JAKARTASATU.COM – Sebuah penelitian memprediksi puluhan ribu kasus Covid-19 di Indonesia tak terdeteksi. Kasus Covid-19 yang tak terdeteksi diprediksi paling banyak ada di DKI Jakarta, kemudian Jawa Barat, dan provinsi lainnya. Penelitian ini juga menyebut karantina wilayah sebagai kebijakan yang paling ampuh menahan laju virus corona jenis baru (SARS CoV 2) tersebut.

Penelitian tersebut dikerjakan Dr. Nuning Nuraini, S. Si, M.Si., peneliti matematika epidemiologi Institut Teknologi Bandung (ITB), bersama bersama SimcovID Team yang terdiri dari belasan peneliti dari berbagai perguruan tinggi di antaranya ITB, Unpad, UGM, ITS, UB, Undana, bahkan termasuk peneliti perguruan tinggi luar negeri asal Indonesia yaitu Essex & Khalifa University, University of Southern Denmark, dan Oxford University.

Kajian ilmiah tim ini menghasilkan analisa terkait estimasi kepadatan kasus COVID-19 per 100.000 jumlah penduduk dan menunjukkan seberapa besar perkiraan kasus yang tidak terdeteksi dari provinsi-provinsi di Indonesia. Analisa ini diolah dengan model SEIRQD (Suceptible-Exposed-Quarantine-Recovery-Death).

Untuk menjawab perkiraan kasus Covid-19 yang tidak terdeteksi, peneliti berusaha menentukan estimasi parameter yang tepat melalui data yang ada, walaupun validitas data kasus terlapor diasumsikan rendah. Oleh sebab itu estimasi parameter juga dilakukan melalui data kematian yang diasumsikan lebih dapat dipercaya dibandingkan data kasus terlaporkan.

Tim menyimpulkan, Provinsi DKI Jakarta menempati urutan pertama sebagai provinsi dengan estimasi kepadatan kasus COVID-19 per 100.000 orang tertinggi di Indonesia dengan estimasi kasus yang tidak terdeteksi sebesar 32.000 (dalam selang kepercayaan 86%) kasus. Jumlah kasus tersebut jauh meninggalkan estimasi nomor dua yang diduduki Provinsi Jawa Barat dengan 8.090 kasus tak terdeteksi.

Untuk estimasi dari jumlah kasus COVID-19 yang terdeteksi berdasarkan pemodelan, Provinsi Bengkulu menjadi provinsi yang paling kecil kemampuan deteksinya yakni 0.26% dari perkiraan total kasus provinsi sebesar 385 kasus.

“Dari pemodelan, kita juga bisa melihat bahwa provinsi-provinsi yang presentase perkiraan kasus tidak terdeteksinya tinggi ada di luar pulau Jawa, seperti Bengkulu, Papua Barat, Sumatera Selatan, dan beberapa provinsi lain, “ sebut Nuning, dikutip Jumat (10/4) dari laman ITB.

Ada dua catatan penting menyangkut estimasi-estimasi yang dilakukan pada kajian ilmiah ini. Pertama, analisa estimasi hanya dilaksanakan pada provinsi-provinsi yang sudah ada kasus kematiannya.

Kedua, hasil estimasi ini hanya valid jika seluruh pasien yang terkonfirmasi COVID-19 dan meninggal dianggap tidak melakukan perjalanan lintas provinsi selama sekurang-kurangnya dua minggu. Asumsi-asumsi yang dipakai juga didasarkan data yang ada sampai tanggal 31 Maret 2020.

Selain menghitung angka kasus yang tidak terdeteksi, tim juga menggunakan metode Extended Kalman Filter untuk memberikan nilai Ro yang tepat bagi kejadian di Indonesia. Tim memprediksi,bahwa nilai Ro di Indonesia sekarang ada pada kisaran angka 3.3.

Dalam matematika, nilai Ro bisa diartikan sebagai jumlah kelahiran kasus baru akibat 1 orang terinfeksi saat masuk ke dalam suatu populasi yang sepenuhnya sehat dan potensial untuk sakit. Nilai Ro juga biasa disebut sebagai faktor penggandaan atau semacamnya. “Intinya, kita harus mengejar nilai Ro agar kurang dari 1 sehingga kita bisa mengejar keadaan bebas penyakit,“ terang Nuning.

Selanjutnya, Nuning dan rekan-rekan penelitiannya juga menyiapkan proyeksi waktu puncak dan jumlah kasus kematian dari beberapa skenario kebijakan pemerintah yang mungkin akan dilaksanakan dalam menghadapi situasi pandemi ini.

Tim membagi terlebih dahulu jenis skenario yang akan dikaji, yaitu tanpa kebijakan, kebijakan memperketat social/physical distancing, dan karantina wilayah. Selain itu, mereka juga menambahkan faktor waktu penerapan kebijakan dan waktu pelaporan/waktu konfirmasi kasus sebagai faktor kualitatif lainnya.

Hasilnya, kajian ilmiah ini menyimpulkan bahwa skenario kebijakan karantina wilayah dalam waktu dekat disertai dengan rapid-test adalah skenario terbaik yang dapat dilakukan pemerintah. Peneliti yakin bahwa fenomena pandemi di Indonesia dapat mereda lebih cepat serta lebih sedikit kasus kematian jika pemerintah menerapkan karantina wilayah, melakukan rapid-test, dan segera memulai kebijakan-kebijakan tersebut.

“Segala bentuk pekerjaan yang kami lakukan dalam membangun model dan menghasilkan analisa hanya didasarkan pada sikap sukarela. Kami tidak punya tujuan lain selain ingin mengerjakan apa yang sudah menjadi bagian dari profesi kami yaitu menghasilkan publikasi ilmiah. Namun, tentunya kami akan senang jika apa yang kami kerjakan dapat membantu bagi yang membutuhkan,“ terang Nuning. |IH-BIRO JABAR

Foto: Ilustrasi Covid-19 (Pixabay)