M Rizal Fadillah/FOTO OLAHAN JAKSAT

by M Rizal Fadillah

Rencana menyeragamkan khutbah jum’at oleh Kemenag bila menjadi satu kewajiban adalah racun dalam beragama. Pelibatan ulama dan akademisi dalam menyusun bukan solusi, hanya legitimasi. Meskipun berisi ayat-ayat dan hadits didalamnya, namun penggunaan yang seragam tetap saja menyesatkan.

Ada lima alasan kewajiban penyeragaman itu yang dinilai keliru, yaitu :

Pertama, membunuh improvisasi dan daya kreasi da’i. Khatib tidak perlu menyiapkan bahan yang menurutnya pas untuk kondisi jama’ah tertentu. Cukup menjadi pembaca naskah saja.

Kedua, khazanah pengetahuan da’i tidak bertambah. Semangat menggali referensi dibuat lemah. Semua telah tersedia. Da’i-da’i karbitan dan tidak berkualitas akan menjamur.

Ketiga, penyeragaman adalah wujud dari pengambilalihan kewenangan privat oleh negara. Ciri negara totaliter atau komunis yang dipraktekkan di negara demokrasi.

Keempat, penyusupan ideologi sesat secara halus seperti Ahmadiyah, Syi’ah, dan lainnya dapat memasuki narasi naskah. Otoritas kekuasaan berperan dalam proteksi.

Kelima, cara Nabi berda’wah semakin jauh dari peneladanan. Beliau SAW bertabligh tanpa panduan teks. Segar dan menyentuh fikiran dan rasa mustami/audiens. Berapi-api saat perlu.

Bahwa ada panduan dapat saja bermanfaat, tetapi mudharat lebih besar dari manfaatnya. Di samping dapat mubazir atas produk besar besaran, juga bisa saja kelak tak perlu lagi ada khatib naik mimbar, cukup diperdengarkan saja “suara khatib” yang membacakan naskah Kemenag. Modal masjid adalah cukup menyediakan imam shalat.

Ujungnya, dengan alasan deradikalisasi dan mencegah intoleransi, negara telah menghancurkan budaya keagamaan yang sudah sesuai syari’at. Seolah racun agama ditebar oleh rezim bergaya totalitarian atau bahkan komunis. Kontrol negara dominan.

Ini artinya, bahaya besar sedang dihadapi oleh umat Islam.

*) Pemerhati Politik dan Keagamaan

Bandung, 28 Nopember 2020