Aendra Medita/ ist

Negara Harus Dekat Rakyat

Catatan dari Cilandak Aendra Medita*)

DALAM dinamika politik dan sosial hari ini, rakyat Indonesia semakin bertanya-tanya: di mana negara saat kami berteriak? Soal Korupsi, soal Gas, kebutuhan pokok yang melambung, ketika ruang hidup disempitkan oleh proyek-proyek atas nama pembangunan, ketika suara-suara kritis dibungkam—yang hadir justru tembok, bukan pelukan negara.
Negara memang harus dekat rakyat, kalimat itu seharusnya menjadi prinsip dasar dalam setiap kebijakan publik. Tapi kini, ia sering menjadi jargon tanpa nyawa. Kita menyaksikan negara yang terlalu sering sibuk mengatur narasi, bukan mendengar nurani.
Ketika Negara Menjadi Abstraksi Hari ini, negara terasa seperti entitas jauh yang hanya hadir saat pemilu, hadir saat perlu suara rakyat. Hadir dalam bentuk stiker, baliho, dan janji-janji manis. Penuh kamuflase.
Tapi setelah itu, rakyat ditinggal sendirian menghadapi kenyataan: harga beras tak masuk akal, pendidikan untuk rakyat keciul masih dikerdilkan, UKT makin mahal, layanan kesehatan belum menjangkau pelosok, dan hukum tajam ke bawah. Maling cabe suruh makan cabe, tapi yang oplos BBM tak disuruh minum BBM oplosan. Absurd memang…
Negara yang dekat rakyat seharusnya membuka telinga, bukan memperbesar telunjuk. Ia turun, bukan menonton. Ia berani berkata: “Apa yang kau butuhkan?”  Bukan hanya: “Ini yang sudah kami lakukan.”
Pelajaran dari Tokoh-Tokoh yang Dicintai Rakyat José Mujica, mantan Presiden Uruguay, tidak tinggal di istana, tapi di rumah pertanian sederhana. Ia mengendarai mobil tuanya sendiri, menyumbangkan 90% gajinya, dan tetap menyapa petani dan nelayan sebagai sahabat. Ia dicintai karena menolak menjadi penguasa—ia memilih menjadi pelayan rakyat.
Di Indonesia, kita merindukan sosok seperti Gus Dur, yang pernah berkata, “Pemerintah itu ada untuk rakyat, bukan sebaliknya.” Gus Dur tidak pernah takut mendengar suara dari bawah. Ia memahami bahwa rakyat bukan beban, tapi sumber kekuatan negara.
Di Mana Kedekatan Itu Kini?
Rakyat kini melihat negara dari layar ponsel—dalam bentuk akun media sosial pejabat yang sibuk membuat konten, bukan membuat cara perubahan versinya.
Apakah kedekatan sekarang hanya sebatas visual? Negara yang sesungguhnya hadir bukan hanya saat kamera menyala, tapi saat rakyat menderita diam-diam. Saat petani kesulitan pupuk, saat nelayan dipaksa untuk menjual lautnya, saat anak-anak di Papua masih berjalan puluhan kilometer untuk sekolah—di mana negara? Atau anak mau sekolah dan menyeberang dengan jembatan tali.
Negara yang Benar, Datang Sebelum Diminta Negara yang baik adalah yang hadir sebelum rakyat meminta, bertindak sebelum rakyat menangis. Ia tidak sibuk membangun citra atau reputasi, tapi sibuk menata rasa keadilan.
Negara harus mengerti: kedekatan bukan dibuat, tapi dirasakan. Ia lahir dari tindakan nyata, dari empati yang tulus, dari kemauan untuk hadir di tengah rakyat, bukan di atas rakyat.
Akhirnya jika untuk akan Dekat atau ingin Ditinggalkan Jika negara terus menjauh, jangan heran jika rakyat mulai mencari kepercayaan pada tempat lain—pada komunitas kecil, pada media alternatif, bahkan pada jalanan. Ketika negara tidak dekat, rakyat pun tak akan ragu untuk meninggalkan alais cuek bebek.
Dan jika suatu saat nanti rakyat bersatu dan bertanya dengan lantang, “Siapa yang mewakili kami sebenarnya? DPR sering mingkem?” — jangan salahkan mereka. Sebab negara yang abai, pada akhirnya akan menuai jarak. Dan jarak itulah awal dari retaknya kepercayaan. Jadi negara dekatlah dengan rakyat…Karena kedekatan Negara dengan pola baru misalnya dari Desa ke ke dunia besar peran publik akan dukung fungsi negara yang sebenarnya…Hidup Rakyat…Hidup Rakyat…Hidup Rakyat…!!!! Tabik.

Jakarta, 13 April 2025