Ilustrasi AI | WAW

Orang Miskin Kaya Lo Mana Bisa Ngelaporin Gue

Oleh: WA Wicaksono, Storyteller

Seperti sebuah pukulan keras di wajah hukum, pernyataan pongah seorang anak bos toko roti yang viral baru-baru ini bukan hanya mengguncang hati nurani, tapi juga menjadi tamparan telak bagi institusi penegakan hukum di negeri ini. Kalimat arogan “Orang miskin kaya lo mana bisa ngelapori gue” bukan sekadar ucapan jumawa dari seseorang yang merasa kebal hukum, melainkan cermin buram ketidakadilan yang sudah lama dirasakan oleh rakyat kecil. Ucapan ini bukan menghina orang miskin, melainkan justru melecehkan kredibilitas institusi-institusi hukum kita.

Ketika Hukum Lumpuh

Berangkat dari kasus ini, kita menyaksikan betapa sistem penegakan keadilan, yang semestinya menjadi benteng terakhir bagi mereka yang tertindas, kerap kali lumpuh ketika berhadapan dengan mereka yang berkantong tebal dan berkekuatan besar. Anak bos toko roti yang dengan brutal menganiaya karyawannya merasa yakin ia tak akan tersentuh hukum. Dan pada awalnya, keyakinan itu tampaknya benar. Laporan atas tindakannya terkatung-katung selama dua bulan di meja kepolisian. Hukum diam. Aparat bungkam. Keadilan nyaris menjadi omong kosong.

Namun apa yang terjadi setelah itu? Sebuah video penganiayaan yang diunggah di media sosial mendadak viral. Jutaan netizen bergerak, marah, dan menuntut keadilan. Tekanan sosial dari dunia maya akhirnya memaksa pihak berwenang untuk bertindak. Pelaku ditangkap. Keadilan bergerak, bukan karena panggilan tugas atau profesionalisme aparat, melainkan karena sorotan publik yang tajam. Sekali lagi, No Viral, No Justice. Fenomena ini bukan kebanggaan, melainkan noda hitam di wajah lembaga hukum kita.

Netizen: Pilar Baru Keadilan?

“Suara rakyat adalah suara Tuhan,” kata pepatah lama. Namun, hari ini, suara itu bergema dengan versi yang lebih modern: Vox Netizen Vox Dei – suara netizen adalah suara Tuhan. Media sosial, yang dahulu hanya dipandang sebagai wadah hiburan dan pergunjingan, kini menjelma menjadi pilar baru penegakan keadilan. Netizen, dengan segala kekuatannya, mampu menggiring opini publik, membuka kasus yang sengaja ditutup-tutupi, dan mendesak aparat untuk bekerja.

Tentu ini adalah ironi. Seharusnya keadilan ditegakkan tanpa perlu viralitas. Aparat hukum memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk melayani semua warga negara, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau koneksi politik. Ketika sebuah kasus baru ditangani setelah menjadi trending topic, itu menandakan ada yang salah pada pondasi keadilan kita.

Apakah kita harus selalu bergantung pada netizen untuk mendapatkan keadilan? Apakah laporan resmi dari rakyat kecil hanya dianggap formalitas yang bisa diabaikan? Jika benar demikian, maka kita telah sampai di titik yang memalukan. Penegakan hukum yang seharusnya menjadi simbol keadilan berubah menjadi panggung sandiwara, di mana aparat baru “bekerja” ketika mendapat tepuk tangan dari publik.

Hukum Untuk Siapa?

Rahasia umum di negeri ini: hukum cenderung berpihak pada mereka yang memiliki uang dan kuasa. Kasus-kasus penganiayaan, perampasan hak, atau pelecehan terhadap rakyat kecil sering kali ditangani setengah hati, sementara laporan dari mereka yang “punya” disambut dengan karpet merah. Kalimat “Orang miskin kaya lo mana bisa ngelapori gue” hanya mempertegas realitas pahit ini.

Ketika seseorang bisa sesumbar merasa kebal hukum, ia sebenarnya tengah mengolok-olok kredibilitas polisi, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga penegakan hukum lainnya. Lebih dari itu, ia sedang menghina negara. Karena hukum yang tak lagi menjadi panglima hanya akan melahirkan ketidakpercayaan publik. Jika rakyat merasa laporannya tak digubris dan satu-satunya cara mendapatkan keadilan adalah dengan memviralkan masalah mereka, lalu untuk apa kita memiliki lembaga hukum?

Malu Pada Hukum, Malu Pada Rakyat

Kasus ini, dan banyak kasus serupa sebelumnya, adalah pengingat bahwa hukum kita sedang sakit. Ia bergerak lambat, kaku, dan sering kali diskriminatif. Ketika viralitas menjadi penentu keadilan, maka institusi-institusi negara tak lebih dari pelengkap penderita dalam sistem demokrasi kita.

Sudah saatnya kita bercermin dan bertanya: Hukum ini milik siapa? Jika hanya orang kaya dan berkuasa yang bisa mendapat perlindungan, maka negeri ini telah gagal memenuhi salah satu cita-cita utamanya: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Aparat penegak hukum harus merasa malu. Bukan pada netizen, melainkan pada tugas mereka sendiri.

Karena jika setiap kasus harus viral dulu agar ditindaklanjuti, maka sebetulnya kita semua tengah menari di atas panggung keadilan yang rapuh. Dan sayangnya, seperti yang kita lihat dalam kasus ini, yang menari paling lama adalah mereka yang punya uang. Sementara yang miskin? Mereka hanya bisa berharap keajaiban dari netizen.

Dus, adakah yang lebih memalukan dari itu? Negeri ini butuh penegak hukum yang berani, tegas, dan adil. Bukan aparat yang hanya bergerak saat disorot. Hukum harus menjadi panglima, bukan sekadar penonton. Jika tidak, kita hanya akan terus menjadi penonton dari pertunjukan ketidakadilan yang sama, diulang-ulang, di panggung yang sama pula. Tabik. []