Oleh Ferdinand Hutahean

Negara seharusnya berdiri diatas segala kelompok dan golongan baik secara politik, hukum dan ekonomi secara adil dan tidak memihak.

Tidak seharusnya negara yang diwakili pemerintah bekerja hanya untuk kelompok tertentu dan sangatlah tidak diperbolehkan baik secara aturan maupun secara etika untuk menyingkirkan kelompok lain yang berseberangan pandangan politik dengan cara-cara ketidak adilan dengan menggunakan atau memperalat infrastruktur negara seperti lembaga-lembaga negara yang seharusnya hanya bekerja untuk negara, mengabdi kepada negara dan hanya melakukan kepentingan negara.

Negara yang diwakili oleh pemerintah sudah sepatutnya menjadi kekuatan yang harus menegakkan hukum untuk keadilan dan bertanggung jawab kepada kepadaTuhan Yang Maha Esa, bukan justru mensiasati hukum demi kepentingan kelompok tertentu.

Negara juga seharusnya tidak boleh berpihak secara politik dalam kontestasi pemilihan kepala daerah, karena negara yang diwakili oleh pemerintah adalah pemerintah untuk semua golongan, pemerintah bagi seluruh rakyat, pemerintah bagi pendukung rejim maupun kaum oposisi.

Pemerintah tidak boleh bekerja hanya untuk sekelompok saja, pemerintah tidak boleh bekerja hanya untuk pendukungnya, tapi pemerintah harus adil berdiri sama rata dengan semua kelompok, baik itu kelompok pendukung maupun kelompok opsisi, karena itulah ciri-ciri pemerintahan yang dipimpin oleh pemimpin yang bijaksana dan pemimpin rakyat.

Sejenak mari kita bandingkan narasi diatas dengan situasi negara yang kita cintai ini.

Saya sebetulnya ragu menggunakan kata “kita” karena saya tidak tahu apakah kita semua terutama para pejabat pemerintah dan pemimpin bangsa ini juga mencintai negara ini dengan segenap jiwa raga. Tapi saya harus berpikir positif, bahwa kita semua memang mencintai negara ini secara total, meski keraguan itu tetap muncul dihati.

Melihat situai saat ini, pemerintah tampak sekali sedang melakukan ketidak adilan politik dan ketidak adilan hukum dalam menyelnggerakan pemerintahannya.

Kaum kritis yang menyikapi kondisi bangsa dengan meminta DPR MPR melakukan Sidang Istimewa untuk kembali ke UUD 45 ASLI harus menghadapi tuduhan makar yang entah logika apa yang digunakan rejim ini sebagai pembenaran atas tindakannya. Kaum penolak Cinaisasi dan kaum penolak Ahok di Jakarta diintai dan diancam hukuman penghasutan dan ujaran kebencian sepertiSri Bintang Pamungkas, Jamron dan Rijal Kobar, sementara pihak-pihak yang melakukan ujaran kebencian dan bully terhadap lawan politik rejim ini dibiarkan bebas melakukannya tanpa terlihat akan diancam dan ditindak secara hukum.

Situs-situs yang memberitakan hal negatif tentang rejim ini diblokir dengan alasan menyebar konten ilegal atau hoax.

Sejak kapan pemerintah ini mendapat amanat dari rakyat atau konstitusi untuk mendominasi dan memonopoli kebenaran dan harus menghakimi informasi yang lain sebagai hoax?

Memasuki agenda politik Pilkada DKI, keberpihakan penguasa terhadap salah satu pasangan calon yang sedang berlaga sangat tercium aromanya. Dan saya inign bertanya dalam tulisan ini kepada presiden Jokowi, Benarkah bapak Presiden berpihak kepada Ahok? Jika benar demikian, sesungguhnya itu hak politik bapak Presdien secara pribadi, tapi secara lembaga, yang mulia presiden harus berlaku adil, dan janganlah tenggelamkan negara ini kepada pemaksaan kehendak penguasa yang totaliter.

Atas dasar keberpihakan itu, penguasa patut diduga menggunakan instrumen lembaga negara untuk melakukan hal-hal yang menguntungkan dan menunjukkan keberpihakan kepada pasangan calon terntentu.

Ini berbahaya, rejim sedang menyiapkan jalan menuju rejim tirani, rejim penindas, rejim yang tidak membiarkan politik dan demokrasi tumbuh tanpa intimidasi, rejim yang tidak memberikan tempat aman dan rasa aman kepada pihak-pihak yang berseberangan politik dan menjadi lawan politik penguasa.

Saya ingin mengajak kita semua mencermati penegakan hukum yang terjadi kepada beberapa pasangan calon yang sedang berlaga di Pilkada DKI. Pertama kasus hukum kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Calon Gubernur Nomor urut 2 sekaligus calon petahana.

Kasus dugaan Korupsi pembelian sebagaian lahan RS Sumber Waras begitu sulitnya masuk ke ranah penyidikan dan tidak pernah menghasilkan seorang tersangka meski lembaga resmi negara yang berdiri atas amanat Konstitusi yaitu Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK menyatakan ada kerugian negara senilai ratusan milliar rupiah dalam transaksi tersebut. Kasusnya bolak-balik diputar-putar di KPK, dan saat ini kasus tersebut seperti dibiarkan mati perlahan demi melindungi para calon terduga pelaku korupsinya.

Yang kedua, kasus penodaan agama yang dilakukan Ahok harus menunggu jutaan manusia turun kejalan baru kemudian ditindak lanjuti, dan itupun ada perbedaan penegakan hukum antara kasus Ahok dengan kasus-kasus yang sama sebelumnya.

Adilkah ini? Silahkan pemerintah menjawabnya dan kita semua berhak menjawab.

Coba bandingkan dengan dugaan perkara yang saat ini sedang ditelusuri dengan rajin-rajinnya oleh penyidik Polri, yaitu perkara lawas pembangunan mesjid di Kantor Walikota Jakarta Pusat dan dugaan Bantuan Sosial ke kwartir Pramuka yang mana keduanya dipimpin oleh Silvyana Murni pasangan calon Wakil Gubernur DKI Nomor urut 1.

Pertanyaannya, mengapa penyidik Polri terlihat sangat rajin menelusuri perkara tersebut? Bukankah hitungan BPK yang menyatakan ada kelebihan bayar pada pembangunan mesjid senilai lebih dari seratus juta rupiah sudah dikembalikan kepada negara? Kelebihan bayar itu tidak dapat serta merta diduga korupsi, namun lebih kepada kelalaian atau kesalahan administrasi saja. Saya jadi bertanya-tanya, adakah penguasa sedang memerintahkan Polri untuk mengusut ini demi keuntungan pasangan calon lain ?

Sesungguhnya saya ingin menjawab, namun kuatir opini saya kemudian akan diadili dan dituduh fitnah. Biarlah masing-masing menjawab dan menilainya dengan menggunakan logika waras, bukan menggunakan logika penguasa.

Kekuatiran saya terhadap rejim ini semakin besar, bahwa rejim ini akan menjadi rejim tirani sudah berada didepan mata. Semoga para orang baik dinegara ini tidak diam demi bangsa dan negara yang teramat kita cintai ini.

Jakarta, 19 Januari 2017