MUNDUR…!!! TAK ADA (PEJABAT MALU DI INDONESIA)
LANGKAH PERTAMA SEORANG PEMIMPIN DI INDONESIA, jika ada pejabat mundur di bangsa Ini. Keren…pasti terlihat akan mulia…
Sebuah sejarah kepemimpinan di Indonesia akan –jarang– mencatat seorang pemimpin yang memilih mundur sebagai bentuk tanggung jawab atas kesalahan anak buahnya.
Selama ini, ketika sebuah kasus besar mencuat—baik itu korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau kebijakan yang merugikan rakyat—yang terjadi justru pemecatan bawahan, rotasi jabatan, atau sekadar pernyataan maaf tanpa konsekuensi nyata di tingkat pimpinan tertinggi.
Namun, jika kali ini seorang pemimpin benar-benar memilih mundur karena merasa gagal membimbing dan mengawasi anak buahnya, maka ini akan menjadi preseden baru dalam tata kelola negara.
Mundur bukan berarti lari dari masalah, justru sebaliknya, itu adalah wujud tanggung jawab moral yang selama ini langka (belum ada) di Indonesia.
Tanggung Jawab yang Seharusnya Dimiliki Pemimpin
Seorang pemimpin bukan hanya bertugas menjalankan kebijakan, tetapi juga memastikan seluruh jajarannya bekerja dengan baik, bersih, dan berpihak kepada rakyat. Ketika ada penyimpangan di bawahnya, pemimpin harus bertindak tegas, bukan hanya dengan mencopot bawahan, tetapi juga mengevaluasi diri: apakah sistem yang ia bangun sudah benar? Apakah pengawasannya sudah cukup? Jika terbukti ada kelalaian, maka mundur bisa menjadi pilihan terhormat.
Mundur dalam situasi seperti ini bukan sekadar keputusan politik, tetapi juga etika kepemimpinan. Seorang pemimpin sejati harus berani mengakui kegagalannya sebelum rakyat yang memaksanya turun.
Indonesia dan Budaya Kekuasaan yang Sulit Melepaskan Jabatan Selama ini, di Indonesia, karena jabatan seringkali dianggap sebagai hak pribadi, bukan amanah.
Tidak sedikit pejabat yang bertahan meskipun sudah jelas terbukti gagal, atau bahkan terlibat dalam kasus yang merugikan negara. Bahkan ada pejabat beberpa yang sudah di prodeo KPK anak buahnya masih antri minta tanda tangan ke KPK (beberapa kepala daerah-catat dan cek saja di KPK)
Alasan yang digunakan beragam, mulai dari masih dibutuhkan oleh negara, mengklaim dijebak, hingga menyalahkan konspirasi politik.
***
Jika seorang pemimpin berani mengambil langkah mundur karena anak buahnya melakukan kesalahan fatal yang merusak bangsa dan rakyat, itu akan menjadi standar baru dalam kepemimpinan nasional. Maling Korupsi dan bahkan korupsinya bergitu gila dan merugikan banyak pihak bahkan kelakuannya bersekongkol dengan mafia. Dan mafia itu masih yang lama dan hanya menganti pasukan untuk merampok.
Ini akan membuktikan bahwa jabatan bukanlah tempat mencari keuntungan, tetapi tanggung jawab yang harus dijaga dengan penuh kehormatan.
Langkah Pertama
Jika kita akan menuju politik yang beretika Jika benar ada pemimpin yang memilih mundur karena merasa gagal mengawasi jajarannya, ini akan menjadi tonggak sejarah dalam politik Indonesia.
Langkah ini akan mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati bukan soal bertahan di kursi kekuasaan, melainkan bagaimana menjaga amanah dan kepercayaan rakyat. Pemimpin yang mundur karena kesalahan anak buahnya bukan berarti lemah, justru sebaliknya—itu adalah tindakan seorang pemimpin yang berani, bertanggung jawab, dan memahami bahwa kekuasaan bukanlah segalanya.
Ini bukan hanya soal individu yang mundur, tetapi juga tentang membangun budaya politik yang lebih berintegritas di Indonesia.
Eh kini malah kita melihat mereak seolah jika keluarganya masuk birokrat dan menentukan jabatan, malah mereka menempel dan ikutan jadi shift jaga, memang absurd dan ini bahaya.
Maka, jika ini benar-benar terjadi ada pejabat yang mundur karena baru terindikasi saja akan keren, sejarah akan mencatatnya sebagai langkah pertama dalam perubahan besar kepemimpinan di negeri ini. BUkan aparat keamanan di intervnesi dari yang tuduhan awal kini malah jadi kampanye soal kasus agar jangan tinggalkan kebutuhan itu…(mungkin semua tahu ya) Intinya tak ada oplosan tapi yang itu kasus oplosan akan jadi blunder dan makin dramaturgi yang absurd.
Ada pembentukan Tim Crisis Center adalah langkah yang baik, tetapi efektivitasnya akan dinilai dari hasil nyata dalam membenahi tata kelola BBM iyu agar lebih bersih dan profesional. Kepercayaan masyarakat terhadap BUMN seperti Pertamina sangat bergantung pada transparansi dan komitmen dalam menindak kasus semacam ini. Jika tidak ada tindakan tegas, permintaan maaf bisa dianggap sekadar formalitas.