Nadirsyah Hosen: “Demi Trump dan Tarif Dagang? Evakuasi Gaza Dipertanyakan”
JAKARTASATU.COM– Dosen Universitas Monash Australia, Nadirsyah Hosen, mengkritik tajam rencana pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Prabowo Subianto untuk mengevakuasi warga Gaza ke Indonesia. Menurutnya, rencana yang tampak mulia itu justru berisiko besar secara geopolitik dan kemanusiaan.
“Jalan ke neraka sering dibentangkan dengan niat baik,” ujar Nadirsyah dalam pernyataannya di akun X (Twitter), Ahad (13/4/2025)
Ia menegaskan bahwa evakuasi warga Gaza bisa menjadi legitimasi bagi agenda lama Isr@3L untuk mengosongkan wilayah Gaza secara permanen. Tanpa jaminan kembali, evakuasi ini bisa menjelma menjadi relokasi, lalu berakhir sebagai pengusiran terselubung.
Lebih lanjut, Nadirsyah mencium motif ekonomi di balik manuver Prabowo. Ia menyebut bahwa langkah ini bisa jadi upaya diplomasi untuk mendekati Donald Trump, mengingat Amerika Serikat baru saja menaikkan tarif produk Indonesia hingga 32 persen. Dalam kondisi ekonomi nasional yang sedang tertekan, pengeluaran besar untuk operasi pengungsian warga Gaza dianggap tidak realistis dan berisiko menimbulkan penolakan publik.
Di dalam negeri, Nahdlatul Ulama juga dinilai belum memiliki posisi tegas. Ketua Umum PBNU, Gus Yahya Cholil Staquf, dan Gus Fahrur sempat menyuarakan dukungan terhadap evakuasi, sementara tokoh NU lainnya, Gus Ulil Abshar Abdalla, secara tegas menolak relokasi permanen. “PBNU tampaknya lupa, dalam geopolitik tak ada yang benar-benar temporer,” tegas Nadirsyah.
Ia juga mengingatkan pengalaman masa lalu saat pengungsi Rohingya mendapat penolakan di Aceh. Perbedaan budaya, agama, dan sistem sosial bisa menjadi hambatan besar dalam integrasi warga Gaza di Indonesia.
“Kita bukan sedang membicarakan isu kemanusiaan belaka, tapi jebakan budaya, politik, dan ekonomi.” kata dia.
Menurut Nadirsyah, Prabowo tampaknya berharap isu Gaza bisa menjadi pintu diplomasi ekonomi, namun dengan harga yang sangat mahal: memindahkan luka Palestina ke Indonesia, sambil membungkusnya dengan narasi solidaritas.
“Jika tidak dibaca dengan jernih dan tegas, kita akan tercatat bukan sebagai pelindung, tapi sebagai pelancar eksodus terbesar abad ini,” imbuh Hosen. (Yoss)