istimewa

By Tarli Nugroho

Sesudah mendengar pernyataan Ibu SS bahwa PKI berideologi Pancasila, tadi malam saya harus membuka kembali dokumen Kongres Nasional VII (Luar Biasa) PKI tahun 1962, untuk memeriksa kalau-kalau saya telah melewatkan peristiwa luar biasa semacam itu. Hasilnya ternyata nihil.

Membaca kembali catatan-catatan periode itu, saya malah menemukan tulisan lama yang menguraikan perubahan garis politik PKI pada awal dekade 1960-an. Sebelum tahun 1963 PKI masih mengambil sikap netral atas pertikaian antara Moskow dengan Peking. Namun, pada 1963, PKI melepaskan netralitasnya dan memilih sekubu dengan Cina.

Dalam rivalitas Sino-Soviet itu, Peking menuduh Moskow telah menyimpang dari ajaran asli Marxisme dan menjadi revisionis. Mereka juga mengecam Moskow sebagai telah meninggalkan garis konfrontasi terhadap Washington dan cenderung menjalankan politik moderat. Berbeda dengan Moskow, Peking menginginkan agar ketegangan dunia terjadi di mana-mana secara permanen. Ini segaris dengan ajaran Mao yang menganggap Perang Dunia Ketiga sebagai tidak terelakkan.

Pada saat yang sama, RRC juga sedang berusaha menguasai gerakan komunis di Asia Tenggara. Terjadinya konflik antara komunis Kamboja dengan komunis Vietnam, misalnya, tak lepas dari ambisi Cina tadi. Kita tahu, Hanoi menolak jadi antek Peking, yang membuat Vietnam diejek sebagai “Kuba-nya Moskow”. Karena menolak tunduk itulah mereka kemudian diagresi Peking melalui tangan Pol Pot di Kamboja.

Berubahnya haluan politik PKI ini bukannya tidak disadari oleh Bung Karno. Melalui Manipol USDEK ia sebenarnya berusaha untuk “menjinakkan” PKI. Ia ingin menjadikan PKI sebagai perkakas politiknya.

Kalau saya jadi Ibu SS, alih-alih membela PKI dengan menyebutnya sebagai berideologikan Pancasila, saya akan membela orang tua saya dengan mengatakan bahwa, “Ayah saya berusaha untuk menjinakkan PKI. Sebagai pemimpin Dunia Ketiga yang berkuasa di tengah Perang Dingin, ayah saya tidak membungkuk ke Barat dan tidak tunduk ke Timur. Dia berusaha membangun politik perimbangan di dalam negeri, meskipun kemudian dia gagal.”

Ya, kekeliruan Bung Karno adalah dia terlalu percaya diri. Ia mengira Aidit dan Njoto sebagai anak kemarin sore yang bisa diperalat olehnya melalui “retooling”.