M Rizal Fadillah/FOTO OLAHAN JAKSAT

by M Rizal Fadillah

Kasus Ketua Satgas Penanganan Covid 19 Bima Arya Walikota Bogor menunjukkan watak arogansinya. Ia melaporkan Direktur RS UMMI Bogor yang konon menurut Arya tidak terbuka dalam menyampaikan prosedur dan hasil test SWAB atas diri Habib Rizieq Shihab yang dirawat di RS UMMI Bogor.

Rumah Sakit dan dokter tentu punya aturan dan kode etik mengenai pasiennya, sehingga apa yang dilakukan tentu dengan dasar dan pertimbangan. Seenaknya main lapor adalah cermin keangkuhan seorang pejabat bahkan dinilai sarat akan muatan politis. Politisasi kesehatan . Bima Arya semestinya dilaporkan juga oleh IDI atau pihak RS UMMI ke pihak Kepolisian.

Satgas Covid adalah raja atau penguasa baru, dimana-mana urusan ditentukan Satgas. Tak keluar izin tanpa rekomendasi Satgas atau Gugus Tugas. Teringat ketika KAMI Jabar akan mengadakan Deklarasi semua persyaratan izin sudah selesai dipenuhi bahkan hotel pun telah dibayar. Gagal hanya karena Gugus Tugas membatalkan rekomendasi. Seenaknya saja.

Apa dasar hukum kekuasaan Satuan Tugas Penanganan Covid 19 sehingga menjadi raja diraja dan penentu dari segala aktivitas saat ini. Soal pandemi semua tahu, tetapi tidak boleh menjadi legitimasi bagi Satgas Penanganan Covid 19 memiliki kewenangan extra ordinary untuk menyatakan seseorang atau sekelompok orang melakukan perbuatan pidana lalu dengan semaunya melaporkan ke pihak kepolisian.

Ini negara hukum, bukan negara Satgas, pak Bima Arya. Jika Direktur RS atau Dokter diproses hukum atas dasar alasan tidak membuka rahasia pasien, maka betapa banyak kelak korban akan berjatuhan. Semestinya jika dinilai ada kekeliruan, maka kepada lembaga profesi seperti IDI pengaduan disampaikan. Baru setelah ada kejelasan menurut kompetensi medis, maka diputuskan dapat atau tidaknya berlanjut ke ranah hukum melalui Kepolisian.

UU Kekarantinaan Kesehatan dilaksanakan penuh dengan multi tafsir. Ketika pilihan kebijakan adalah PSBB bukan Karantina, maka ada tidaknya sanksi pidana masih diperdebatkan di kalangan ahli. Demikian juga soal test SWAB tentang kewajiban rakyat atau pasien membuka informasi, itupun perlu penjelasan dan aturan yang jelas.

Demikian juga kewenangan Satgas yang berada di ruang administrasi atau hukum. Menjadi sama dengan aparat keamanan kah atau berstatus sebagai “Polisi Kesehatan” ?
Yang jelas UU No 44 tahun 2004 tentang Rumah Sakit mengatur adanya hak pasien untuk mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita beserta data-data medisnya.

Kacau Negara ini jika seenaknya memberi kewenangan tanpa dasar hukum yang jelas. Pandemi Covid 19 tak boleh jadi alat untuk merampok uang negara atau menghukum sewenang-wenang seseorang atau institusi hanya dengan tafsir sepihak.

Pak Bima Arya yang terhormat, kembali lagi dipertegas bahwa Indonesia ini menurut Konstitusi adalah Negara Hukum (Rechstaat) bukan Negara Kekuasaan (Machstaat), apalagi Negara Satgas (Satgasstaat) !

*) Pemerhati Politik dan Hukum

Bandung, 30 Nopember 2020