Roy Suryo 22 Juli 2022 Dijerat Undang-Undang ITE Pasal Penodaan Agama “oleh Jokowi”?
Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Jika publik flashback siapa saja sosok yang dilaporkan karena dianggap pernah menistakan atau menghinakan individu atau sebuah kelompok atau golongan tertentu yang menimbulkan rasa benci (hate speech) sehingga menurut hukum ‘dapat’ dituntut oleh pasal penghinaan terhadap sebuah golongan (agama) tertentu berdasarkan Pasal di KUHP Juncto Pasal Ujar Kebencian UU. ITE, namun ternyata stagnasi tak berlanjut ke ranah peradilan?
Maka publik akan menunjuk contoh para figur yang diduga pelanggar pasal ‘ujar kebencian’ dimaksud adalah, Sukmawati, Ade Armando, Permadi alias Abu Janda, Denny Siregar, Yaqut sampai dengan Pendeta Gilbert dan lain-lain banyak lagi, namun semua bisa diselesaikan “secara baik-baik”.
Tapi tetiba kepada sosok Dr. Roy Suryo eks Menpora era SBY sang pakar telematika dan IT harus duluan dipenjarakan baru mendapat vonis pengadilan?
Sebesar apa kesalahan Roy Suryo yang hanya ikutan retweet (merepost) meme stupa/ kepala patung yang wajahnya “sekedar ilustrasi” bukan replika sebagai persis mirip kepala (wajah) Jokowi.
Selebihnya terhadap model para pelaku hate speech lainnya, beberapa dapat dikenali sebagai individu atau bagian dari kelompok oposan orde Jokowi, naik ke meja hijau, namun yang disebut sebagai contoh namanya, nyaris yak terdengar status hukum terlebih persidangannya, karena dapat diselesaikan melalui restoratif justice dari sebuah lembaga keagamaan milik umat, namun tidak diketahui apakah ‘plus amplop.’
Perbandingan penegakan hukum case to case lainnya yang mencolok, yang booming dan tetap beredar tayang di berbagai media sosial, sebuah gambar berikut konten yang serius _membagongkan,_ seolah terbujur sosok mayat Fir’aun, namun dideskripsikan sebagai sosok Jokowi, no problem sampai saat ini oleh sebab apa, mungkin andai yang me-retweet/ repost (saat Jokowi berkuasa) Dr. Roy Suryo atau Rocky Gerung atau Dr. Eggi Sudjana atau Dr. Eng Rismon Hasiholan Sianipar/ HRS akan beda lagi tentunya?
Bahkan kekinian ada contoh sejenis hate speech dari akun kaskus yang namanya Fufa Fafa, yang narasi kontennya lebih bejat dari sebejat-bejatnya ‘kelompok cebong,’ namun tidak atau belum tersentuh oleh hukum positif yang seharusnya berlaku equal.
Selanjutnya, maka hubungan antara kausalitas dipenjarakannya Roy Suryo, menurut perspektif penulis disebabkan oleh analisis Roy Suryo selaku seorang pakar dibidang IT asli alumni UGM, yang Ia posting pada tahun 2020. Sehingga berakibat hukuman penjara harus dijalani 9 bulan oleh Dr. Roy Suryo, sosok yang low profile, sebagai bagian nyata dari para tokoh aktivis (representatif) kaum intelektual.
Perspektif penyebabnya ini (sulit terlepas) daripada benang merah terhadap postingan Dr. Roy 5 tahun yang lalu dari saat ini (2025) atau lebih kurang 2 tahun sebelum Penyidik Polda Metro Jaya memberinya status Tersangka/TSK (22 Juli 2022), adapun komentarnya adalah terkait status copy ijasah Jokowi yang seolah tamat lalu bergelar S.1 dari Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada/ UGM.
Komentar ilmiah Sang Pakar IT 5 tahun yang lalu di akun twitter adalah terkait tentang penggunaan Font baru Times New Roman pada copy ijazah Jokowi yang pastinya belum lazim dipakai pada pertengahan tahun 80-an, tepatnya tahun 1985 saat “Skripsi” dan “Ijazah JkW” itu dibuat.
Detailnya, Selasa, 25/02/2020 dalam Akun X / Twitter @KRMTRoySuryo2 pukul 13.27 WIB, pblik peselancar dapat mengecek di link x.com/KRMTRoySuryo2/status/1232190348916453377 yang saat itu menampilkan 4 (empat) lampiran, masing-masing Halaman “Buku Wisuda” tahun 1985 dengan foto orang yang diaku sebagai JkW, Copy “Ijazah JkW”.
Lalu nyatanya tidak pernah bisa dibuktikan keasliannya hingga saat ini, Skrinsut dari laman Online Public Acess Catalog (OPAC) opac.lib.ugm.ac.id dan tentu saja Sampul luar berikut “Halaman pengesahan” yang sama dengan hasil hipotesis RHS yang dikemukakan belakangan ini (awal Tahun 2025).
Maka inilah awalan lahirnya perspektif penulis melalui data empirik (tidak sekedar apriori), sebagai bagian dari kronologis dendam buzzeRp pro Jokowi, sebagai bahan awal sang pakar IT Dr Roy dibidik berdasarkan stupa yang bukan replika (melainkan imagine) relatif tergantung daya imajinasi pemandang, dan ini merupakan karya yang intinya memang setiap WNI diberikan hak kebebasan berekspresi namun ada alasan dan batasannya, serta proporsional pada tempat dan sosok subjek yang dituju atau dari sisi ‘ilustrasi seseorang terhadap manusia putus urat malu’.
Contoh, ilustrasi terhadap meme stupa “seolah sosok yang gambaran wajah stupa itu bak dewa atau raja diraja walau realistis menjabat di negara republik”, dan imajinasi Roy menyentuh hal relatif sisi pandang ini.
Dan heroik dari seorang Roy yang asli alumni yang normal intelegensi serta inteletualitasnya (ilmuwan), tentu saja merasa terusik disebabkan almamater nya Universitas Gajah Mada, Jogjakarta (UGM) dinodai oleh seorang sosok yang pribadinya bernama Jokowi. Roy lalu menyampaikan analisis terhadap ijazah dimaksud disertai keterangan hasil temuan yang banyak mengandung kejanggalannya, bahkan ditemukan keanehan sekalipun dengan perbandingan alamiah (non digital) atau bukan/ diluar proses tehnik informasi (not or outside information technology), cukup sekedar kasat mata (awam) publik terkait kuping, hidung gigi dan ‘KACAMATA’ serta RAMBUT JOKOWI, sehingga oleh Roy diduga berdasarkan proses ilmiah/ tekhnologi, bahwasanya “Ijazah S.1 Fakultas Kehutanan adaa produk palsu UGM”, atau Jokowi bukan eks alumni lulusan UGM.
Seandainya pun ada pihak yang berkeberatan atau menyangkal analisis Roy, semestinya melakukan bantahan ilmiah, yang juga melalui data keilmuan, bukan proses yang ‘twerlalu’ direkayasa lalu dialihkan menjadi ujar kebencian dan bermuara penjara. Selebihnya ada juga tokoh ummat Budha menyatakan tidak keberatan, walau tanpa amplop.
Namun realitas, otak sang buzzer berudu yang memasang jebakan monyet awal postingan twitter kepala patung mirip Jokowi tidak tersentuh proses hukum sampai saat ini.
Selanjutnya, semestinya kebenaran palsu atau tidaknya atau benar atau tidaknya hasil analisa ilmiah yang berasal dari sosok ilmuwan terlebih asli S. 1 lulusan UGM. Harus diapresiasi, kemudian silahkan diuji dulu oleh UGM sebagai lembaga terhormat dibidang pendidikan formal, mengingat dan menimbang faktor institusi UGM merupakan salah satu ‘pabrik’ ternama pencetak para sosok intelektual dan diakui berkualitas, diantaranya Prof Dr.Amin Rais, Anies Baswedan dan sebagainya, namun ternyata UGM kemasukan setan ‘borokrasi’, yang publik duga kuat dilakoni oleh sosok eks Rektor dari sebuah Perguruan Tinggi/ PT, ikut terlibat dengan modus sengaja atau men rea (dolus/ opzet) mensponsori konspirasi tindak kejahatan ijazah palsu di kelembagaan UGM, korupsi intelektual dengan kompensasi kursi empuk di istana, bahkan kejahatan ini berlanjut dilakukan oleh para kategori intelektual dader/ pleger dengan pola menanamkan bibit kerusakan moral intelektual, didalam tubuh rektorat dan dekanat, termasuk beberapa guru besar (disobedient) bahkan seorang guru besar hukum pidana di lembaga PT tersebut diantaranya nampak mimikris (menjelma) seolah sosok akademisi (pakar hukum pidana) tersebut tengah berpraktik silat lidah mirip black lawyer atau advokat hitam, yang dibaca oleh penulis sedang mengarahkan seolah Jokowi asli lulusan UGM namun kehilangan atau rusak ijasah aslinya, kemudian Jokowi memalsukan ijash aslinya yang hilang.
Serius ini extra ordinary crime karena luar biasa jahatnya dan menjijikan dari sisi intelektual ! Maka permainan rencana kotor ini, akan mudah dipatahkan oleh penulis andai penulis dilibatkan dalam proses demi membuktikan ijazah Jokowi 100% palsu atau 100% palsu, dan penulis berani pastikan terhadap para pelaku (penyertanya) deelneming (participation) bakal ikut dipenjara, asalkan penyidik berlaku profesional, proporsional dan objektif sesuai due process of law and equality, sesuai dan pure berdasarkan asas legalitas (rule of law).
Tentu wajar figur Roy Suryo akan terus mengejar para akademisi hitam di gedung yang sudah dicemari bobroknya mentalitas (moral hazard) sejak seorang mantan rektor hijrah berdomisili dari perguruan tinggi UGM menjadi seorang penghuni sakit ‘korengan’ istana (borokrat), perusak nilai-nilai intelektualitas UGM. kampusnya Roy, dan Roy adalah tepat jika mendapat justifikasi sebagai representatif tokoh heroik (mewakili) kawan- kawan seangkatan, yunior dan senioren UGM dan civitas temporer sehat, serta yang pure and original (murni dan asli) sebagai wisudawan wisudawati UGM, including para akademisi dan praktisi terhormat asli dari lembaga tinggi edukatif (UGM), bukan model sosok Jokowi dan ‘penghambanya’ yang lebih suka onani intelektual serta para pelaku korupsi nalar sehat lainnya,
Kini, hasil penerapan ilmu (implementasi) analisis ilmiah yang sudah dilakukan oleh Dr Roy yang pernah berdampak/ Jokowi effect dalam bentuk penjara 9 bulan, merupakan fenomena nyata sebuah kontradiktif daripada wujud obstruksi terhadap demokrasi maupun Hak konstitusi Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat, dan mengeliminasi kewajiban Roy Suryo dalam Peran Serta Masyarakat sesuai sistematika dan tuntutan keberlakuan ius konstitutum, sebagai hukum yang harus berlaku serta melecehkan ilmu pengetahuan (disrespect for science and technology), dan tentu konklusinya penyelenggara negara dilarang melanggar prinsip-prinsip jo. good governance, atau justru berkeharusan untuk berperilaku sesuai asas transparansi, profesional proporsional, kredibel dan dan ketidakberpihakan/ independensi (objektivitas) serta akuntabel, sehingga menjujung tinggi moralitas. s
Sehingga logikanya seharusnya selaku aparatur birokrasi tidak melakukan obstruksi hak seorang Dr Roy, kebalikannya justru wajib apresiatif terhadap sumbangsih pengamalan ilmunya (tuntutan hukum Peran Serta Masyarakat) dan sebagai manusia modern dalam pemenuhan eksistensi dirinya sebagai makhluk sosial dan mahluk berpikir (zone politicon) demi semata menolak penerapan machiaveli asli maupun machiavelli jawa.
Selanjutnya, diyakini Dr.Roy bakal terus mengejar para penjahat kampus UGM termasuk si Raja Bohong Pemilik Ijazah Palsu UGM sebagai perusak nama perguruan tinggi UGM, cukup melalui giat juang (aktivitas) sesuai ketentuan proses hukum (rule of law) demi sebuah sikap terhadap perilaku tindak kejahatan yang sampai kapan pun harus tetap dinyatakan sebagai sebuah kejahatan (mala in se) demi kepastian hukum (rechtmatigheid/ legalitas), bermanfaat (utilitas/ doelmatigheid) efek jera bagi pelaku (dader/pleger) dan terhadap penyertanya turut membantu (deelneming/ participation) dan demi fungsi hukum tertinggi keadilan (gerechtigheid/ justice).
Dan perlu dicatat sebagai bagian dari sejarah hukum bangsa ini, satu diantara pendukung Dr. Roy Suryo yang bakal bertahan dan berdiri tegar (stay and stand strong) adalah kelompok TPUA/ Tim Pembela Ulama dan Aktivis yang riil sudah berupaya melakukan aksi melalui upaya hukum (litigasi) dan non litigasi terhadap banyak kebohongan (king of lies/ king liar) dan kepalsuan ijazah Jokowi.
Penulis adalah Pakar Ilmu Peran Serta Masyarakat, dan Ilmu Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Koordinator Pengacara TPUA.