OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) dianggap tidak saja mengganggu stabilitas kekuasaan, tetapi bahkan mengancam posisi penguasa.
HRS hadir di saat pemerintah sedang menghadapi dua masalah besar yaitu pertama, resesi ekonomi. Dua kuartal pertumbuhan ekonomi minus, dan pemerintah juga sedang kesulitan cari pinjaman, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Kedua, adanya kekecewaan rakyat terhadap sejumlah kebijakan dan rendahnya kinerja pemerintah. Gelombang protes rakyat (buruh, mahasiswa dan ormas) terhadap UU Ciptaker adalah salah satu ekspresi kekecewaan itu.
Hadirnya HRS akan semakin membuat repot penguasa. Istana sepertinya sedang kerja keras untuk menghentikan langkah HRS. Sebab, HRS dianggap tokoh yang paling berani bicara tegas, bahkan keras terhadap kebijakan penguasa. Bahkan, tak segan meminta Jokowi mundur. Meski terakhir saat berpidato di acara “Dialog 100 Tokoh” HRS agak lunak dengan revolusi akhlaknya, tetap saja ada kekhawatiran akut penguasa terhadap HRS.
Kalau melihat polanya, ada tiga langkah yang dilakukan istana. Pertama, melakukan pembunuhan karakter terhadap HRS. Lihat ketika Mahfudz MD, menkopolhukam dan Agus Maftuh, Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi bicara ke media bahwa HRS dideportasi. HRS over stay, makanya dideportasi. Tuduhan itu mentah ketika Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia mrngklarifikasinya. Bahwa HRS tidak punya masalah di Arab Saudi, kata Duta Besar itu.
Kepulangan HRS juga nampaknya disambut oleh para buzzer. Kerja buzzer yang instan, cepat, seragam dan dalam waktu bersamaan seperti menjadi petunjuk bahwa mereka digerakkan. Belakangan bahkan beradar video tak senonoh yang sepertinya digarap secara profesional untuk membunuh karakter HRS. Pola-pola seperti ini nampak dikelola dengan baik untuk mempengaruhi opini publik terhadap HRS.
Kedua, ada dugaan HRS akan dicovidkan. Dugaan ini seolah mendapatkan pembenaran ketika ada pihak-pihak yang “bersikeras” menawarkan ke HRS untuk melakukan tes swab.
Untuk meyakinkan publik agar HRS layak dipaksa untuk melakukan tes swab, maka masyarakat Petamburan dites swab. Pertamburan adalah wilayah dimana HRS tinggal. Kabar yang beredar, dari 300 sampel yang diambil, hanya lima yang positif. Dan lima orang itu tidak hadir di acara resepsi pernikahan dan Maulid Nabi yang diselenggarakan HRS.
Tidak saja di Petamburan, tes swab juga dilakukan pada masyarakat Mega Mendung. Tempat dimana pesantren HRS berdiri. Hasil swab di Mega Mendung, kabarnya tak ada satupun yang positif covid.
Upaya Bima Arya “memburu” hasil tes swab HRS di Rumah Sakit Ummi makin memperkuat dugaan itu. Bahwa memang ada upaya mengcovidkan HRS.
Kenapa harus dicovidkan? Kalau hasil tes swab HRS positif, HRS wajib isolasi diri. Ini perintah undang-undang. Dimana HRS isolasi diri? Nah, disini letak permainannya.
Mungkinkah HRS akan diisolasi di pulau Galang Batam? Jika ini dilakukan, HRS tak lagi bisa bergerak. HRS akan mati langkah. Ini sama artinya membuang HRS sebagaimana Belanda membuang para tokoh dan pejuang kemerdekaan di sejumlah pulau terluar Indonesia.
Kalau isolasi di rumah, HRS masih bisa leluasa berceramah dan mengkonsolidasikan massa via webiner. Percuma mencovidkan.
Mengcovidkan HRS, itu kecil risiko. Ada regulaisnya. Langkah ini sangat efektif untuk meredam emosi para pendukung HRS. Apalagi, ada kemungkinan HRS gak bisa diakses lagi.
Ketiga, HRS jadi tersangka. Kriminalisasi? Publik selalu mengatakan begitu. Ditengah amburadulnya pelaksanaan dan penegakan hukum, semua hal bisa terjadi.
Selasa, tanggal 1 desember kemarin, HRS sudah dipanggil Polda Metro Jaya. Untuk sementara, statusnya menjadi saksi. Atas dugaan apa? Menghasut orang lain untuk melakukan tindak pidana dengan melanggar aturan kekarantinaan.
Atas panggilan pertama Metro Jaya, HRS tidak datang. Telah dikirim surat panggilan kedua. Diantar ke Petamburan dengan dikawal pasukan brimob yang bersenjata lengkap.
Tahap pemanggilan sudah sesuai prosedur hukum. Tertera
di Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jika panggilan kedua hari ini, senen 7 Desember tidak datang, akan ada panggilan ketiga. Jika gak datang juga, adakah kemungkinan HRS akan dijemput paksa? Bergantung.
Jika di data intelijen terungkap tak ada perlawanan massa dalam jumlah sangat besar, HRS bisa juga dijemput paksa, dan ada kemungkinan ditahan setelah lebih dulu ditetapkan jadi tersangka. Ini jika ada cukup alat bukti yang oleh penyidik dianggap meyakinkan.
Tapi jika perkiraan jumlah massa sangat besar yang berpotensi menimbulkan gejolak sosial dan politik, tentu penyidik akan berhitung jika melakukan penjemputan paksa. Meski hukum tak mengenal siapa kuat dan siapa lemah. Namun, rsiko sosial dan pertimbangan politik dari pihak yang berkuasa seringkali jadi variabel yang berpengaruh pada proses dan keputusan hukum. Kecuali jika Kapolda Metro Jaya memang nekat, dan tetap jemput HRS untuk ditahan paksa. Sebab, kasus HRS cukup menggoda jika dijadikan sebagai tiket berharga bagi Kapolda untuk naik jabatan jadi Kapolri.
Kita tunggu apa yang akan terjadi dengan HRS, dan juga dengan dinamika politik dalam negeri pasca kepulangan HRS beberapa pekan lalu.
Jakarta, 7 Desember 2020