g) Pupuk.
BPS mencatat, PDB atas dasar harga konstan dari industri karet, barang dari karet, dan plastik sebesar Rp15,85T pada kuartal II/2023. Namun, nilai kontribusi karet terhadap PDB tersebut merosot 7,18% dari tahun sebelumnya, Rp16,6 T.
Simpulannya, karet dapat diandalkan sebagai salah satu penyumbang APBN/APBD dan peningkatan kesejahteraan petani. Hal tersebut dapat wujud jika pemerintah melakukan beberapa hal berikut: (a) Pemajaan tanaman karet dengan benih unggul; (b) Bimbingan Pemerintah yang kontinyu ke petani karet, baik mengenai memilih benih, cara menanam, memupuk, menyadap, maupun memproses susu karet; (c) Pemerintah menampung semua susu karet produk petani pribumi dengan harga yang layak; (d) Petani menerapkan MCTU guna tingkatkan kuantitas produksi; (e) Pemerintah memperluas industri hilirisasi berbahan baku karet sehingga selain menaikkan harga karet dan sumbangannya terhadap APBN/APBD, juga mengurangi penaganguran. Semoga !!! (bersambung) (Shah Alam, 29 Januari 2025).