Orang Kuat Perusak Demokrasi

Oleh Sobirin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan

Bagi orang Madura orang kuat (blater) adalah orang yang secara fisik maupun spiritual kuat, dan biasanya dikenal memiliki ilmu kebal dan kanuragan. Konotasi orang kuat di zaman dulu kurang lebih sama dia berfisik berotot, badannya besar tegap, dan memiliki tenaga luar biasa. Orang kuat juga sering dirujuk pada tokoh film hero seperti Superman, Hulk, Samson, Rambo dan lain sebagainya.

Orang kuat zaman milenial tidak lagi dicitrakan  perkasa memiliki ilmu kanuragan, sakti mandaraguna seperti mitos zaman Yunani Hercules. Orang kuat zaman milenial adalah memiliki kekuasaan, ide, jaringan (network), kemampuan intelektual, teknologi, modal politik, budaya, sosial dan ekonomi. Orang kuat yang dimitoskan dengan fisik hebat, perkasa, berotot kini sudah out of date.

Orang Kuat Selalu Dominan

Bagaimanapun tokoh-tokoh mitologi memang diciptakan untuk dijadikan model atau potret diri, sebagai cermin dan referensi moral publik. Dengan narasi kepahlawanan (positif) dan narasi jahat (tokoh antagonis/negatif) tokoh dibuat bak teater berlakon sesuai peran masing-masing. Pikiran manusia pun bebas untuk menilai dan memilih jalan moral mana yang ia pegang sebagai penuntun dalam kehidupan.

Penting dipahami juga, agama dan budaya lokal selalu mengalir memberi asupan dan siraman rohani berisi nilai-nilai melalui narasi-narasi yang intinya menjaga agar manusia tidak terjerembab pada lubang yang sama secara berulang.

Dengan dinamika sosial dan waktu perkembangan budaya mengalami pergeseran dari fase mistis (mitos) ontologis  ke fungsional mengacu pendapat CA van Peursen (1976:18). Dengan kalimat lain, ada perubahan kerangka berpikir mitosentris yaitu pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam kepada pola pikir logosentris merupakan pola pikir masyarakat yang melibatkan akal budi, logika dan rasio dalam menjelaskan fenomena-fenomena alam (Ginting & Situmorang, 2008). Selanjutnya manusia memproduksi sistem ide, perilaku dan nilai fungsional dalam berelasi dengan alam serta lingkungan. Fase fungsional ini sering diditentifikasi dengan kebudayaan modern atau peradaban modern.

Di fase kebudayaan modern,makna orang kuat sudah bergeser tidak lagi dengan ukuran fisik tetapi dari kekuatan intelektual, kemampuan teknis, manajerial, networking berbasis pada ekonomi, politik,  sosial budaya dan teknologi. Dalam konteks Indonesia__khususnya secara politik, makna orang kuat adalah mereka yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi.

Dengan kekuasaan politik dan ekonomi, orang kuat mampu secara leluasa mengelola kekuasaan, membuat undang-undang/regulasi, menguasai (birokrasi) jaringan hirarki kekuasaan mulai dari atas hingga ke bawah (partai, militer, kepolisian, menteri hingga kelurahan/desa) dan mengatasi hukum.

Orang kuat ini, telah menjelma menjadi sosok-sosok digdaya yang tidak tersentuh hukum atas berbagai pelanggaran yang dilakukan, bahkan dialah pengendali hukum dan aparatnya. Dari sini, orang kuat __atas nama kekuasaan politik dan ekonomi__dengan mudah membatalkan tuntutan hukum atas dirinya atau kroninya dalam perkara korupsi uang negara dalam jumlah besar sekalipun.

Bagi orang kuat, negara ibarat “perusahaan”. Negara bukan lagi lembaga publik yang berdiri diatas kedaulatan rakyat. Rakyat bukan lagi dimaknai sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) atas negara yang dijamin konstitusi, melainkan komunitas besar bernama konsumen. Oleh karena itu, konsumen dianggap tidak punyak hak-hak akan halnya warga yang dilindungi konstitusi, kecuali “hak memilih” saat pemilu tiba dan kewajiban membayar pajak. Pemilu pun hanya menghasilkan oligarki dan tentu berdampak pada potensi mengesampingkan hak-hak asasi manusia, melahirkan kebijakan-kebijakan yang elitis.

Demokrasi Semu

Kemunculan orang-orang kuat secara politik dan ekonomi tak lepas dari praktik demokrasi yang dijalankan. Demokrasi berlangsung hanyalah demokrasi prosedural; hanya  menghasilkan  politisi  yang  sangat bergantung pada kekuatan modal sebagai anggota partai maupun legislatif. Bahkan seperti dikatakan Ubedillah Badrun (Kompas, 4/3/2022),demokrasi yang ada adalah demokrasi yang semu. “Pseudo democracy maksudnya jalannya negara tidak lagi dijalankan oleh institusi demokrasi yang baik yang mendengarkan aspirasi rakyat, tetapi dikendalikan oleh institusi yang buruk yang dipandu oleh oligarki bukan dipandu oleh daulat rakyat.”

Dalam konteks Indonesia, demokrasi sejatinya telah bergeser menjadi demokrasi yang timpang (nir-kesetaraan). Kesetaraan yang diisyaratkan demokrasi tak terpenuhi dalam praksis bernegara, yakni kesetaraan pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya (Indra Tranggono,2017). Praktik dominasi dan hegemoni pun terjadi. Politik uang pun bicara, serangan jafar pun menjadi terang-terangan dan rakyat tak pernah mampu menghukum politisi busuk yang bergentayangan setiap pemilu meskipun selalu dikecewakan. Dalam kaitan ini, orang kuat tadi tetap menjadi aktor utama perusak demokrasi dan melahirkan kepemimpinan pragmatis.

Hal yang paling memprihatinkan dari adanya demokrasi semu adalah tidak terbangunnya civil society yang menjadikan negara ini seperti terjun bebas menuju titik nadir peradaban terendah. Etos kerja, etika, ide, nilai, kreativitas  menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya. Di sinilah kepemimpinan kultural seolah mati suri.  Kepemimpinan kultural di sini dimaknai sebagai kepemimpinan yang berbasis pada ide (idealisme), ideologi, nilai, etika, akhlak, nalar, dan perilaku yang berorientasi pada peningkatan eksistensi publik.  Sementara kepemimpinan pragmatis lebih berorientasi pada kepentingan jangka pendek demi kekuasaan, kekuasaan dan kekuasaan.

Kepemimpinan jenis pragmatis sering pula dikonotasikan hanya sekadar mengejar cash flow; dimana yang sehat dan sejahtera bukan publik melainkan penguasa dan kroni-kroninya. Dalam setting seperti ini wajar jika yang dominan adalah orang-orang kuat secara politik dan ekonomi.  Kepemimpinan jenis ini sejatinya telah gagal menjawab penderitaan dan tangisan publik atas ketidakadilan.

Apa yang dilakukan oleh rezim sekarang dengan sepak terjangnya akhir-akhir ini, telah mengarah kepada kepemimpinan pragmatis. Rezim ini telah tampil menjadi orang kuat secara politik dan ekonomi, tapi sadarkah dia bahwa apa yang dipertontonkan sejatinya tanpa nilai-nilai profetik (kemampuan membebaskan dan meninggikan eksistensi publik). Model yang dikembangkan rezim ini sebenarnya hanyalah mengembangbiakkan penderitaan rakyat, bermental kere dan merusak sendi-sendi demokrasi.

Melihat sepak terjang rezim ini, rakyat nampaknya lebih membutuhkan orang baik dalam jumlah besar dibandingkan dengan beberapa gelintir orang kuat yang nir-budaya, nir-akhlak, dan  nir-kemanusiaan. Sebuah diktum lama berkata, “… orang baik akan melahirkan kebaikan…”. Artinya, sederhana saja, kalau ingin semuanya berjalan baik, maka pasrahkanlah segala sesuatunya untuk dikerjakan oleh orang baik. Baik secara keilmuan, pengalaman, dan tentu saja yang lebih penting adalah moral (akhlak). Termasuk juga baik mempunyai arti tepat, benar, dan ahli.

Dari sini penting kiranya himpunan orang baik yang bersinergi untuk kemudian menciptakan perubahan besar dalam membangun masyarakat; membangun peradaban dan menciptakan kesejahteraan.

Wallahu’alam bisswab.