By Alex Wibisono
Jl. Soedirman menjadi jantungnya kota metropolis Jakarta. Masuk Soedirman serasa berada di negara maju. Bandingkan kawasan Soedirman dengan New York, Chicago dan sejumlah kota di Amerika. Kalian yang pernah ke Amerika pasti bilang Tidak kalah.
Selama ini, Jl. Soedirman menjadi destinasi indah di jantung perkotaan. Jembatan penyeberangan yang disediakan semacam “mini PIK” untuk tempat selfie, trotoar yang luas dan bersih, transportasi mengggunakan MRT dan bus way yang terintegrasi. Bahkan di kawasan Soedirman juga telah dibangun “catwalk” buat anak-anak milenial mengekspresikan bakatnya.
Sayangnya, “catwalk” yang beberapa pekan ini menjadi sorotan masyarakat, tidak saja warga Jakarta, tapi juga warga yang tinggal di sekitar Jakarta seperti Bekasi, Bogor, Depok dan Tangerang, mulai dirusak oleh segelintir kelompok orang yang mengaku pelaku LGBT. Kehadiran mereka divideokan dalam wawancara yang begitu rapi dan ekseklusif, lalu diviralkan secara masif via medsos.
Melihat cara mereka menvideokan hasil wawancara kelompok yang mengaku pelaku LGBT ini membuat publik curiga: adakah ini by design? Apakah ada sutradara dibalik wawancara itu? Adakah aktor intelektual yang menggerakkan para kelompok LGBT ini?
Pelaku LGBT juga manusia, punya hak yang sama untuk menikmati kota Jakarta. Tapi, jika dilihat dari cara mereka diekspos secara ekseklusif, masyarakat banyak yang menduga bahwa ini semua by design.
Pewawancara pakai masker dan topi dengan semua perangkat wawancara seperti mix, dll. Seperti ingin menyembunyikan identitasnya. Yang diwawancara adalah para pelaku LGBT dengan jawaban-jawaban lugas terkait dengan hal-hal sensitif, termasuk urusan ranjang. Pertanyaan seperti sengaja diarahkan ke soal yang jorok itu. Masyarakat masih menunggu, pewawancara ini siapa? Apakah ia youtuber, awak media, atau hanya khusus wawancara soal ini. Jika hanya wawancara soal ini, dugaan masyarakat bahwa ini semua by design atau setingan makin kuat.
Jika aksi kelompok pelaku LGBT yang hasil wawancaranya viral itu ternyata ada aktor yang mensettingnya, maka ini adalah bentuk vulgar adanya pembajakan terhadap SCBD. Tujuannya: merusak nama Jakarta. Imbasnya, Anies selaku gubernur Jakarta menjadi sasaran.
Kesan yang ingin disampaikan ke masyarakat Indonesia adalah bahwa Anies menyediakan tempat untuk para pelaku LGBT. Anies melegalkan LBGT. Legal “ndasmu”.
Opini yang dibangun adalah bahwa Jakarta rusak moralnya gara-gara Anies. Lalu muncul tuntutan “catwalk” SCBD ditutup dengan meninggalkan kesan bahwa Anies yang bersalah. Anies yang harus bertanggung jawab. Aksi ini diharapkan sekaligus untuk menutup dukungan kaum milenial Jabodetabek terhadap Anies. Nah, mudah dibaca arahnya kan?
Intinya Anies kagak boleh sukses. Anies kagak boleh dapat dukungan. Anies kagak boleh dapat nama baik. Anies harus dihalangi untuk jadi presiden Indonesia 2024. Makanya harus dirusak namanya dan harus dibunuh karakternya.
Sayangnya, masyarakat Indonesia semakin lama semakin waras. Semakin sadar bahwa itu semua adalah upaya sistemik yang dilakukan oleh “orang-orang jahat” yang menggunakan segala cara untuk menghalangi Anies nyapres. Itu aja sih tujuannya. Kagak ada tujuan lain.
Depok, 26/7/2022