Sudah menjadi keyakinan sejarah bangsa Indonesia, bahwa Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun. Tetapi percakapan saya dengan Bapak Hendarmin Ranadireksa, setelah beliau mengungkapkan berbagai bukti sejarah lainnya, berubahlah pikiran saya. Kesimpulannya, Belanda menjajah kita bukan selama 350 tahun, akan tetapi selama 34 tahun saja. Oleh karena itu, Belanda tidak memenuhi kualifikasi sebagai negara protektorat, karena syarat untuk menjadi protektorat harus telah menjajah minimal selama 100 tahun.

Jadi ketika terjadi perdebatan antara delegasi Belanda dengan tokoh-tokoh perjuangan Indonesia, mengenai hal tersebut diatas, team Belanda kalah argumentasi oleh team Indonesia. Team Indonesia mengatakan, bahwa  yang disebut  penjajahan itu, manakala   seluruh wilayah nusantara telah diduduki, padahal propinsi Aceh, baru diduduki mulai tahun 1911.  Jadi sejak Aceh diduduki/ditaklukan itulah mulai dihitung Belanda menjajah Indonesia.  Delegasi Belanda, karena tidak bisa beradu argumentasi, akhirnya mengakui delegasi Indonesia itu, dan itulah yang tercatat dalam dokumen PBB. Sehingga Belanda gagal menjadi negara Protektorat.

Hal lain, adalah soal kata “Penjajahan”, adalah terminologi yang di gunakan kepada Bangsa Belanda saat menduduki wilayah Nusantara ini. Kata “Penjajahan” berkonotasi seperti terjadi penindasan, penyiksaan, ketidak adilan, dan lain lain yang serumpun dengan itu. Gampang sekali untuk mengiyakan hal tersebut, karena memang pikiran kita sudah terlalu lama dicekoki dengan gambaran-gambaran akan kebencian kepada bangsa Belanda itu. Sementara fakta yang ada didepan mata kita adalah, bahwa KUHP baik pidana maupun perdata, yang saat ini sedang digunakan mengatur Bangsa ini adalah produk UU yang tetap masih dilaksanakan untuk melindungi warga negara  dari ketidak adilan. Sejak jama Belanda pula, kita menmgenal jaksa dan Hakim, yang orang-orangnya benar-benar memiliki kompetensi dalam bidang hukum, baik mereka orang pribumi maupun orang Belanda.

Belanda juga membangun infra struktur, seperti jalan-jalan yang masih kita nikmati hingga saat ini, rel Kereta Api di Jawa dan Sumatera yang masih tetap menjadi urat nadi transportasi massive di Indonesia. Rasanya semakin menjadi janggal sekali, kalau yang disebut “sipenjajah Belanda” juga mendirikan  ITB, UI, IPB, Stovia dan Perguruan Tinggi top lainya, yang produknya antara lain melahirkan sosok intelektual muda, seperti Ir. Sukarno dkk. Bahkan patut di catat Indonesia lebih dahulu memiliki seorang “Phd” dari pada Australia. Tidak dapat di bayangkan bagaimana bangsa Indonesia bisa membentuk pemerintahan ini, tanpa mereka yang pernah duduk di sekolah-sekolah tersebut.

Bukan mendirikan sekolah saja, tetapi perkebunan dan ilmu-ilmunya yang hingga kini telah turun menurun kepada para petani kita. Pemetaan wilayah sangat akurat, sehingga dimana menanam apa yang tepat, telah menjadikan produk pertanian bangsa ini unggul diwaktu yang lampau. Teh dan kopi kita umpamnya adalah produk yang paling top in di dunia pun rempah-rempah lainnya. Menulis yang indah, hormat kepada guru, disiplin dan budi pekerti lainnya, adalah warisan Belanda yang kini hampir punah. Roti dan Keju adalah selera bangsa ini juga warisan Belanda.