JAKARTASATU.COM – BUKU M. Rizal Fadillah berjudul “Lepaskan Borgol Demokrasi” adlaah buku yang menarik perhatian saya. Saya sebenarnya hampir tiap pagi dalam 3 tahun belakang mendapat tulisan Kang Rizal ini sehabis subuh. Namun saat buku dari sepilihan tulisan yang terdapat sekitar 90 tulisan menjadi menarik. Akhirnya say coba kupas meski dalam catatan ini saya membaca ulang bukunya.

Buku setebal 280 halaman ini merupakan catatan politik seorang pengamat kebangsaan yang cinta tanah air. Tak perlu disangsikan lagi soal merah putih Rizal Fadillah. Rizal dengan cinta dan sadar akan bangsa ini. Ia membuka analisanya secara tajam dan meninju dianggap tak laik bagi kondisi bangsa. Sebuah otokritik yang elegan disampaikan dengan halus. Ia membedah konteks besar kekinian bangsa dengan pisau bedah otaknya yang cerdas.

Tak semua orang punya energi seperti Rizal untuk menulis setiap harinya secara konsisten dan luar biasa. Rizal sadar mungkin semua tahu  kondisi saat ini tentang bangsa dan kegelisahan rakyatnya. Tapi Rizal lebih memilih jalan sunyi dan meninju dengan diksi yang apik, menampar siapa pun yang kurang ajar, dan mengajak menjaganya dengan santun meski kadang sedikit mengigit tapi membangkitkan rasa merah putih tinggi untuk nilai luhur bangsa ini.

Buku “Lepaskan Borgol Demokrasi”  diterbitkan LEKKAS & FKP2B PRESS adalah buku yang ke 6 dari sejumlah buku yang di tulis penulis Rizal yang lahir di Bandung 12 Desember 1959, Rizal adalah Deklarator KAMI dan Presidium KAMI Jawa Barat. Ia adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung Jurusan Hukum Tatanegara (Constitusional Law) tahun 1985. Sejak Mahasiswa Aktif di Senat. Rizal juga adalah tokoh Muhammadiyah yang cerdas dan sering melakukan dakhwah.

Buku “Lepaskan Borgol Demokrasi” adalah sebuah korelasi dangat pentik dalam politik tanah air. Dalam Pelunurannya di Webinar sangat luar biasa dihadiri sejumlha tokoh dan audiens samap ratusan partisipan.  Buku segar hukum politik ini memang luar biasa.

Dindin S. Maolani, SH , Advokat senior, mantan dewan pengawas YLBHI, Presidium FKP2B menulis di awal halaman  bahwa Rizal Fadilah lugas membedah kondisi bangsa saat ini. Potret demokrasi yang terborgol dalam tulisannya mudah dirasakan oleh kebanyakan masyarakat bangsa yang kedaulatannya sedang terampas oleh kekuasaan politik oligarkhi. Sementara potret HAM dalam menyampaikan pendapat dan kritik berwarna buram, terganggu bahkan terbelenggu.

“Kondisi tersebut tergambar dengan terjadinya kriminalisasi para aktivis dimana mana. Bahkan telah menelan korban tewas orang orang yang belum tentu bersalah. Pembiaran penegakkan hukum secara tidak adil dan obyektif sebagaimana yang dipaparkan dalam kumpulan tulisan ini menggambarkan bagaimana hukum telah menjadi alat kekuasaan serta bahayanya pembiaran hukum yang cenderung dijadikan alat atau kepanjangan tangan kepentingan politik pragmatik tersebut. Kepemimpinan bangsa telah mengarah kepada pola otoritarian yang mendapat dukungan penuh dari para kapitalis hitam,”tulis pakar hukum  senior ini.

Kalau melihat kondisi saat ini memang perlu pemikir cerdas dan santun seperti Rizal. Jika mengikuti perjalanan waktu setiap harinya tulisan Rizal ini selalu viral di setiap Whatsapp Group (WAG) terutaman group aktivis hukum, dan politik juga sejumlah group lain.

Kini tahanan berborgol dipamerkan, artinya jadi tontonan dan pelajaran. Bisa dimaksudkan untuk menistakan atau membuat efek jera bagi yang lain. Kasus politik lebih kental nuansa memenangkan kekuasaan melalui aparat hukum dengan mengalahkan pesakitan yang melawan kekuasaan.

Borgol adalah simbol membuat tidak berdaya. Kasus tiga tokoh KAMI Syahganda Nainggolan, Anton Permana, dan Jumhur Hidayat yang ditampilkan bersama tokoh KAMI lain yang berbaju oranye dan berborgol dipastikan sebagai kasus politik bukan pidana murni. walaupun itu dikaitkan dengan tuduhan pelanggaran UU ITE yang bersanksi pidana. Baru-baru ini seorang prajurit TNI yang menyanyikan lagu pujian kepada Habib Rizieq Shihab ditampilkan melalui 68 media di depan publik dalam keadaan berborgol pula. Banyak yang mengkritik kondisi ini dengan penilaian bahwa hal itu berlebihan dan tidak patut. Simpati pada prajurit tersebut pun mengalir.

Memborgol para aktivis dan prajurit TNI diatas sebenarnya menjadi kultur politik yang buruk, bahkan dapat dikualifikasikan sebagai melanggar asas “praduga tak bersalah” (presumption of innocent). Bagaimana tidak, seseorang yang belum diproses hukum tuntas, sudah leluasa dipamerkan sebagai terhukum. Ini persoalan serius bangsa dan rezim. Borgol demokrasi namanya. Membungkam oposisi dengan pamer pemborgolan adalah budaya politik tak beradab, primitif, dan melanggar HAM. Suara yang berbeda dengan penguasa adalah bagian dari demokrasi. Tak bisa disikapi semena-mena meski dengan menggunakan perangkat hukum. Sebaiknya segera bebaskan aktivis KAMI atau para mahasiswa, buruh, dan para penyuara aspirasi rakyat lainnya. Bebaskan prajurit TNI yang berekspresi. Mereka tak layak diperlakukan sebagai layaknya penjahat. Ekspresi politik adalah warna dari demokrasi yang patut dimaklum dan dihormati.

Lepaskan borgol demokrasi.

Rezim pemborgol demokrasi akan selalu disulitkan oleh perlawanan kekuatan demokrasi. Ini sudah menjadi konsekuensi bahkan tradisi dari generasi ke generasi. Ketika memamerkan oposisi yang diborgol, sadarkah jika kekuasaan itu dapat berputar dimana penguasa menjadi pihak yang terborgol? (hal 67).

Politik adlaah kerja besar untuk rakyat. Dan Rakyat selalu dipolitisasti. Ada banyak yang dapat mempengaruhi kinerja politik. Ucapan, moral sikap dan kepentingan jadi lingkaran besar hakekat politik. Kinerja politik adalah keiklasan harsunya. Namun terkadang selalu ada para pengecut.

Buku Rizal membuka tabir banyak soal politik kekinian. Dalam pengantarnya  buku Rizal Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo membuat judul yang bagus: Menegakkan “Benang Basah” Demokrasi Indonesia. Gatot menyitir pengertian demokrasi yang dipahami berasal dari bahasa Yunani, dēmokratía maknanya adalah kekuatan atau kekuasaan rakyat. Secara leksikal sejak semula praktik pada abad ke-5 SM dalam sistem politik negarakota Yunani, di Athena, kata dēmokratía merupakan lawan kata dari kata aristocratie yang bermakna kekuasaan elit. Pemahaman dasar ini sangat penting diketahui, sebagaimana pemikiran pejuang demokrasi yang kemudian menjadi Presiden pertama Amerika Serikat Abraham Lincoln sebagai role model di seluruh dunia, karena untuk pertama kalinya meyakini dan menjalankan praktik negara demokrasi modern dengan sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

“Bagi Bangsa Indonesia demokrasi sebagai pilihan bentuk sistem pemerintahan Negara Indonesia yang telah diputuskan oleh para pendiri bangsa, harus dapat dijalankan dan ditegakkan dengan sebaik-baiknya. Komitmen untuk menjalankan demokrasi dalam praktik berbangsa dan bernegara itu sangatlah penting, sebagai pilihan bangsa Indonesia untuk mencapai cita-cita luhur mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945,”tulis Gatot.

Gatot juga mengatakan bahwa buku  “Lepaskan Borgol Demokrasi” ini cukup menarik dan layak untuk dibaca, serta jika perlu dikritisi lebih mendalam. Saya sering mengikuti dan mencermati tulisannya yang tidak hanya tajam mengkritisi peristiwa aktual dan selalu menyebar menghiasi serta diperbincangkan bahkan banyak diperdebatkan hampir setiap saat di seluruh group WA, tetapi juga sebagai puzzel pergerakan sejarah bangsa yang patut menjadi renungan kita bersama. (hal xii).

Buku ini bagis saya sebuah catatan moral politik yang sangat penting. Ada penguatan dimensi moral politik yang dibangun bahwa negara ini harus dalam tatanan yang bernegara yang baik. Politik  besar negara harus punya moral yang kuat. Di dalam buku Rizal selalu mempertanyakan mau kemana arah negara ini akan dibawa?

Miaslnya Rizal membedah kasus PERPRES  BERBAHAYA, MAU DIBAWA KEMANA NEGARA? Dimana Presiden telah menandatangani dan memberlakukan Perpres No. 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.

Dasar pertimbangannya sesuai konsiderans Perpres adalah “seiring dengan semakin meningkatnya ancaman ekstrimisme yang berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di Indonesia”. Menjadi pertanyaan mendasar adalah sejauh mana terjadinya peningkatan ancaman ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah ada terorisme itu? Terlebih jika dihubungkan dengan “mengancam rasa aman dan stabilitas nasional”.

Konsentrasi pemerintahan pun terfokus lebih pada “kegaduhan” radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme yang pada hakekatnya tak lain untuk menutupi maraknya korupsi, krisis ekonomi, serta kegagalan dalam menangani pandemi. Menciptakan kecurigaan apalagi ketakutan di masyarakat adalah khas pemerintahan otoriter atau komunis.

Hembusan fitnah dan adu domba menjadi habitat. Tentu kita tidak ingin kekuasaan di bawa ke arah sana. Pilihan kita adalah demokrasi berkeadaban, sarat nilai, santun dan menumbuhkan sikap saling percaya. Perpres 7 tahun 2021 yang ditindaklanjuti dengan desk aduan khusus yang dibuka di Kepolisian dan Kejaksaan, ditambah Calon Kapolri yang bertekad untuk menghidupkan kembali Pamswakarsa, lalu pandemi Covid 19 yang dijadikan alasan untuk kebijakan represif, maka wajar menimbulkan pertanyaan hendak dibawa kemana negara ini?

Semakin gencar membombardir masyarakat dengan isu radikalisme, intoleransi, ekstrimisme hingga terorisme, maka secara tidak sadar negara sendiri yang sedang memberi predikat dirinya sebagai negara radikal, negara ekstrim, dan negara teroris. Sejarah hitam mulai digoreskan kembali di negeri Republik Indonesia yang merdeka dan berkedaulatan rakyat ini. Demokrasi terpimpin telah dimulai (hal 249-251).

Bagi saya buku Rizal adalah sebuah data komprehensif yang menarik dalam dunia politik Indonesia. Rizal telah membuka arti negara, kebangsaan, pemimpin, kebijakan dan sejumlah catatan yang selalu ia bedah dengan cara yang bijak.

Rizal dengan buku ini memberi kita kecerdasan yang jelas. Bukan saja  sederhana tapi tafsirnya mudah dicerna. Inilah buku yang bisa  menjawab tantangan kondisi politik saat ini yang memberikan oase pandangan luas hakikat politk yang sebenarnya sehingga menjadikan kita lebih paham moralitas berbangsa yang sebenarnya.

Saya katakan buku ini adalah sebuah narasi intelektual perlawanan. Dan saya juga sarankan untuk segera memiliki buku ini agar dijadikan referensi utama untuk melihat peta politik tanah air yang sebenarnya saat ini.***

  • aendra medita, perensensi buku