DUNIA KEMBALI RESESI ?

Oleh JIMMY H SIAHAAN

Perselisihan perdagangan sering disebut sengketa perdagangan ketika metafora perang bersifat hiperbolik

Perang dagang ini dimulai pada tahun 2018 ketika Presiden Donald Trump menaikkan tarif impor Tiongkok.

Kembali untuk masa pemerintahan Donald Trump untuk yg kedua, menghadirkan sebuah anomali besar dalam sistem kapitalisme global.

Negara yang selama ini menjadi arsitek perdagangan bebas global justru tampil sebagai aktor utama yang merusaknya.

Kapitalisme adalah sistem yang hidup dalam ekosistem global.

Ia dibesarkan dalam semangat multilateralisme, di mana negara-negara saling terhubung melalui perdagangan, investasi, dan pergerakan barang dan jasa yang relatif bebas.

Dalam semangat ini, Amerika Serikat (AS) membentuk institusi-institusi global seperti WTO dan mendorong perjanjian perdagangan seperti NAFTA dan TPP.

Namun, saat Trump menerapkan tarif secara unilateral terhadap hampir semua negara –termasuk sekutu-sekutunya– ia seolah mencabut fondasi utama dari sistem tersebut.

Negara-negara yang selama ini menggantungkan hidupnya pada arsitektur perdagangan bebas, seperti Singapura atau Vietnam, menjadi pihak yang paling terdampak.

Uniknya, AS –yang sejatinya paling diuntungkan dari sistem ini– justru menjadi negara pertama yang secara terang-terangan menarik diri.

Nampaknya ini hubungan Tiongkok dan Amerika, bukan sekadar kebijakan ekonomi, melainkan juga sisi politik atau sepertinya sebuah deklarasi kekalahan AS dalam sistem yang ia bangun sendiri.

Ini adalah sebuah ironi historis, bahkan mungkin sebuah bentuk neo-merkantilisme, di mana negara kembali mengambil alih kendali utama atas perdagangan, bukan lagi perusahaan multinasional atau pasar.

Efek Domino

Bila kita tarik ke belakang, sistem merkantilisme dalam sejarah selalu menempatkan negara sebagai aktor utama ekonomi, dengan orientasi utama pada akumulasi kekayaan nasional dan neraca perdagangan yang positif.

Namun, sistem ini juga menyimpan benih konflik. Ketika negara-negara bersaing ketat untuk menguasai pasar dan sumber daya, sejarah menunjukkan bahwa akhirnya kerap berujung pada konflik besar, bahkan perang. Apakah kita sedang menuju ke sana?.

Awal Perang Dagang

Negara pertama yang melakukan perang dagang adalah Inggris pada tahun 1651 lewat Navigation Acts. Navigation Acts ditunjukkan kepada Belanda yang menguasai perdagangan global pada abad ke-17.

Kala itu, Belanda memegang kendali impor mayoritas negara lewat kepemilikan banyak kapal-kapal besar yang hilir mudik di pelabuhan penting. Belum lagi, mereka juga menguasai wilayah penghasil rempah-rempah yang kini dikenal sebagai Indonesia.

Semua itu membuat Belanda sukses mendulang keuntungan besar. Sedangkan Inggris harus gigit jari.

Kapal berbendera Inggris kalah saing dari kapal Belanda. Barang-barang impor Inggris pun dibawa Negeri Kincir Angin.

Beranjak dari permasalahan ini, Kerajaan Inggris mengeluarkan Navigation Acts atau Undang-undang Navigasi. Lewat aturan tersebut, kapal asing dilarang mengangkut barang dari berbagai wilayah ke Inggris dan negara koloninya.

Hanya kapal Inggris yang boleh mengangkut semua barang tersebut. Inggris mengizinkan kapal asing datang asalkan nakhoda dan mayoritas awak adalah warga negara Inggris.

Jika melanggar, maka kapal asing bakal disita oleh Inggris. Meski ditulis kapal asing, sasaran utama dari aturan tersebut adalah kapal Belanda.

“Navigation Acts (1651) dirancang Inggris untuk melawan dominasi perdagangan Belanda,” dikutip dari Capitalism and the Sea (2021).

Mengutip Britannica, selama kebijakan berlaku Belanda dan Inggris terus kejar-kejaran satu sama lain demi menguasai jalur perdagangan di lautan. Namun, banyak juga kapal Belanda berakhir ditangkap Inggris karena melanggar aturan.

Pada titik ini, eksistensi kapal Inggris mulai menggantikan kapal Belanda. Hanya saja, kedudukannya tak menggantikan.

Belanda tetap nomor satu dalam perdagangan global. Apalagi, Negeri Kincir Angin juga tetap menguasai perdagangan rempah-rempah di dunia.

Ketegangan kedua negara akhirnya memuncak pada 1652. Dari semula hanya perang dagang menjadi perang senjata terbuka.

Ini terjadi karena armada Inggris menyerang kapal-kapal Belanda yang melanggar aturan. Tak tinggal diam, Belanda pun mengirim armadanya dalam jumlah besar.

Konflik terbuka pun tak bisa dihindari. Inggris dan Belanda akhirnya berperang demi menancapkan pengaruh dan memperebutkan jalur pelayaran.

Sejarah mencatat, peristiwa ini sebagai Perang Inggris-Belanda I atau Anglo-Dutch War yang disebabkan oleh perang dagang pertama.

Perang Candu

Perang Opium atau juga disebut Perang Inggris-Tiongkok, berlangsung dari tahun 1839 – 1842 dan 1856 – 1860 sebagai klimaks dari sengketa perdagangan antara Tiongkok di bawah Dinasti Qing dengan Britania Raya dan Prancis (Perang Candu ke 2).

Penyelundupan opium Britania dari India ke Tiongkok dan usaha pemerintah Tiongkok menerapkan hukum obat-obatannya menyebabkan konflik militer.

Perang ini bermula akibat disegelnya gudang candu Britania oleh Tentara Qing dibawah pimpinan Lin Zexu dan tentara Qing juga membuang 1 juta candu ke laut. Lin Zexu juga mengirim surat damai ke ratu Victoria walaupun tak pernah sampai ke Beliau.

Pertempuran di Guangzhou selama Perang Candu Kedua Tiongkok kalah dalam perang ini, sehingga Perjanjian Nanjing dan Perjanjian Tianjin ditandatangani.

Akibat perang ini, Hong Kong, Macau, dan Taiwan diserahkan kepada Britania Raya, Prancis, dan Portugis.

Perang Dagang Berlanjut

Presiden China Xi Jinping menegaskan tidak takut menghadapi tarif impor tinggi yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

Diketahui, AS menetapkan tarif impor hingga 145% terhadap barang-barang yang dikirim China. Mengutip CNN, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China mengaku tidak berniat menaikkan tarif lebih tinggi dari 125%. Pasalnya, Pemerintah China menilai tidak ada gunanya terlibat dalam eskalasi lebih lanjut.

“Pemberlakuan tarif yang sangat tinggi secara berturut-turut terhadap Tiongkok oleh AS tidak lebih dari sekadar permainan angka, tanpa signifikansi ekonomi riil,” kata juru bicara Kementerian Perdagangan China, dikutip dari CNN, Jumat (11/4/2025).

“Hal ini hanya semakin menyingkap praktik AS yang menjadikan tarif sebagai senjata untuk melakukan intimidasi dan pemaksaan, sehingga menjadi bahan tertawaan,” imbuh juru bicara tersebut

Xi Jinping sama sekali tidak takut menghadapi tarif AS yang telah meruntuhkan pasar internasional dan memicu ketakutan akan terjadinya resesi global. Ia menegaskan, China berhasil membangun kemandirian tanpa bergantung pada siapapun.

“Selama lebih dari 70 tahun, pembangunan Tiongkok bergantung pada kemandirian dan kerja keras-tidak pernah bergantung pada pemberian dari pihak lain, dan tidak takut pada penindasan yang tidak adil,” kata Xi Jinping kepada Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez di Beijing.

Ia menegaskan, China akan tetap fokus pada pengelolaan ekonomi internalnya dengan baik. Ia pun menegaskan, kondisi eksternal tidak akan menyurutkan fokusnya.

“Terlepas dari bagaimana lingkungan eksternal berubah, Tiongkok akan tetap percaya diri, tetap fokus, dan berkonsentrasi pada pengelolaan urusannya sendiri dengan baik,” jelasnya.

Perang Dagang Tak Ada Pemenang

Xi Jinping juga menilai tidak ada yang keluar sebagai pemenang dari perang dagang dua negara adikuasa AS dan China. Menurutnya, langkah saling serang justru akan mengisolasi dirinya sendiri.

“Tidak ada pemenang dalam perang dagang, dan melawan dunia hanya akan menyebabkan isolasi diri,” tutupnya.

Ketika seluruh dunia menerima penangguhan tarif timbal balik, Trump mulai memfokuskan perang dagangnya pada Tiongkok.

Sebelum mengumumkan kenaikan tarif terbarunya pada hari Jumat, Beijing mengatakan akan mengekang impor film-film Hollywood.

Selain itu, Beijing juga membatasi beberapa perusahaan AS untuk berbisnis di Tiongkok.

SementaraTrump kecualikan tarif untuk barang elektronik, komputer, smartphone.

Masalah defisit neraca perdagangan, Amerika mengalami perbedaan sebesar USD 295 Milyard.

Reborn Bond Vigilante

Penjualan besar-besaran di pasar obligasi AS pekan lalu memunculkan kembali teori bond vigilante.

Dalam konteks minggu lalu,  istilah bond vigilantes digunakan untuk menggambarkan aksi jual besar-besaran di pasar obligasi sebagai bentuk kekhawatiran investor atas kebijakan pemerintahan yang tidak konsisten.

“Para Bond Vigilantes telah kembali,” tulis Yardeni Research dalam sebuah catatan, kepada Reuters,

Bond vigilantes merujuk investor di pasar obligasi yang “menghukum” pemerintah dengan menjual obligasi mereka ketika mereka merasa pemerintah terlalu boros atau tidak bertanggung jawab secara fiskal.

Tindakan mereka menyebabkan imbal hasil (yield) naik, yang membuat biaya pinjaman pemerintah lebih mahal. Tindakan mereka semacam “peringatan” dari pasar.

Jadi, dalam hal ini, vigilante artinya “penjaga disiplin fiskal”, tapi melalui mekanisme pasar, bukan hukum atau kekerasan. Dalam karangan fiksi  tokoh vigilante yang paling terkenal adalah Batman sang pahlawan bertopeng yang menghukum penjahat di Kota Gotham.

Istilah bond vigilante lahir pada 1980-an dan diciptakan ekonom Edi Yardeni.

Salah satu momen paling terkenal dari bond vigilante terjadi antara akhir 1993 hingga 1994, ketika imbal hasil Treasury 10 tahun naik dari 5,2% ke 8%.
Lonjakan ini akhirnya mendorong pemerintahan saat itu mengambil langkah penghematan anggaran. Pada 1998, imbal hasil turun kembali ke sekitar 4%.

Pasar obligasi memiliki kekuatan karena menjadi jalur kredit utama negara. Tanpa kredit yang terjangkau, pemerintah kesulitan menjalankan fungsi dan ekonomi sulit tumbuh.

Trump Menunda 90 hari

Presiden AS Donald Trump pada Rabu (9/4/2025) mengumumkan penundaan tarif selama 90 hari untuk sebagian besar negara dan menurunkan tarif menjadi tarif universal sebesar 10%.

Namun, pengecualian diberikan untuk China, yang justru mengalami kenaikan tarif AS menjadi 145%. China membalas pada hari Jumat, menaikkan tarif untuk barang AS dari 84% menjadi 125%.

Meski beberapa pejabat pemerintahan mengatakan bahwa perubahan ini memang telah direncanakan, lonjakan imbal hasil obligasi kemungkinan besar memberi tekanan bagi mereka untuk menunda kebijakan.

Semula tarif resiporokal kepada lebih dari 80 negara akan berlaku pada 9 April tetapi ditunda. Analis memperkirakan jatuhnya harga obligasi AS menjadi salah satu penyebab.

“Scott Bessent (Menteri Keuangan AS) memantau pasar obligasi dengan cermat saya tahu dia memperhatikannya,” kata pihak Gedung Putih pada Jumat, kepada CNBC International.

Kevin Hassett, direktur Dewan Ekonomi Nasional Trump mengatakan fakta bahwa pasar obligasi memberi sinyal kepada AS untuk mengubah haluan.

Seema Shah, kepala strategi global di Principal Asset Management, menambahkan bahwa pasar obligasi kemungkinan memicu kegelisahan di pemerintahan Trump.

“Mereka berulang kali menekankan fokus pada imbal hasil obligasi dan bahkan merayakannya minggu lalu ketika imbal hasil Treasury turun di bawah 4%.

Biaya pembiayaan yang rendah tampaknya menjadi pilar penting dalam agenda ekonomi Trump, jadi pembalikan tren pasar ini yakni dengan lonjakan imbal hasil jelas memicu kekhawatiran besar di Gedung Putih,” kata Shah, kepada CNBC International.

Lonjakan imbal hasil obligasi AS juga mematahkan teori jika penundaan tarif AS akan menguntungkan obligasi. Kondisi ini juga menjadi anomali karena selama ini obligasi AS dianggap sebagai aset aman.

Seperti diketahui, setelah Trump mengumumkan kebijakan tarif baru pada Rabu pekan lalu (2/4/2025), pasar saham hancur lebur.

Pasalnya, pemerintah AS membutuhkan dana segar dari pasar keuangan karena ada outsanding utang jatuh tempo pada 2025-2028 sebesar US$ 16,8 triliun.

Jika imbal hasil turun tentu ini akan mengurangi beban bunga yang harus dibayar pemerintah Trump.

Selanjutnya, kita melihat Ex Menlu Antony Blinken, kekhawatiran masa depan aliansi Amerika dan kekuatan  lunak Amerika seiring meningkatnya perang dagang global.

Perang dagang yang kian memburuk antara Amerika Serikat (AS) dan China mengancam akan menimbulkan “kerusakan parah” pada kedua negara. Tak hanya itu, hal ini pun akan mengirimkan gelombang kejut ke seluruh dunia.

“Kita sekarang terlibat dalam perang (dagang) besar dengan China dan tarif yang telah dikenakan pada China adalah apa yang saya sebut sebagai halangan,” kata mantan Menteri Keuangan Janet Yellen dalam wawancara dengan CNN International pada Kamis, dikutip Jumat (11/4/2025).

Namun, memaksa China bisa menjadi boomerang saat ini. Salah satu alasan mengapa perang dagang antara AS dan China bisa sangat mengganggu adalah karena kedua ekonomi tersebut telah saling terkait.

Integrasi selama bertahun-tahun telah membantu kedua negara. Konsumen Amerika menikmati akses murah ke pakaian, sepatu, barang elektronik seperti iPhone, dan barang konsumsi lainnya, yang telah meningkatkan kualitas hidup kelas menengah.

Sementara China telah menggunakan perdagangan AS untuk memperluas manufaktur dan mengangkat puluhan juta penduduknya keluar dari kemiskinan.

Keuntungan telah dipompa ke industri teknologi tinggi dan militer China yang sedang berkembang.

Di AS, barang-barang murah dari Beijing telah menghantam industri Washington, mulai dari pembuatan baja di Rust Belt hingga pembuatan furnitur di North Carolina.

Dengan perang dagang, para petinggi China di Washington sekarang berpendapat bahwa AS secara efektif membangun musuh adidaya abad ke-21 dengan kecanduannya sendiri terhadap barang-barang konsumsi yang murah.

Krisis Kemanusiaan

Menteri Perdagangan China Wang Wentao menyebut penerapan tarif yang terus-menerus oleh AS akan menyebabkan kerugian besar bagi negara-negara berkembang dan bahkan bisa memicu krisis kemanusiaan.

“Tindakan balasan yang tegas” dari China adalah untuk melindungi hak dan kepentingannya yang sah, serta juga untuk menegakkan kejujuran dan keadilan di komunitas internasional.

Pernyataan tersebut disampaikan Wang kepada Ngozi Okonjo, direktur jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), melalui panggilan video pada Jumat (11/4/2025).

Wang mengatakan anggota WTO harus bersatu untuk melawan unilateralisme, proteksionisme, dan praktik-praktik intimidasi dengan kerja sama terbuka dan multilateralisme.

Kembali Resesi ?

Dampak Tarif ke Inflasi AS Bakal Terus Berlanjut. Risiko Resesi AS Masih Tinggi, Meski Trump Tunda Tarif Resiprokal.
Negara-negara yang paling tidak berkembang menghadapi beberapa risiko terbesar dari tarif yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump.

Ray Dalio, Bos Bridgewater,  mengatakan resesi mungkin akan terjadi—tetapi bukan resesi normal.

Ketidakpastian tentang dampak dan waktu kebijakan perdagangan, imigrasi, fiskal, dan peraturan baru terhadap harga, lapangan kerja, dan aktivitas ekonomi masih tinggi, dan skenario di mana inflasi meningkat—sementara pada saat yang sama pasar tenaga kerja melemah—merupakan kemungkinan nyata yang harus dipertimbangkan,” kata Musalem di sebuah acara di Hot Springs, Arkansas, Jumat (11/4/2025).

Berbicara dalam diskusi setelah menyampaikan pidatonya, Musalem mengatakan sebelumnya ia memandang hal tersebut sebagai skenario alternatif, tetapi sekarang menjadi “lebih dekat ke garis dasar.”

Keynes benar: Ekonomi adalah subjek yang sulit dan teknis. Menjadi ekonom yang baik tidak lebih sulit daripada menjadi eksekutif bisnis yang baik. (Faktanya, mungkin lebih mudah, karena persaingannya tidak terlalu ketat.)

Namun, ekonomi dan bisnis bukanlah subjek yang sama, dan penguasaan salah satunya tidak menjamin pemahaman, apalagi penguasaan, yang lain.

Seorang pemimpin bisnis yang sukses seperti Trump tidak lebih mungkin menjadi ahli ekonomi daripada ahli strategi militer.