Bawapres Kostum Hijau
Oleh Imam Wahyudi (iW) *)
Anies Baswedan dipasangkan dengan Muhaimin Iskandar. Mengejutkan di satu sisi. Tidak mengejutkan di sisi lain. Mengejutkan, lantaran sang Ketum PKB itu tak pernah bersentuhan sepanjang pertaruhan koalisi.
Muhaimin yang notabene bagian dari pemerintahan Jokowi, “berbeda” dengan Anies. Muhaimin sudah lebih dulu bersama Gerindra. Anies terbilang antitesa lewat slogan “perubahan dan perbaikan”.
Anies diusung Nasdem yang selanjutnya merangkul PKS dan Demokrat dalam satu koalisi. Mengejutkan pula bagi Demokrat yang pengen ketumnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) jadi bawapres Anies.
Sebelum deklarasi Anies – Cak Imin belumlah final. Bersamaan itu, Demokrat mengancam out dari koalisi perubahan. Tidak mengejutkan, karena Anies dari sisi partai pengusung — tidak pula “steril” dari aspek “keberlanjutan” oligarki.
Surya Paloh, si ketum Nasdem dinilai menjadi bagian dari oligarki itu sendiri. Hal yang tidak mengejutkan lainnya lebih pada posisi slowdown. Diutak-atik sedemikian rupa, peran elektoral kalangan hijau sangat diperlukan. Bacapres butuh dukungan bawapres dari kelompok hijau. Saya pernah menulis itu.
Saat PPP langsung merapat ke Ganjar Pranowo yang diusung PDIP. Bersamaan Sandiaga Uno eksodus dari Gerindra ke partai hijau itu. Toh, akrobat politik PPP yang serta-merta meninggalkan KIB — tak kunjung membuahkan hasil.
Sandiaga yang digadang-gadang tak semulus harapan. Konon, dinilai tak cukup penguatan elektoral paslon. Atraksi politik itu kian tak menarik ditonton. Spekulasi Ganjar – Sandiaga pun bagai “numpang lewat”. Tak ada tanda-tanda ke arah diterima pinangan. Cenderung diambangkan, setara buying time.
Hal terakhir membuat antarkeduanya berbalas pantun. Bernada nada fals. Seiring itu pula, perbincangan siapa bawapres tak segera terjawab. Mirip “jalan di tempat”. Berputar-putar dalam “lingkaran setan”. Bahkan saat berakhirnya putaran koalisi. Golkar dan PAN gabung dukung Prabowo (Gerindra) yang sudah duet dengan PKB. Bila PKB resmi bersama Anies, berarti menambah kekuatan trio Nasdem, PKS dan Demokrat. Menjadi empat parpol. Tapi Demokrat memberi sinyal bakal keluar.
Sementara Prabowo yang semula empat parpol, menyisakan tiga: Gerindra, Golkar dan PAN. Masih tampil tiga poros koalisi dengan skenario tiga kandidat bacapres.
Termasuk Ganjar Pranowo lewat duet PDIP dan PPP. Pergeseran Cak Imin dari kubu Prabowo ke Anies, dimungkinkan eskalasi berlanjut. Bila PDIP bertahan dengan keberadaan sekarang, masih akan hadir tiga poros tadi. Di tingkat Prabowo, muncul spekulasi Airlangga Hartarto sebagai bawapres. Itu kalkulasi atas jumlah kursi parlemen.
Hal berbeda, bila PAN ngotot mendorong Erick Thohir. Mungkin pula deadlock, bila pertimbangan utama — harus dari kalangan hijau. Andai terjadi, maka kekuatan hijau dimungkinkan terbagi. Giliran Ganjar Pranowo mungkin berlanjut gandeng Sandiaga. Koalisi PDIP – PPP plus dua parpol nonparlemen. Nominasi berikutnya, ya Erick Thohir. Mungkin juga figur “kuda hitam”, yang tak pernah dimunculkan.
Hal terakhir, mungkinkah Demokrat merapat atau memaksakan poros baru? Atau gabung ke bacapres Prabowo? Dinamis dan dramatik. Seputar nama disebut di atas mengesankan minim figur yang bisa dilesatkan memimpin Indonesia.
Sejatinya masih berjajar figur mumpuni di negeri berpenduduk 278 juta jiwa ini. Masih ada sekaliber Rizal Ramli, Mahfud MD dan sederet prestasi dari perguruan tinggi. Hak demokrasinya dikangkangi oleh berbagai aturan yang tak bersandar pada kedaulatan rakyat sejati. Daulat rakyat tersandera lewat ambang batas (parliament threshold) empat prosen.
Berlanjut presidential threshold 20 prosen. Tak ada kebebasan rakyat untuk memilih pemimpin yang diharapkannya. Cuma memilih yang sudah tertera, yang sudah disiapkan. Selebihnya, harapan sebatas angan-angan. Tak ada yang bisa diharapkan.
Alih-alih perubahan dan perbaikan. Banyak pihak berpendapat, tak ada yang bisa diharapkan dari hasil Pemilu 2024. Tak akan hadir perubahan, tak kecuali perbaikan.
Berputar dalam kubangan kerbau. Menjebak aliran air masa depan. Unjuk rasa kekuatan massa sebatas penentangan daulat rakyat. Selintas saja jadi berita. Sistem yang kadung mengekang. Daripadanya, koreksi atas sistem — satu keharusan. Perbarui sistem, ganti sistem. Mungkinkah..?!***
*) jurnalis senior di bandung