OLEH Hendrajit
Prabu Siliwangi dalam salah satu wasiatnya pernah menggunakan frase “Engke jaga amun teungah peuting, ti gunung Halimun ku arinyana kadenge sora nu Tutunggulan. Tah eta tanda anu teu sulaya: Gunung Sunda baris dicengkal deui!”
Nah mari kita dekode apa maksud dan pesan tersiratnya. Mun tengah peting artinya zaman kegelapan ibarat malam hari.
Gunung Halimun terdengar tetabuhan, bisa arti fisik seperti gugusan gede Pangrango. Tapi gunung bisa juga berarti Ilmu Pengetahuan.
Kalau gunung diartikan ilmu pengetahuan dan tengah peting berarti masa kegelapan, maka yang dimaksud adalah Ilmu Pengetahuan yang terselimuti kegelapan. Lantas apa maksud kadenge sora tutunggulan atau suara tetabuhan ?
Tutunggulan nggak mesti berarti tetabuhan. Lantas apa dong? Bisa juga diartikan sisa-sisa kejayaan kerajaan masa lampau.
Dengan begitu, pesan sentral Prabu Siliwangi adalah: Ilmu Pengetahuan yang masih terselimuti harus disatukan seperti zaman masih bersih. Karena Prabu Siliwangi juga menggambarkan “Wayah Saenyana Lebak Cawene jadi enggon pindah pangawinan. Jadi maksudnya sudah saatnya anak cucu kalian, artinya kita-kita sekarang dan yang nanti, disambut oleh yang akan kawin di Lebak Cawene.
Tapi tunggu dulu. Kata kawin jangan buru-buru diartikan sebagai hubungan biologis. Tapi artinya bersatu atau menyatu.
Lebak Cawene artinya daerah bawah yang masih perawan. Inilah makanya arti keseluruhannya adalah, ilmu pengetahuan yang masih terselimuti harus disatukan seperti zaman masih bersih.
Diakhiri oleh titah beliau “Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang! Segeralah bertindak tapi jangan menengok ke belakang. Sabab talaga bakal bedah. Karena telaga akan segera jebol
Hmm. Jadi, siapapun yang akan membuka kembali ilmu pengetahuan yang terselimuti itu, harus bertindak sebelum huru hara besar datang.
Kalau sudah melangkah jangan lihat ke belakang jangan diartikan melarang melihat masa lalu. Masa lalu justru kunci melihat kondisi sekarang dan tren masa depan.***