Belum genap dua minggu sejak pertemuan dengan Presiden Joko Widodo, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali meramaikan pemberitaan media. Beda topik tapi nadanya masih sama, yakni memojokkan Ketum Demokrat itu.
SBY sepertinya sudah kadung digelari dengan pemimpin jago curhat, mengacu ke gaya komunikasinya yang dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai terlalu perasa. Tentu ini dikaitkan dengan statusnya sebagai seorang jenderal.
Kali ini citra SBY tertabrak mobil kepresidenan antipeluru bermerek Mercedes Benz S-600. Kabar ini bermula dari Kepala Sekretariat Presiden, Darmansjah Djumala yang menyebut SBY berkomitmen mengembalikan mobil VVIP setelah lebih dari dua tahun dipinjam. Dia juga menerangkan, pihak SBY saat ini sedang mengurus proses administrasi pengembalian mobil itu kepada Sekretariat Negara.
Kabar ini, menurut SBY memojokkan dirinya karena seolah-olah dia memanfaatkan mobil tersebut di luar aturan yang berlaku. Kegetiran SBY ini pun diungkapkan lewat surat yang dikirimkan kepada Djoko Suyanto (Menkopolhukam 2009-2014), Sudi Silalahi (Mensesneg 2009-2014) dan Dipo Alam (Sekneg 2009-2014), yang kemudian bocor di kalangan wartawan.
Dalam suratnya, SBY menyebut kabar itu merugikan nama baiknya. Dia juga ingin meminta pandangan dari ketiga bekas bawahannya tersebut untuk mencari cara paling tepat untuk mengklarifikasi isu tersebut. SBY bahkan menyebut serangan-serangan kepada dirinya karena kabar tersebut sudah mengarah ke kekejaman.
“Melalui media sosial saya sudah diserang dengan kata-kata yang kejam,” kata SBY dalam surat itu.
Dalam suratnya, SBY juga menyertakan dasar hukum penggunaan mobil kepresidenan oleh mantan presiden yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1978, yang di dalamnya ada Pasal 8 yang menyebut bahwa bekas (mantan) presiden & wakil presiden disediakan sebuah kendaraan milik negara beserta pengemudinya. Atas dasar itulah SBY menilai pegiat medsos sudah kejam kepada dirinya, dengan menggiring opini seolah dirinya memanfaatkan mobil tanpa hak.
SBY mengaku ingin mengembalikan mobil dalam keadaan laik, sehingga dirinya harus membawanya ke bengkel terlebih dulu. “Saya sedih, justeru dengan niat baik itu, hari ini pemberitaan media sangat menyudutkan saya, seolah saya bawa mobil yang bukan hak saya,” SBY mengungkapkan isi hatinya.
Berita muncul, SBY kena bully; begitu keluar klarifikasi, SBY masih dibully dengan disebut tukang curhat. SBY dan pegiat media sosial, terutama pendukung Jokowi, sepertinya memiliki pola hubungan yang beku: apa pun yang keluar dari SBY sepertinya bakal dijadikan olok-olok.
Entah siapa yang mulai, curhat SBY lalu olok-olok atau SBY dijadikan sasaran bully terlebih dulu baru kemudian dia curhat. Yang jelas kasus ini seharusnya menjadi pelajaran bagi SBY bahwa menjadi figur publik harus siap dengan resikonya. Siapa yang bebas dari bullying di Medsos saat ini? Orang biasa yang beda pendapat saja bisa diserang habis-habisan, apalagi politisi.
Apabila SBY selalu meladeni serangan di media sosial dengan klarifikasi atau keluhan, dia hanya mengipasi bara saja. Sekarang bukan zaman 13 tahun lalu ketika SBY pertama kali muncul sebagai kuda hitam, saat media hanya dikuasai oleh beberapa orang saja. Pencitraan dengan memeras belas kasihan orang untuk saat ini sudah tidak efektif lagi.
SBY seharusnya sadar bahwa dalam kontra isu menyikapi beberapa kasus belakangan dia membuat blunder, yang turut menyumbang kekalahan Agus-Sylviana di Pilkada DKI. Sekarang apa pun yang dilakukannya akan memantul, terlalu banyak pegiat medsos yang jika memposting satu berita pembacanya bisa melampaui berita sejenis di media online nasional sekalipun. Jadi, jika berita mobil antipeluru ini terlalu diambil hati, SBY bakal kena lagi-kena lagi.
Sumber OPINI Rimanews