Gerson R. Ayawaila/ist

JAKARTASATU.COM — Badan Perfilman Indonesia (BPI) menggelar Konferensi Film Nasional di Gedung Film Jl. Letjen MT. Haryono, Jakarta Selatan, Senin (6/3/2023).

Acara yang digelar Hybrid baik disaksikan secara daring melalui ruang maya Zoom dan kanal YouTube HFN-BPI tersebut terbagi dalam dua sesi.

Sesi 1 Konferensi tersebut membahas Kebijakan dan Standar Nasional Pendidikan Tinggi Film dengan menghadirkan tiga pembicara, Gerson R. Ayawaila Ketua Asosiasi Program Studi Film dan Televisi Indonesia (Indonesia), Sri Gunani Pratiwi, Plt. Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Dikti, dan Beni Bandanajaya Direktur Akademik Pendidikan Tinggi Vokasi.

Dalam kesempatan tersebut, Gerson memaparkan data yang dimiliki Prosfisi mulai dari keanggotaan, sebaran program studi (prodi) Film dan televisi, struktur organisasi, kegiatan Prosfisi, identifikasi kurikulum, hingga problematika yang dihadapi.

Gerson berharap dengan data yang telah dia paparkan dapat menjadi rujukan bagi kebijakan dan kurikulum dalam prodi Film dan televisi. Karena menurut Gerson membuat standardisasi kurikulum tidaklah mudah, terlebih lagi bila prodi tersebut berada di luar fakultas Film.

Berdasarkan data yang dipaparkan Gerson, beberapa anggota Prosfisi telah menentukan arah fokus capaian pembelajaran, seperti fokus capaian Film dokumenter, Film animasi, dll.

Lebih lanjut, Sri Gunani yang hadir secara daring menjelaskan tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti). Sri memaparkan bahwa tujuan SN Dikti adalah untuk menjamin tercapainya tujuan Pendidikan Tinggi yang berperan strategis, menjamin mutu pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat melampaui kriteria yang ditetapkan.

SN Dikti tersebut memiliki ruang lingkup mulai dari standar kompetensi kelulusan, standar isi pembelajaran, standar proses pembelajaran, Standar penilaian pembelajaran, standar dosen dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana pembelajaran, standar pengelolaan pembelajaran, dan standar pembiayaan pembelajaran.

Sri menjelaskan bahwa kualifikasi setiap lulusan memiliki level tang berbeda dan harus sesuai dengan jenjang pendidikannya. Kualifikasi tersebut juga dapat dipengaruhi dengan pengetahuan keterampilan dan sikap dalam dunia kerja atau berkarier.

Sebagai pembicara terakhir, Beni yang hadir secara daring memaparkan tentang Pendidikan tinggi Vokasi mulai dari definisi, tahapan penyusunan kurikulum, sampai capaian yang hendak didapatkan, serta beberapa kebijakan terkait.

Beni menjelaskan bahwa tidak sedikit nama prodi di vokasi lebih spesifik daripada akademik. Hal itu dikarenakan Pendidikan vokasi bertujuan untuk spesialisasi kemampuan dan lebih banyak Praktik pengembangan keahlian daripada akademik yang lebih teoritis.

“Tujuannya agar mereka lebih ahli, lebih fokus agar tidak umum,” jelas Beni.

Lebih lanjut, Beni memaparkan bahwa dalam perencanaan standar pendidikan, kurikulum, sarana prasarana, dll harus menyesuaikan dengan capaian pembelajaran yang hendak diraih. Dan dengan adanya SKKNI, prodi-prodi perfilman dapat mengacu pada itu.

Perguruan Tinggi dan dunia kerja juga harus berintegrasi untuk proses pembelajaran di luar kelas seperti magang. Beni juga menekan bahwa pembelajaran dalam kelas harus mendorong mahasiswa untuk mampu berpikir kritis, berkomunikasi, dan kolaborasi.

Dalam konferensi yang membahas tentang kebijakan tersebut, Beni menerangkan bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian bersifat umum dan menyerahkan kebijakan lebih lanjut kepada perguruan tinggi yang lebih memahami kondisi masing-masing.(MAT/CR-JAKSAT)