Tak Ingin Jadi Tentara
Cerpen
Wahyu Ari Wicaksono
Di sebuah sudut kantin sekolah, di bawah pohon trembesi yang rindang, sekelompok siswa SMA kelas tiga tengah berdiskusi seru. Ini adalah waktu-waktu krusial bagi mereka, menentukan jalan hidup setelah kelulusan.
“Aku mau masuk IPDN,” kata Roni dengan penuh percaya diri. “Jalan cepat jadi pejabat. Sebentar jadi lurah, naik camat, tahu-tahu sudah kepala dinas. Kalau hoki, bisa jadi bupati atau gubernur. Asal tahu cara mainnya.”
“Aku sih tetap pilih STAN,” saut Joko sambil mengaduk es teh. “Keuangan negara itu ibarat tambang emas, Bro. Pegang duit negara, kalau licin bisa kaya, kalau apes ya masuk berita. Tapi paling tidak, masa depan terjamin.”
“Aku beda, aku mau jadi pebisnis sukses!” seru Arman berapi-api. “Kuliah di fakultas ekonomi, belajar trik-trik bisnis, dan bangun perusahaan sendiri. Pokoknya jadi bos, bukan buruh!”
“Aku ingin masuk Hubungan Internasional,” ujar Ratna. “Negosiasi dengan negara lain, ikut pertemuan penting, jadi diplomat. Pakaian rapi, pidato di panggung megah, dan yang pasti—jalan-jalan ke luar negeri gratis.”
“Kalau aku sih mau ke fakultas pertanian,” kata Budi sambil mengunyah tahu isi. “Targetku jadi kepala Bulog. Ngurus beras, jatah sembako, dan memastikan rakyat tetap makan meski harga naik turun. Bayangin aja, kalau kuasai distribusi pangan, kuasai negara!”
“Aku lebih ke sektor hijau,” sahut Darto yang sejak tadi sibuk mencoret-coret kertas. “Kehutanan, Bro! Jaga hutan, tapi kalau ada investor butuh lahan, ya kita bisa diskusi. Sustainable development, katanya.”
Tiba-tiba, Doni yang sejak tadi diam saja, bersandar di bangku sambil tersenyum sinis, akhirnya angkat bicara.
“Aku mau masuk Akademi Militer atau Akademi Kepolisian.”
Semua mata tertuju padanya. Joko mengangkat alis, Arman hampir tersedak, Ratna melongo, sementara Budi meletakkan tahu isinya.
“Serius lo?” tanya Roni. “Lo mau jadi tentara atau polisi?”
Doni tersenyum. “Tidak. Aku tidak mau jadi tentara atau polisi.”
“Terus, kenapa masuk Akademi Militer atau Akademi Kepolisian?” Darto yang biasanya kalem kini juga penasaran.
Doni meletakkan tangannya di meja, menatap mereka satu per satu dengan tatapan seorang visioner. “Bro, kalian pikir ke depan dong. Lihat berita! Siapa yang sering jadi komisaris BUMN? Siapa yang sering dapat jabatan strategis di perusahaan negara? Siapa yang dapat proyek besar dan tender empuk? Mereka bukan pengusaha, bukan ekonom, bukan diplomat, bukan pakar keuangan. Mereka, Bro… adalah mantan jenderal, mantan kapolri, mantan panglima.”
Kantin hening. Hanya terdengar suara kipas angin tua yang berdecit.
“Lo nggak mau jadi tentara, tapi lo mau pangkat?” tanya Arman dengan nada tak percaya.
Doni mengangguk. “Aku nggak butuh berperang. Aku butuh pensiun dengan jabatan. Lo pikir jadi pejabat sipil itu harus kuliah di kampus sipil? Nggak, Bro! Yang lebih pasti jalannya itu lewat Akademi Militer atau Akademi Kepolisian. Tiga puluh tahun masuk, pensiun, langsung jadi komisaris. Lo lihat sendiri kan?”
Joko memukul meja. “Brilian, Bro! Lo pikir panjang! Kita ini terlalu mikirin kerja keras, padahal dunia ini tentang kerja cerdas!”
“Nah, makanya,” Doni menepuk pundaknya, “Jangan cuma mikirin mau jadi apa, pikirkan juga jalur tercepatnya. Aku nggak mau jadi tentara atau polisi, aku mau jadi Menteri, Komisaris, atau Direktur BUMN! Dan lo tahu jalannya ke sana? Ya lewat seragam dulu.”
Kantin masih sunyi. Matahari bersinar terang, tapi seketika mereka merasa seperti tersadarkan oleh sebuah kenyataan pahit.
Roni bersandar lemas. “Kayaknya gue salah ambil jalur, ya?”
Ratna menghela napas. “Jadi semua ini… cuma permainan?”
Doni terkekeh. “Bukan permainan, Bro. Ini strategi.”
[]