LAPONG

APAKAH KETUA MK AKAN MENERIMA GUGATAN PEMOHON AGAR PONAKANNYA (GIBRAN) BISA IKUTAN COPRAS CAPRES 2024 ?

By MN LAPONG
Direktur LBH ForJIS

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Permohonan diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan sejumlah perseorangan warga negara Indonesia. Para Pemohon mendalilkan Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.

_Pasal 169 huruf q UU Pemilu berbunyi, “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon wakil presiden. Adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.”_

Tidak ada yang salah dan tidak ada yg perlu dikritik dalam proses gugatan tersebut, semua di jamin undang undang dan sah di mata hukum, bahwa setiap warga negara, perorangan atau kelompok, atau badan hukum dijamin oleh UU untuk mengajukan permohonan gugatan Kepada MK jika merasa haknya dirugikan oleh suatu kebijakan UU yang berlaku yang menurutnya bertentangan dengan Kontitusi Negara UUD 1945 – Produk MPR 2002.

Judul tulisan ini tidak dimaksudkan pula untuk projudice terhadap posisi Ketua MK yang nantinya akan memutus gugatan pemohon, demikian pula dengan posisi Gibran jika gugatan ini nantinya di terima, dan benar nantinya dijadikan tiketnya untuk Capres atau Cawapres? Selama segala sesuatunya sudah sesuai aturan hukum tentu _no problema_.

Jadi ini dimaksudkan untuk mengajak kita semua melihat cakrawala dari sebuah drama dari berbagai kepentingan politik, ekonomi bercampur hukum, sekaligus menguliti peran moral, Etika dan estetika dalam kehidupan kita berbangsa Indonesia saat ini.

Ada kecurangan pemilu yang diakui sendiri oleh MenkoPolhukam, ada konspirasi korupsi, ada money politic yang massif, ada skenario skenario politik menghajar dan menjegal lawan politik, ada politik KKN atau Dynasti Politik yang berkembang biak, dan ada peran mesin para oligarkhi. Itu semua dipertontonkan didepan mata kita dengan telanjang dalam drama demokrasi ala feodal, yang tampilannya lucu lucu dan membuat kita geleng geleng kepala dalam kacamata kita yang waras.

Wajah ini adalah cerminan yang paling pas dari demokrasi yang di korupsi, Hukum yang dikorupsi, dan antrinya para pejabat dan politisi mengkorupsi uang negara. Malu dan harga diri sebagai petunjuk moral, dalam etika dan estetika bernegara sudah hilang dari bisingnya ketamakan elite elite kita.

*Hukum, Politik dan KKN*

Masih kuat ingatan publik tahun 2021, adalah tahun yang luar biasa bagi keluarga Presiden Jokowi. Betapa tidak Anak dan Mantunya dilantik menjadi Walikota, Gibran di Surakarta dan Bobby Nassution Di Medan. Ini peristiwa untuk pertama kalinya dalam sejarah ke Presiden-an Indonesia, anak dan mantu menjadi Walikota secara bersamaan.

Ada yang salah dalam hal ini? Tentu tidak! Hukum yang dilalui sudah sah, proses politik yang dilalui pun terpenuhi. Lantas di mana kejanggalannya dalam etika keberadaban kemanusiaan yang adil menurut sila 2 Pancasila sebagai kunci moralitas dalam melihat persoalan ini ? Tak lain adalah bahwa kedua putra mahkota tersebut (bapaknya) adalah Presiden Republik Indonesia yang sedang berkuasa, sehingga Potensi KKN dalam kasus tersebut menjadi sangat besar sekalipun agak samar untuk dibuktikan. Hal lain adalah, fairness sulit di wujudkan karena adanya monopoli kekuasaan yang sulit untuk di hindarkan untuk bersikap equal atau adil.

Hal ini menjadi menarik kaitannya dalam perspektif dialektika publik, tak lain adalah ingin menyoroti dalam melihat konteks hubungan, antara ranah hukum, politik kaitannya dengan potensi KKN dalam proses gugatan permohonan Pasal 169 huruf q UU Pemilu di MK. Dimanakah posisi Ketua MK Anwar Usman sebagai Adik Ipar Presiden Jokowi dan kepentingan Gibran Kelak di Copras Capres di 2024 dalam konteks fairnes Dalam wujud moral dan etika bernegara? Dan ini menjadi penting bagi konsumsi publik dan tentunya bagi kepentingan bangsa dan negara.

Ditolak atau di terimannya gugatan permohonan pemohon di atas secara hukum tentu linear dengan kepentingan hukum. Tapi dalam pandangan politik dan KKN di mata publik tentu akan makin menimbulkan kehebohan dalam perjalanan demokrasi, kedaulatan rakyat dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, apalagi jika gugatan permohonan pemohon diterima.

Lihat saja bagaimana reaksi Waketum PAN Yandri Susanto belum ada putusan sudah berkomentar membicarakan kejutan di balik gugatan batas usia capres dan cawapres minimal 40 tahun dalam Undang-Undang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia menyinggung sosok Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang berpeluang maju di pilpres apabila gugatan itu dikabulkan MK.