Evakuasi Akal Sehat: Ketika Gaza Diminta Hijrah ke Nusantara
Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
“In politics, stupidity is not a handicap,” Napoleon Bonaparte. Sayangnya, Napoleon tidak pernah membayangkan satu zaman ketika sebuah solusi geopolitik yang kompleks, yang melibatkan genosida, pengusiran paksa, dan penjajahan selama puluhan tahun, dijawab dengan semangat keramahtamahan khas tropis, “Kalau perlu, kita tampung saja warga Gaza di Indonesia.” Sialnya lagi, ini bukan lelucon. Melainkan usulan serius dari Presiden Republik Indonesia.
Solusi atau Solusi-Solusian?
Presiden Prabowo Subianto, dalam pidato globalnya yang disampaikan dengan gestur tegas dan semangat cinta damai, menyarankan solusi “evakuasi sementara” bagi warga Gaza ke negara-negara lain, termasuk Indonesia, demi alasan kemanusiaan. Sontak, dunia menoleh, media gaduh, dan publik terbelah antara yang tepuk tangan dan yang tepuk jidat.
Masalahnya bukan pada niat baik—niat baik itu murah. Yang mahal adalah pemahaman konteks.
Mengungsi keluar dari Gaza bukan hanya evakuasi fisik, tapi berisiko menjadi pengesahan atas pembersihan etnis oleh Israel. Ini bukan soal “membantu”, tapi soal mendiamkan perampasan dengan selimut kata-kata manis “kemanusiaan”.
Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf, mencoba meredakan api polemik. Melalui akun x-nya, beliau menyatakan, “Kita memang memendam emosi luar biasa terhadap tindakan-tindakan Israel. Tapi demi kepentingan kemanusiaan, kita harus berpikir dengan kepala dingin untuk menemukan jalan keluar yang paling mungkin dan lebih selamat bagi seluruh umat manusia dan peradaban.”
Ini adalah pernyataan yang bijak. Tapi pertanyaannya, jalan keluar bagi siapa? Karena bagi warga Gaza, “jalan keluar” bukan berarti keluar dari tanah air mereka. Bagi mereka, satu-satunya jalan keluar yang sah adalah berhentinya pendudukan. Evakuasi ke negara lain justru menjadi pintu masuk bagi rencana pengosongan wilayah.
Yang terjadi kemudian lebih menarik daripada plot sinetron Ramadan. Wacana Presiden ini membelah tubuh NU menjadi semacam horoskop ideologis.
Dimana, Ulil Abshar Abdalla, Ketua PBNU Bidang Luar Negeri menyebut ide ini berbahaya dan bisa melegitimasi pengusiran. Sementara itu Ahmad Fahrur Rozi, Ketua PBNU lainnya justru menyambut ide evakuasi tersebut dengan alasan kemanusiaan. Adapun Ketum PBNU, seperti disebutkan di atas, memilih sikap moderat, diplomatis, dan mungkin dianggap berusaha mendamaikan.
Jika NU adalah orkestra, maka wacana ini mengubah mereka jadi band indie tanpa konduktor—masing-masing main alat musik sendiri, sehingga penonton menjadi bingung apakah ini jazz bebas atau chaos.
Gaza Bukan Garut
Bayangkan rumah kita dibakar oleh tetangga. Alih-alih menahan si pembakar, dunia justru berkata, “Sudah, tinggallah saja di rumah kami. Biar rumahmu dikuasai mereka.”
Dus, bukankah itu bukan sebuah empati? Bukankah itu bisa disebut pengkhianatan berkedok keramahan? Mungkin evakuasi Gaza ke Indonesia bisa dianalogikan seperti ini. Ada konflik rumah tangga di rumah tetangga. Lalu daripada mendamaikan, Anda malah ajak korban tinggal di rumah Anda, sementara pelaku tetap dibiarkan. Kemudian Anda difoto, diunggah ke medsos, dan diberi caption, “Kemanusiaan di atas segalanya.”
Edward Said, filsuf Palestina, pasti akan menghela napas panjang sambil menulis ulang Orientalism 2.0: Humanitarian Disguises of Neocolonialism.
Dalam perspektif teori komunikasi politik, gagasan evakuasi ini mengandung bias kognitif yang serius. Menurut Noam Chomsky, narasi kemanusiaan sering digunakan untuk membungkam resistansi. Padahal, konflik seperti di Gaza tidak hanya soal kemanusiaan—tapi tentang hak, tanah, dan sejarah.
Dan seperti ditulis oleh Frantz Fanon dalam The Wretched of the Earth, “To speak of humanity while ignoring colonial violence is to romanticize chains.”
Yang paling berbahaya dari wacana ini adalah, ia bisa menggeser diskusi dari ‘menghentikan penjajahan’ ke ‘menyediakan tempat tinggal bagi korban penjajahan.’
Itu seperti mengganti topik dari “siapa mencuri rumah?” ke “siapa punya kasur ekstra?”
Boleh jadi memang Presiden kita mungkin tulus dan bermaksud mulia. Tapi dunia politik bukan ruang niat baik, ia adalah ruang kalkulasi. Dimana dalam kalkulasi geopolitik, evakuasi warga Gaza bukan hanya soal tiket pesawat, tapi soal nasib tanah air mereka.
Atau memang sesungguhnya kita tidak sedang menyelamatkan warga Gaza. Melainkan sedang menyelamatkan citra internasional. Kita tidak sedang menawarkan tempat aman, melainkan sedang membungkus tragedi dengan pita diplomasi.
Dan seperti kata George Orwell, “In a time of deceit, telling the truth is a revolutionary act.”
Maka katakanlah, warga Gaza tidak butuh tempat baru. Mereka butuh tanah mereka kembali. Dan kita, rakyat Indonesia, butuh satu hal yang jauh lebih sederhana daripada itu, yaitu
akal sehat. Tabik.
Karakter Jokowi Rendahkan Makna Konsitusi
Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umjm Hukum dan Poltiik)
Latar belakang judul topik artikel? Dalam ingatan penulis ketika hari ini (Rabu,...
Kepala Bakamla RI Panen Kacang Tanah di Karangasem Bali
JAKARTASATU.COM-- Kepala Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla RI), Laksdya TNI Dr. Irvansyah, S.H., M.Tr.Opsla., melaksanakan...
JAKARTASATU.COM- Muhammad Said Didu mengungkap adanya delapan kelompok yang bersatu kemudian bermaksud ingin menggoyang kekuasaan. Dan mereka yang dimaksud Didu saat ini sedang melakukan...
Perkuat Diplomasi Militer, Panglima TNI Terima CC Panglima Tentera Malaysia
JAKARTASATU.COM-- Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto menerima Courtesy Call (CC) Panglima Angkatan Tentera...
Prabowo vs Jokowi, Kajian Politik Merah Putih: Pertarungan Sunyi di Balik Konsolidasi Elite
JAKARTASATU.COM-- Koordinator Kajian Politik Merah Putih, Sutoyo Abadi, menyatakan bahwa enam bulan...