Ketika Komunikasi Politik Kian Buruk
OLEH ADHIE M MASSARDI
JURU BICARA PRESIDEN KH ABDURRAHMAN WAHID
Komunikasi politik yang buruk cermin tata kelola pemerintahan yang buruk.
Komunikasi politik itu komunikasi publik. Komunikasi publik itu komunikasi etika. Komunikasi etika menggunakan jalan pikiran dengan akal sehat, kejujuran dan tanggungjawab sebagai rambu-rambunya.
Tata kelola pemerintahan yang baik akan membuat elemen politik, publik, etika, akal sehat, kejujuran dan tanggungjawab berada dalam satu pusaran yang harmonis.
Maka jika komunikasi politik buruk itu bukan sebab tata-bahasanya buruk. Oleh sebab itu komunikasi politik yang buruk tak bisa diatasi dengan memperbaiki cara bertutur, atau memperbaiki gestur. Sebab ini bukan lagi ranah ilmu komunikasi (politik), melainkan soal adab berbangsa dan bernegara paling elementer.
Pejabat negara, terutama yang terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan, mulai dari tingkat kelurahan (Lurah/Kepala Desa) hingga lembaga kepresidenan (Presiden dan perangkatnya serta seluruh jajaran kabinet), dalam adab berbangsa dan bernegara, disebut “pejabat publik”.
Pejabat publik itu pelayan masyarakat. Mengabdi kepada rakyat. Itu sebab pejabat publik pantang nyakiti hati rakyat. Sebab jika ada satu saja anggota masyarakat sangsi atas kapasitas dan integritasnya, dan terluka oleh kata-katanya, maka dia gagal sebagai pejabat publik.
Presiden Jerman Christian Wilhelm Walter Wulf pada 17 Februari 2012 memutuskan mundur setelah diitengarai nyalah gunakan jabatan saat jadi Perdana Menteri negara bagian Niedersachsen. Konon, beberapa tahun yang sudah silam, dia pernah ditraktir nginap dua malam di sebuah hotel.
Meskipun Wulf bisa membuktikan bahwa dia sudah ngembalikan uang pada si peneraktir, tapi keputusannya untuk mundur tetap dilanjut. “Jerman membutuhkan seorang presiden yang dipercaya bukan hanya oleh mayoritas, tapi oleh mayoritas luas rakyat,” katanya. Tegas. Lugas.
Begitulah mental pejabat negara di negeri dengan adab berbangsa dan bernegara yang tinggi. Merasa tak cukup hanya sekedar bermodal mayoritas (rakyat) berdasarkan hasil elektoral dengan pedoman 50% + 1. Sebagai pejabat publik mereka merasa harus dapat kepercayaan mayoritas yang lebih luas karena yang dilayaninya juga lebih luas.
Para Pengabdi Kekuasaan
Tata kelola pemerintahan yang baik selalu dimulai dengan kepemimpinan yang baik. Kepemimpinan yang baik memiliki visi dan misi yang berpedoman pada tujuan kemerdekaan yang sudah dibakukan dalam Konstitusi (UUD 1945); a. melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, b. memajukan kesejahteraan umum, dan c. mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam konsep Islam, kepemimpinan yang baik dirumuskan dalam kaidah fiqih: Tasharruf al-Imam ‘ala al-ra’iyyah manuth bi al-mashlahah. Artinya, “Tindak-tanduk seorang pemimpin, bahkan setiap nafas dan kebijakan yang diambilnya, harus demi kesejahteraan dan kemashlahatan (rakyat) yang dipimpinnya.
Tentu saja, dengan “hak prerogatif” yang dimilikinya, pemimpin yang baik akan merekrut pembantu-pembantunya yang paham visi dan misinya. Yang memahami posisinya sebagai pelayan publik. Bukan “para pengabdi kekuasaan” yang pedomannya bagaimana menyenangkan penguasa dan menjaga kekuasaan agar tetap bertahan.
Di lapangan perilaku “pelayan publik” dan “pengabdi keuasaan” memang akan sangat berbeda. Pelayan publik akan nyembunyikan kapasitas dan integritasnya dalam ke-humble-an, kerendahhatian.
Sebaliknya, para pengabdi kekuasan cenderung menutupi keculasan, inkompetensi dan ketidakmampuannya dengan arogansi kekuasaan. “Kami pemerintah! Kalian orang-orang yang diperintah!” Begitu semboyannya. Memang menjijikan.
Mereka lupa bahwa kata-kata seorang pejabat publik itu seperti kata-kata dalam puisi, dalam karya sastra. Bisa melahirkan persepsi dan interpretasi tak terbatas, sebanyak isi kepala publiknya.
Dalam The Death of the Author Roland Barthes, filsuf dan kritikus sastra Perancis (1967) menjelaskan bahwa penulis, dalam konteks ini pejabat publik, tidak lagi memiliki kontrol atas makna kata-kata (teks) setelah hal tersebut diucapkan, dipublikasikan. Dengan demikian, maknanya tidak lagi ditentukan oleh niat atau maksud penutur (penulis), melainkan oleh publik itu sendiri.
Kesimpulan
Apabila komunikasi politik sebuah pemerintahan buruk, karena ucapan para pejabat publiknya, terutama para pembantu presidennya, yang kontradiktif, melanggar kaidah dan etika moral masyarakat (kepala babi dimasak saja, minyak goreng mahal direbus saja, dst), maka yang dibenahi bukan cara berkomunikasinya, bukan juga cara bertuturnya, apalagi gesturnya. Yang harus diperbaiki adalah tata-kelola pemerintahannya.
Dalam konteks pemerintahan Presiden Prabowo, tentu harus menata ulang jajaran pembantunya. Harus yang benar-benar memahami visi misi pemerintahannya, bukan visi misi pemerintaha sebelumnya yang dikendalikan Joko Widodo.
Tata-kelola pemerintahan yang baik akan melahirkan jajaran pejabat publik yang memiliki kapasistas dan integritas yang mumpuni sehingga ia paham keberadaannya di pemerintahan untuk menjalankan mandat rakyat untuk mengelola administrasi negara, menjalankan amanat Konstitusi (UUD 1945).
Sebab komunikasi terbaik pemerintahan dengan rakyatnya adalah melalui produk kebijakan yang berpihak kepada rakyatnya. Sebaik dan semanis apa pun ucapan para penyelenggara negara, jika apa yang dirasakan rakyat berbanding terbalik, maka kata-kata manis itu tetap terasa pahit.
Jadi, tugas paling berat Presiden Prabowo Subianto memang menyatukan kembali “kata dan perbuatan” yang selama 10 tahun pemerintaha Joko Widodo dipisahkan, bahkan dibenturkan. Apa yang dikatakan berbenturan dengan apa yang diperbuat.
Tapi meskipun tampak seolah “hanya” menyatukan “kata dan perbuatan” energi politik yang diperlukan sangatlah besar. Bersatunya kata dan perbuatan hanya mudah diucapkan.
Bekasi, 14 April 2025