OLEH Tras Rustamaji *)
Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta putaran kedua akan dilaksanakan tidak lama lagi. Semua mata tertuju pada perhelatan ini, bukan hanya mata warga lokal Jakarta saja, tetapi juga para pengamat dan penggembira di luar Jakarta. Ya, event di Jakarta memang selalu menarik untuk diikuti melebihi daerah di mana pun di Indonesia, karena posisi provinsi ini yang strategis sebagai ibukota negara sekaligus pusat pemerintahan.
Pada pasca Pilpres 2014 berseliweran sangkaan dan tuduhan terhadap masing-masing lembaga survey yang dianggap salah dalam melakukan quick count. Awalnya sangkaan datang dari pelaku survey sendiri kepada lembaga survey lain, seolah-olah surveynyalah yang paling benar. Termasuk dari masing-masing kubu capres cawapres yang sebenarnya tidak paham juga dengan praktek survey seperti kita. Namun hari-hari belakangan ini semakin berbeda, sangkaan kemungkinan salah atau curang justru semakin banyak datang dari para ilmuan atau akademisi yang keilmuannya terkait survey. Ada beberapa yang cukup mengejutkan, salah satunya datang dari seorang ilmuan ‘matematika’ dan IT bernama Tras Rustamaji (sumber jurnas.com). Yang bersangkutan menyatakan LSI dan SMRC ternyata memanipulasi data quick count Pilpres 2014, beginilah keanehan yang didapatkannya :
- Pukul 11.30 s/d 13.05 WIB data masuk ‘13,78%’ perhitungan kelihatan wajar. Prabowo Hatta = 52,94% Jokowi-JK = 47,06% kurva sudah mulai stabil.
- Pukul 13.19 timbul GRAFIK REPRESH atau AJAX CALL yang mengupdate data dan grafik, hasilnya berbalik 180 derajat dengan kata lain muncul angka yang DISULAP. Prabowo-Hatta = 47,3% (turun drastis ‘5,64%’), Jokowi-JK = 52,7% (naik pesat ‘5,64%’) padahal data masuk hanya bertambah 3,87 !.
Selanjutnya kurva stabil sampai akhir posisi Jokowi-JK teratas. Tras Rustamaji mengatakan secara MATEMATIS MUNGKIN saja terjadi tapi secara PRAKTEK TIDAK MUNGKIN . Karena apa? karena untuk menghasilkan perubahan drastis, maka dari 156 data TPS yg masuk dalam waktu kritis “14 MENIT” tersebut mengharuskan rata-rata perTPS minimal 73% suara untuk Jokowi-JK. Hal ini TIDAK MUNGKIN TERJADI kalau pemasukan data dilakukan RANDOM.
Hal ini jelas-jelas menyalahi kaedah ilmu statistik sebagai cabang ilmu Matematika, sehingga Tras Rustamaji menduga ada MANIPULASI hasil QUICK COUNT Pilpres 2014 yang dilakukan oleh LSI dan SMRC. Tras bersama rekannya mempunyai bukti-bukti kuat yakni :
1. Hasil rekaman data real time;
- Kurva suara ditampilkan pada http://komunigrafik.com/pilpres2014/stabilitas.php;
- Rekaman tweet dari @saifulmujani yang menyebutkan “Hasil Quick Count SMRC”;
- Rekaman media TV yang menampilkan perolehan quick count berbagai lembaga survey ic. LSI dan SMRC.
- Beberapa bukti-bukti lain dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Drama penyulapan ini adalah pada penayangan di TV pukul 13.05 WIB telah terjadi strategi pengalihan untuk menyulap data quick count pada waktu kritis “14 MENIT” yaitu :
- Pukul 13.05 WIB – PENAYANGAN HASIL QUICK COUNT diganti PENAYANGAN IKLAN DAN NYANYIAN ARTIS.
- Pukul 13.19 WIB yang tampil kembali hasil QUICK COUNT MANIPULASI oleh LSI dan SMRC.
- Saat bersamaan hasil quick count LEMBAGA SURVEY LAIN mengalami perubahan SAMA dengan data quick count SULAPAN oleh LSI dan SMRC tadi. Luar biasa
PERHELATAN demokrasi lima tahunan yang diberi judul pilkada serentak menyisakan sejumlah catatan terkait penyelenggaraan pemilu. Terdapat tiga dimensi permasalahan dalam Pilkada 2017 yaitu relevansi pilkada dalam konteks pemilu nasional, permasalahan penyelenggaraan pilkada, dan perhatian publik pada isu-isu dalam pilkada.
Pilkada serentak 2017 ini mempunyai arti penting dalam politik nasional karena pilkada ini dilaksanakan bertepatan dengan pertengahan masa jabatan Presiden Jokowi, sehingga dapat dijadikan tolok ukur pasang surut dukungan publik terhadap presiden dan partai-partai pendukung. Bagi partai politik, hasil pilkada serentak 2017 ini bisa menjadi indikator penting arah dukungan pada pemilu serentak 2019 dan untuk mengukur kekuatan dukungan pada mereka dan tokoh-tokoh yang mereka usung di suatu daerah. Hasil ini juga penting untuk mengukur kinerja politik kader kader partai politik dan mesin-mesin politik di daerah itu apakah sudah siap atau belum menyongsong pemilu serentak 2019.
Kedua dari sisi penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu, meskipun memiliki karakteristik yang berbeda, pilkada serentak memberi pengalaman penting bagi penyelenggara pemilu untuk mendeteksi dan mengatasi masalah masalah yang mungkin timbul dalam mengelola pemilu serentak.
Permasalahan yang timbul dalam penyelenggaraan pemilukada serentak 2017 ini antara lain adalah pengelolaan DPT, terutama terkait pemilih yang belum terdaftar akan tetapi memiliki KTP elektronik dan penggunaan hak pilih bagi pemilih yang tidak terdaftar tapi memiliki KTP ini. Juga pengelolaan pencalonan yang terkait dengan dukungan yang sah maupun dukungan ganda, pengelolaan perpecahan partai politik yang terkait erat dengan sah tidaknya dukungan, termasuk disini persoalan tidak terpenuhi syarat bagi pasangan calon kepala daerah karena satu dan lain hal; pengelolaan logistik pemilu, terkait adanya kendala distribusi logistik terutama diwilayah kepulauan dan serentetan permasalahan lain termasuk di dalamnya issu-issu sensitif seperti SARA dan kampanye hitam.
Dan terakhir terkait dengan masalah pengelolaan data hasil pemungutan dan penghitungan suara, yang masih sering menjadi titik persoalan krusial kecurangan pemilu. Meskipun karakteristik pilkada serentak sedikit berbeda dengan pemilu serentak 2019 yang akan datang. Tapi persoalan-persoalan yang muncul dalam pilkada merupakan gambaran reflektif tentang kerumitan pemilu serentak 2019 meski dalam skala yang lebih sederhana.
Persoalan lain yang perlu mendapat perhatian adalah problem yang selama ini sudah menjadi hipotesis dalam pelaksanaan pemilu serentak, bahwa isu-isu nasional menjadi lebih dominan dan menenggelamkan issu politik yang lain. Pilkada 2017 ini terlalu didominasi pemberitaan dan analisis soal hiruk pikuk Pilkada DKI yang mengakibatkan isu-isu krusial lokalitas masing masing daerah tenggelam dalam ketidakjelasan dan tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari pemilih. Kedekatan isu-isu lokal dan figur tidak selalu membuat publik lebih memfokuskan perhatian pada masalah masalah aktual di masing-masing daerah.
Sebaliknya publik lebih tersita perhatiannya pada masalah yang sesungguhnya tidak berkaitan langsung dengan problem substantif yang dihadapi mereka. Isu aktual yang secara substantif dihadapi masyarakat tiba-tiba kehilangan makna di depan publiknya sendiri, karena informasi politik yang bersifat temporer dan hanya dicari sambil lalu tanpa ada upaya melakukan pendalaman. Debat publik yang diselenggarakan oleh KPU pun tidak mampu menarik perhatian publik secara substantif untuk memperdalam dan mencermati informasi yang berkembang sesuai kebutuhan lokalitas. Seolah semua masyarakat nasional dibius dan difokuskan pada Pilkada DKI sebagai konsekuensi logis figur yang bertarung di Pilkada DKI
Artikel ini akan membahas mengenai peran strategis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam mendukung sekaligus analisis pengelolaan data hasil pemungutan dan penghitungan suara pemilihan daerah DKI Jakarta, guna menciptakan : pilkada yang jujur dan adil yang merupakan prasyarat terciptanya pilkada damai dan menghasilkan pemimpin daerah terbaik bagi warganya.
Sebelum kita masuk ke putaran kedua, ada baiknya kita kilas balik sebentar ke putaran pertama pilgub DKI Jakatra sehingga kita bisa masuk ke pilkada putaran kedua dengan lebih baik. Lebih baik bagi penyelenggara pilkada, para paslon dan timnya maupun pada masyarakat pada umumnya sehingga kita bisa menghasilkan pemimpin daerah yang terbaik melalui mekanisme pemilihan 5 tahun sekali ini.
Sekilas putaran-1
Masih segar dalam ingatan kita ketika putaran pertama pilgub berlangsung bulan Februari lalu, masyarakat masih meributkan hasil-hasil yg dikeluarkan berbagai pihak, baik exit poll, quick count maupun real count. Mereka tidak sabar menunggu hasil perhitungan resmi KPU yang dilakukan secara manual dan berjenjang yang memang memakan waktu lebih lama. Alhasil warga yang tidak sabaran mengambil apa saja yang disajikan paling cepat, dan tentu saja yang paling cepat diperoleh hasilnya adalah exit poll, namun hasilnya jauh dari akurat.
Seperti kita ketahui exit poll adalah satu metode menghitung suara dengan menanyakan pemilih yg telah mencoblos di pintu keluar (oleh karena itu disebut exit poll). Dan ini artinya exit poll TIDAK harus menunggu sampai pemilihan di TPS itu selesai. dan hasilnya bisa segera didapat. Tentu saja responden tidak semuanya menjawab dengan benar apa yang menjadi pilihannya tadi, oleh karena itu hasil exit poll sangat tidak bisa dijadikan acuan.
Sedangkan Quick Count sebetulnya adalah perhitungan yang bisa diandalkan, asal saja metodologi dan pelaksanaannya benar. Quick Count menggunakan data real hasil perhitungan di TPS, namun hanya sample TPS saja yang diambil (dalam pikgub dki jakarta rata2 lembaga quick count mengambil 400 sample TPS). Tapi tentu saja pelaksana quick count harus menunggu sampai perhitungan di TPS yang dijadikan sample itu selesai.
Selain exit poll dan quick count, ada real count yang dilakukan oleh KPU yang menggunakan perangkat TI canggih. Namun inipun masih memakan waktu sampai 3 hari, karena selain memasukan angka perolehan di TPS-TPS, KPU juga harus melakukan scanning dan upload dokumen form C1 tsb. Berbeda dengan uick count, real count memasukan semua TPS di DKI (13.000 TPS).
Pada putaran-1 kemarin sempat terjadi “keributan” di media sosial mengenai Real Count KPU yang bisa dilihat di https://pilkada2017.kpu.go.id/hasil/t1/dki_jakarta. “Keributan” ini muncul karena website KPU tersebut sempat tidak bisa diakses selama beberapa waktu. Masalahnya, server tersebut tidak bisa diakses ketika hasil perhitungan sementara menunjukan paslon Anies-Sandi memimpin dan ketika web tersebut bisa diakses kembali posisi Anies-Sandi sudah berada dibawah perolehan suara Ahok-Djarot
Hal ini menyebabkan kecurigaan dari sebagian orang dan sempat muncul spekulasi bahwa situs real count KPU tersebut diretas oleh hacker dan diubah datanya. Benarkah hal tersebut terjadi ?
Dari hasil pengamatan sebetulnya situs real count KPU bukan diretas tetapi lebih tepat dikatakan diserang dengan serangan DDOS (Distributed Denial Of Service). Serangan DDOS ini tidak mengubah data, tujuannya hanya membuat sibuk server sehingga tidak bisa melayani penggunanya. Jadi tidak benar kalau ada yang bilang hacker meretas masuk dan mengubah datanya.
Sekalipun data diubah hacker, hasil pemilu yang sah adalah hasil manual. Lantas untuk apa hacker mengutak-ngatik data real count?
Untuk pemilu yang mencakup daerah yang sangat luas seperti pemilihan presiden di Indonesia, di mana TPS tersebar di daerah-daerah yang mungkin masih belum terjangkau infrastruktur dan teknologi, bisa saja data real count ini diubah dalam rangka mendukung justifikasi kecurangan yang mungkin dilakukan di tingkat bawah. Sementara itu karena sulitnya akses dan teknologi, belum tentu ada masyarakat yang bisa mengawasi jalannya kertas suara dari TPS sampai Kecamatan. Dan para saksi sangat rentan untuk “dibeli” sehingga pihak tertentu bisa dengan leluasa mengubah data-data di perhitungan manual agar sesuai dengan hasil real count. Tetapi untuk pilkada DKI Jakarta rasanya sangat sulit hal ini dilakukan. Pertama, karena banyaknya mata yang mengawasi suara dan kedua teknologi informasi yang cukup bagus membuat masyarakat bisa lebih aktif mengawasi.
Di DKI, dengan infrastruktur teknologi yang relatif baik, sekarang sangat memungkinkan untuk mendapatkan hasil pilkada dengan instant. Dengan aplikasi sederhana yang bisa diinstall di smartphone seseorang bisa langsung mengirimkan datanya ke suatu server. Sebetulnya tiap tim paslon juga memiliki aplikasi seperti ini, tetapi hasilnya lebih diperuntukan untuk internal.
Selain inisiatif dari paslon atau partai, sekarang ada juga kelompok masyarakat yang membuat perhitungan real count ini dengan basis relawan, misalnya Mata Rakyat dan One Man One Vote. Kalau masyarakat banyak yang ikut melaporkan melalui aplikasi ini dan mencakup seluruh TPS, maka saat itu pula hasilnya langsung bisa diperoleh.
Tentu saja perhitungan model ini bukan tanpa kekurangan. Yang jelas angka yang diperoleh akan sangat tergantung kepada kualitas dan kuantitas relawan yang mau secara sukarela memasukkan data. Makin banyak relawan yang memasukkan datanya maka makin akurat datanya, karena kita bisa menghilangkan “noise” yang mungkin muncul baik sengaja ataupun tidak sengaja.
Peran Quick Count dan TIK dalam pilgub DKI putaran kedua
Dengan melihat kelebihan dan kekurangan pada pilgub putaran-1 di atas, apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas pilkada? Apakah Quick Count masih dibutuhkan?
Kalau kita balik lagi ke sejarah kelahiran quick count, sebetulnya QC dilaksakan untuk mengawal perhitungan manual agar tidak terjadi kecurangan. Dengan metodologi dan pelaksanaan yang benar hasil akhirnya mestinya tidak jauh dari hasil quick count. Deviasi yang besar dari quick count mengindikasikan ada kecurangan.
Namun untuk DKI Jakarta, di mana tidak ada TPS yang tidak bisa dijangkau oleh relawan atau masyarakat yang mengawasi proses pilkada ini, rasanya sulit untuk melakukan kecurangan dalam bentuk mengubah data hasil dari TPS ketika masuk ke jenjang berikutnya (Kecamatan). Intinya, begitu hasil di TPS selesai dihitung dan dituangkan ke formulir C1, maka sangat sulit untuk siapapun melakukan kecurangan yang melibatkan perubahan data ini.
Namun demikian QC rasanya masih dibutuhkan, bukan untuk mengawal hasil perhitungan manual, tetapi lebih untuk memuaskan masyarakat dengan memberikan hasil pilgub lebih cepat.
Mungkin yang justru penting dan perlu dipikirkan adalah bagaimana mencegah kecurangan-kecurangan terjadi sebelum hasil dari TPS keluar. Perlu diidentifikasikan apa saja peluang-peluang kecurangan ini.
Mencegah Kecurangan
Perlu diidentifikasi kecurangan-kecurangan yang mungkin dilakukan. Ada 2 prinsip yang harus dipenuhi dalam suatu pemilihan yaitu prinsip LUBER dan One man one vote.
Dulu kita mengenal istilah LUBER untuk pemilu yang merupakan singkatan dari Langsung Umum Bebas dan Rahasia. Prinsip LUBER memastikan setiap orang bisa menentukan pemilihannya tanpa paksaan atau intimidasi. Aksi-aksi provokasi dapat menghalangi pilkada yang LUBER. Seperti kita lihat video yang beredar di medsos, kasus Iwan Bopeng menunjukan masih ada provokasi-provokasi yang membuat pemilih tidak nyaman dalam memilih. Bagaimana IT bisa membantu mengurangi pelanggaran seperti ini?
Rekaman video melalui smartphone seperti kemarin ternyata cukup membantu untuk mengidentifikasikan masalah ini. Dan media sosial mampu menyebarkan dengan cepat kejadian ini. Mudah2an kejadian serupa bisa hilang dan tidak terjai kembali pada putara kedua.
Sedangkan pelanggaran terhadap prinsip one-man-one-vote sangat mungkin dideteksi dan dihindari dengan menggunakan TIK.
Ada 2 aspek di sini, yaitu pertama: menghalang-halangi orang yang memiliki hak untuk mencoblos. kedua, mengijinkan orang yang tidak berhak melakukan pencoblosan (atau mencoblos 2 kali).
Untuk yang pertama, kita harus berikan apresiasi kepada KPU khususnya KPU Jakarta yang terus menerus melakukan perbaikan pada data pemilihnya sehingga data-data yang invalid sudah sangat berkurang dan warga yang belum terdaftar utk didaftarkan. Kalaupun belum terdaftar KPU memberikan peluang agar hak warga bisa dirpenuhi dengan berbagai cara.
Perangkat TIK bisa digunakan oleh masyarakat untuk menyampaikan apabila ada data-data pemilih yang invalid, misalnya orangnya sudah meninggal. Aplikasi seperti one-man-one-vote, misalnya bisa digunakan untuk menyampaikan ini.
Aspek kedua yang disebut di atas adalah bagaimana caranya menghindari seseorang yang tidak berhak memilih melakukan pemilihan atau satu orang yang berhak tetapi melakukan pencoblosan dua kali.
Penggunaan tinta sebetulnya adalah suatu upaya untuk menghindari orang mencoblos lebih dari sekali, namun dengan ditemukannya cara utk menghilangkan jejak melalui tinta ini, perlu dicari alternatif lainnya.
Sebetulnya dengan perangkat TIK hal ini sangat dimungkinkan, karena setiap pemilih memiliki ID yang unique, yaitu NIK ( Nomer Induk Kependudukan ). Kalau saja setiap pemilih yang melakukan pencoblosan dimasukkan NIK nya, maka ketika ada pemilih lain yang menggunakan NIK ini bisa langsung terdeteksi.
Untuk daerah yang memiliki infrastruktur TIK yang baik seperti Jakarta, rasanya tidak sulit untuk melakukan ini. Lengkapi KPPS dengan satu komputer atau handphone yang terhubung ke internet, kemudian setiap ada pemilih yang mencoblos, masukkan kode NIK nya. Dan ketika ada pemilih tambahan yang datang ke TPS tersebut (setelah jam 12 siang), panitia bisa dengan mudah mengecheck apakah NIK tersebut telah digunakan di tempat lain.
Bahkan sebetulnya dengan situs KPU kita bisa check apakah pemilih tambahan itu benar warga daerah tersebut atau dia sudah terdaftar sebagai pemilih di daerah lain.
Kalau ini dilakukan, maka kita akan bisa yakin bahwa prinsip one-man-one-vote bisa tercipta dalam pilkada ini… Smoga.
* Tras Rustamaji B.Eng (Hons.) MSc Ahli matematika dan IT di tahun 1989, pernah ikut olimpiade Matematika di Braunschweig-Jerman. Tras Rustamaji menyelesaikan study S1 di UMIST, Manchester, UK, pada jurusan Electronics & Opto-electronics, Tahun 1994. Kemudian melanjutkan study S2-nya di Manchester Metropolitan University, UK pada tahun 1995-1996 dan program pertama yang di buat adalah “automated testing” saat magang di British Aerospace – Preston, UK. Tras sempat menjadi insinyur penerbangan di IPTN (Sekarang PTDI), mendisain avionics untuk pesawat N2130 sebelum akhirnya proyek ditutup
Catatan: Artikel ini juga bisa disimak di TABLOID JAKARTASATU EDISI APRIL