Koruptor Visioner
Cerpen
Wahyu Ari Wicaksono
“Tenang, Bapak-Ibu! Ini bukan pencurian, ini adalah redistribusi anggaran dengan pendekatan partisipatif!” Begitu suara Camat Sugeng menggema dari mikrofon hibah APBD yang baru dibelinya bulan lalu-—konon mereknya dari Swiss, padahal baunya sih mirip mikrofon bekas hajatan.
Warga Kecamatan Sumber bertepuk tangan. Bukan karena percaya, tapi karena bosan. Sudah terlalu banyak pidato, tapi terlalu sedikit nasi bungkus.
Camat Sugeng bukan koruptor biasa. Ia adalah lulusan “Universitas Jalan Pintas”, dengan gelar kehormatan: Sarjana Akal-akalan. Dulu dia sempat jualan pulsa, tapi setelah sadar bahwa pulsa tidak bisa disalurkan lewat proyek fiktif, ia banting stir masuk birokrasi.
“Coba kau pikir, Tono,” katanya suatu malam kepada ajudannya yang setia, “Kalau aku maling ayam, bisa digebukin. Tapi kalau aku maling bansos, bisa dapat penghargaan.”
Tono mengangguk penuh hormat, mencatat sambil mengunyah tahu isi. “Betul, Pak. Itulah yang disebut korupsi visioner.”
——
Pagi itu, di warung Bu Inem, warga berkumpul. Kopi diseruput, gosip berseliweran.
“Eh, denger-denger, Pak Camat habis dapat dana revitalisasi kuburan ya?” tanya Mbah Raji, 70 tahun, mantan pejuang yang sekarang lebih sering memperjuangkan diskon di warung.
“Bener, Mbah. Katanya kuburan mau dikasih Wi-Fi,” jawab Bu Inem seraya membungkus tempe.
“Wi-Fi buat apa? Setan nge-scroll TikTok?”
“Bukan, Pak. Biar katanya kelihatan smart city. Kalau kuburan udah digital, yang hidup bisa lebih tenang… karena yang mati pun bisa online.”
Mereka tertawa. Satir itu pahit, tapi lebih baik ditertawakan daripada ditelan mentah.
Sementara itu, di ruang kantor kecamatan berpendingin angin dan harapan, Camat Sugeng sedang memberi pelatihan pada para lurah sekecamatan.
“Jangan cuma korupsi biasa-biasa aja. Korupsi harus sistematis, terukur, dan humanis. Jangan korupsi sekadar untuk makan siang aja. Tapi untuk pembangunan karakter—karakter pribadi masing-masing, maksud saya.”
Para lurah mencatat. Salah satu Lurah, Pak Gimin, bertanya dengan polos, “Lalu bagaimana kalau ketahuan, Pak?”
Sugeng tersenyum seperti dalang tua yang baru dapat wayang baru. “Itulah pentingnya komunikasi publik. Kita framing saja sebagai kesalahan administratif. Paling dihukum baca Pancasila tiap Senin.”
Sorak sorai mengisi ruangan. Pelatihan selesai dengan yel-yel yang bergelora dan penuh semangat:
“Korupsi?!” “Cerdas, Cepat, Cuan!”
“Proyek?” “Harus Fiktif, tapi Realistis!”
Begitu teriak mereka kolosal, bersemangat dan kompak.
—-