MAFIOSO KOPERASI — KETIKA SISTEM OPEN LOOP MERUSAK JATI DIRI KOPERASI

Oleh: Untung Nursetiawan, Pemerhati Sosial Kota Pekalongan

Koperasi, dalam filosofi dasarnya, adalah sistem ekonomi kerakyatan. Ia lahir dari rahim kesetaraan dan gotong royong—dari anggota, oleh anggota, untuk anggota. Konsep close loop yang menjadi fondasi koperasi bukanlah sekadar sistem teknis, tapi ruh dari semangat kolektif yang ingin membangun ekonomi tanpa eksploitasi. Namun sayangnya, hari ini kita melihat fakta menyedihkan: banyak koperasi di Indonesia telah mengkhianati jati dirinya.

Sistem yang seharusnya close loop berubah menjadi open loop. Dan ini bukan sekadar perubahan teknis, tapi perubahan ideologis yang membawa konsekuensi luas—dari kerugian nasabah, pelanggaran hukum, hingga kehancuran kepercayaan masyarakat terhadap sistem koperasi itu sendiri. Perubahan ini bukanlah terjadi begitu saja. Ia adalah hasil dari konspirasi diam-diam antara oknum koperasi dan pihak berwenang. Ya, ini adalah bukti nyata persekongkolan kekuasaan dan keserakahan.

Sebelum membahas lebih jauh, mari kita pahami dulu perbedaan mendasar antara sistem close loop dan open loop dalam konteks koperasi:

Close loop: sistem tertutup di mana koperasi hanya melayani anggotanya. Setiap orang yang ingin menikmati layanan koperasi harus terlebih dahulu menjadi anggota. Dengan kata lain, ada partisipasi, kepemilikan, dan tanggung jawab yang melekat. Inilah esensi koperasi.

Open loop: sistem terbuka yang memungkinkan koperasi melayani publik luas, tanpa batas keanggotaan. Dalam sistem ini, siapa pun bisa menyetor uang ke koperasi, menikmati bunga, meminjam, dan lain sebagainya, seolah-olah koperasi adalah bank.

Perubahan dari close loop ke open loop adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai dasar koperasi. Bahkan, lebih jauh lagi, ini adalah bentuk penipuan sistematis. Mereka mengantongi izin sebagai koperasi, tapi menjalankan praktik seperti bank atau bahkan lembaga investasi ilegal. Koperasi bukan lagi alat pemberdayaan ekonomi, tapi menjadi alat penghimpun dana masyarakat secara masif dengan iming-iming imbal hasil tinggi.

Transformasi ini bukan tanpa alasan. Kepentingan bisnis dan hasrat akan keuntungan menjadi alasan utama. Banyak pengurus koperasi mulai tergiur dengan sistem perbankan dan investasi. Mereka melihat peluang besar dari dana masyarakat. Dalam sistem close loop, potensi modal terbatas pada anggota. Tapi dalam sistem open loop, mereka bisa menggaet siapa saja, dari mana saja, tanpa harus memberikan tanggung jawab kolektif seperti layaknya anggota koperasi.

Di sinilah masalah bermula. Saat koperasi hanya menjadi “bungkus” legalitas, sedangkan di dalamnya beroperasi seperti bank liar. Banyak dari koperasi ini tidak diaudit secara rutin, tidak transparan dalam laporan keuangannya, dan yang lebih parah—berani menjanjikan bunga lebih tinggi dari bank tanpa memiliki sistem mitigasi risiko yang jelas.

Satu hal yang menyakitkan adalah kenyataan bahwa praktik ini berlangsung dalam waktu lama dan seolah-olah dibiarkan. Ini menimbulkan pertanyaan serius: di mana peran pengawasan? Apakah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau Kementerian Koperasi tidak melihat penyimpangan ini?

Fakta bahwa banyak koperasi open loop tumbuh subur bahkan memiliki izin resmi memperkuat dugaan adanya persekongkolan diam-diam antara oknum koperasi dan pejabat berwenang. Mereka yang seharusnya menjadi penjaga sistem, justru menjadi bagian dari permainan ini. Dan seperti biasa dalam dunia yang dikendalikan mafioso, semuanya berjalan licin—hingga satu kasus besar pecah dan membuka borok.

Kasus KSPPS BMT Mitra Umat di Kota Pekalongan adalah puncak gunung es dari persoalan yang jauh lebih besar. Dengan dalih koperasi syariah dan pendekatan keumatan, mereka berhasil menjaring dana masyarakat hingga puluhan milyar rupiah. Namun, ketika sistemnya runtuh, ribuan korban menjerit, dan dana mereka menguap begitu saja.

Apa yang membuat masyarakat percaya? Label syariah? Dukungan dari tokoh lokal? Atau karena koperasi ini memiliki izin legal? Jawabannya adalah kombinasi dari semuanya. Dan inilah bukti betapa berbahayanya sistem open loop jika dibiarkan tanpa pengawasan yang ketat. Koperasi tidak lagi menjadi institusi rakyat, tapi berubah menjadi alat penipuan berjubah lembaga keuangan syariah.

Mungkin bagi sebagian orang, semua ini adalah permainan biasa dalam dunia bisnis. Rugi adalah risiko. Tapi ada hal yang lebih besar dari sekadar kerugian: penghancuran nilai-nilai luhur, penghianatan terhadap amanah, dan pemiskinan sistematis masyarakat bawah. Dan percayalah, Tuhan tidak tidur.

Hari ini satu koperasi runtuh, esok bisa jadi satu sistem ekonomi rakyat akan tumbang. Ketika kepercayaan publik pada koperasi runtuh, maka hilanglah salah satu pilar ekonomi kerakyatan yang selama ini menjadi harapan alternatif di tengah serangan kapitalisme yang kian menggila.

Apa yang kita saksikan hari ini bukan sekadar penyimpangan oleh satu atau dua koperasi. Ini adalah bagian dari sistem besar yang telah membentuk jaringan mafia koperasi—mereka yang punya modal, punya akses ke regulator, dan mampu membeli kekuasaan.

Skema penipuan mereka terstruktur: – Mengajukan izin koperasi secara formal. – Menarik dana masyarakat besar-besaran. – Menjanjikan keuntungan di atas rata-rata. – Tidak transparan dalam penggunaan dana. – Membuat perjanjian yang mempersulit penarikan dana. – Dan saat runtuh? Menyalahkan kondisi pasar, pandemi, atau apapun yang bisa dikambinghitamkan

Dalam banyak kasus, penegakan hukumnya juga tidak setimpal. Jarang ada pengembalian dana korban, sedikit yang benar-benar dihukum berat, dan nyaris tidak pernah ada pejabat yang ikut diseret ke pengadilan meski tanggung jawab pengawasan ada di tangan mereka.

Saya pribadi tidak tahu ujung dari perjuangan mendampingi ribuan korban BMT Mitra Umat ini. Apakah sistem akan berubah? Apakah para korban akan mendapatkan keadilan? Atau semuanya akan dilupakan dalam waktu satu-dua tahun seperti kasus-kasus sebelumnya?

Namun satu hal yang saya yakini: jika kita tidak bicara, jika kita tidak melawan, maka para mafioso koperasi ini akan terus hidup dan tumbuh subur. Mereka akan terus menyaru sebagai pahlawan ekonomi rakyat, padahal sejatinya mereka adalah perampok berkedok koperasi.

Solusi jangka pendek mungkin adalah penegakan hukum yang tegas, audit besar-besaran terhadap koperasi yang terindikasi open loop, dan pembekuan izin mereka. Tapi lebih dari itu, perlu ada revolusi budaya koperasi—kembali ke nilai-nilai aslinya: keanggotaan, partisipasi, transparansi, dan kolektifitas.

Koperasi seharusnya menjadi pelindung ekonomi rakyat. Ia lahir untuk melawan sistem eksploitatif, bukan menirunya. Tapi hari ini kita melihat koperasi justru menjadi alat penipuan berjubah hukum. Sistem open loop adalah bukti bahwa koperasi telah dibajak untuk kepentingan segelintir orang.

Kita tidak bisa lagi menutup mata. Ini bukan hanya soal uang rakyat yang hilang, tapi tentang kehancuran kepercayaan dan pembunuhan terhadap sistem ekonomi alternatif. Ini adalah krisis moral, krisis hukum, dan krisis institusi.

Dan kita harus berani menyebutnya dengan tegas: Mafia koperasi sedang menghancurkan masa depan ekonomi kerakyatan yang digagas pendiri bangsa.