Oleh Zeng Wei Jian

Psikodrama pilkada Jakarta usai. Ahok tumbang. One question remains. Pertanyaanya seputar: My hidden agendas.

Mereka heran saya ikut barisan kontra-ahok. Ada yang curiga, sinis, welcome. Ahoker sebut saya: “penghianat”. Di sisi lain, saya dibilang mata-mata, spionase, antek-antek taipan, double-faced agent. Macem-macem predikat. Tapi, Hidup ngga seru kalo ngga ada pro-kontra. Alasan sebenarnya, I like politics.

Jarang-jarang ada antusiasme macam ini. Publik Jakarta serius memikirkan gubernurnya. Kesadaran politik sontak muncul sampe level grassroot. Bagi saya, ini epic.

Politisi macam Ahok merepresentasikan satu dari 7 dosa sosial Frederick Lewis Donaldson i.e. “Politics without principle.”

Namun demikian, Ahok fenomena menarik. Politisi rusak tapi disupport finansial power, partai besar, mass media, aparat keamanan.

Ahok hampir tidak mungkin kalah. Ada adagium, “berharap Ahok kalah sama dengan berharap matahari terbit dari barat”. Tapi Jakarta lagi seru-serunya. Sekali pun mesti dapet serangan dari kiri-kanan, atas-bawah, depan-belakang, saya harus berpihak.

Seperti kata Martin Luther King Jr, “There comes a time when one must take a position that is neither safe, nor politic, nor popular, but he must take it because conscience tells him it is right.”

Semua ekspresi buruk soal politik ada pada Ahok. Di tangannya, managemen politik menjadi multibillion-dollar industry. Kubunya mempekerjakan banyak pollster, buzzer, speechwriters, tukang iklan, marketer, spin-doctors, frammer, hoaxer dan preman. Mereka bekerja dalam sebuah ruang yang mirip “Lies Factory”. Politik benar-benar menjadi virtual reality.

The rise of social media bikin fenomena Ahok tambah menarik. Saling caci, fitnah, character assasination, cyberbullies, hoax merusak demokrasi. “Politik”, jadi seperti yang digambarkan George Orwell: “is a mass of lies, folly, hatred and schizophrenia”.

Pendapat Presiden Gerakan Kebangkitan Pribumi, Baher Nugroho, sangat benar: saya bukan faktor menumbangkan rezim Ahok.

Saya tidak aktif dalam gerakan lawan Ahok. Ngga berkeringet. Hanya pernah merilis “Seruan Jihad Cyber” sebagai taktik melawan tim cyber Ahok. Muslim Cyber Armies (MCA) adalah faktor yang memberangus buzzer Ahok. Saat Ahok jualan slogan “kerja, kerja, kerja”, saya mengimplentasi taktik “Attack, attack, attack”. Saya ingat omongan Whitaker, “You can’t wage a defensive campaign and win!”

Selain MCA, faktor utama yang menumbangkan Ahok adalah relawan dan kader Gerindra, PKS, Roemah Djoeang, Pilot Tempur, akun-killer Hazmi Srondol, Abdi Rakyat, Korte-Korwe, Bang Jappar, ACTA, semua mujahid, Ratna Sarumpaet dan Ahmad Dhani.

Dari kubu Ahok, tim bayaran sangat berperan dalam kekalahan Paslon Badja. Seperti kata Albert Einstein, “An empty stomach is not a good political advisor”. Itu sebab mengapa Ahok-Jarot berulang kali melakukan blunder. Dan itu fatal. Ngga seperti kata Napoleon Bonaparte yang bilang, “In politics, stupidity is not a handicap”. In Ahok case, stupidity is indeed a handicap.

Saya kira, apa pun itu, segalanya telah usai. Permusuhan dan prejudis sudah tidak relevan. Persaudaraan mesti dirajut kembali. Kedamaian harus dipulihkan. Saya tutup risalah ini dengan mengutip Aristotle: “It is not enough to win a war; it is more important to organize the peace”.

THE END