Faisal Basri/ist

Dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI yang digelar pada Rabu, 19 Januari 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan bahwa sebagian dana Pemulihan Ekonomi Negara (PEN), akan dialokasikan untuk membantu pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.

Faisal Basri selaku Ekonom Senior, menilai bahwa penggunaan dana PEN ini merupakan kejahatan yang luar biasa.

Pasalnya, pandemi covid-19 masih belum selesai sepenuhnya, dan ekonomi rakyat dan negara juga masih harus dipulihkan terlebih dahulu.

“Ingat sekarang ini kita masih kondisinya darurat, ada Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah diundangkan jadi UU Nomor 2 Tahun 2020, karena ada keadaan darurat maka diberikan keleluasaan penuh untuk pemerintah pusat untuk mengalokasikan anggaran dari mana pun demi untuk COVID,” ujar Faisal Basri dalam forum diskusi ICW, yang dikutip dari Kumparan.com pada Jumat, 21 Januari 2022.

“Nah sekarang sudah demi untuk COVID mau disisihkan untuk ibu kota baru, waduh ini kejahatan luar biasa. Sudah dikasih keleluasaan tapi disalahgunakan. Tidak ada alasan sama sekali untuk mengalihkan anggaran dari COVID ke ibu kota baru,” imbuhnya lagi. 

Ia juga menilai, bahwa seharusnya pemerintah malah menambah anggaran pemulihan ekonomi dari anggaran-anggaran lainnya, bukan malah memangkasnya.

“Justru yang harusnya ada anggaran yang sudah dialokasikan untuk ibu kota baru nanti dulu, semua kita konsentrasi untuk COVID-19. Sekarang kasus sudah bertambah sehari 2 ribu. Jadi kita harus siap-siap menghadapi gelombang ketiga. Rakyat makin banyak yang sengsara,” jelasnya.

Ia juga menuturkan bahwa ancaman Omicron dan gelombang ketiga, harusnya dapat lebih diantisipasi lagi dan menyisihkan sebagian anggaran sebagai tabungan untuk menghadapi kemungkinan terburuknya. 

“Harus ditabung yang ada untuk antisipasi demi menyelamatkan rakyat. Nah dari perspektif ekonomi, pemulihan ekonomi kita paling lambat, negara lain 2021 itu sudah pulih, dalam artian pertumbuhan ekonomi sudah melampaui sebelum covid-19. Indonesia masih jauh,” tuturnya.

Faisal juga mengatakan bahwa pemilihan lokasi masih gamang, karena jika yang dimaksudkan adalah untuk pemerataan, pemilihan tersebut tidak sesuai.

“Di Indonesia dibangun di kawasan yang dikuasai para oligarki, dan ingat loh Kalimantan Timur bukanlah provinsi di Kalimantan yang paling miskin, justru dia yang paling kaya. Kalau tujuannya pemerataan harusnya di Kalimantan Tengah, lebih bersih. Di Kaltim memang ada namanya nanti smart city, green city, tapi di sekelilingnya kotor semua. Dikelilingi oleh properti atau bisnisnya oligarki,” tutupnya. (sumber: https://makassar.terkini.id/)