JAKARTASATU.COM — Parah sebuah reklame banner yang membranding sebuah produk telco milik kelompok Sinar Mas (Smartfren) tak bayar namum membungkus warung kuliner terpandang, ternama dan penuh sejarah di Bandung.
Branding iklan liar tersebut tetiba muncul tanpa babibu, main ukur meja, dinding dan media alternatif lainnya yang bisa dibranding di warung kuliner yang ada di pasar Cihapit tersebut. Mereka beralasan harus segera dipasang karena akan datang pentiggi negeri ke pasar Cihapit itu.
Tanpa ijin main pasang bahkan tidak mau membayar juga. “Kita binggung semua di pasang iklan itu dan suruh difoto saat petinggi tersebut pas ada di warung itu,” keluh anak pemilik Warung bersejarah tersebut kepada media. Kini warung kuliner yang populer dan penuh sejarah di Bandung tersebut, Warung Makan “Ma/Ibu Eha” telah dipenuhi dengan branding Smartfren.
Dimana-mana, di pinggir-pinggir warung di pasang banner Smartfren, termasuk di semua meja yang ada di situ. Tentu saja dari sudut pandang kebutuhan promosi sebuah brand, kedatangan petinggi negeri merupakan momen yang sangat bagus.
Sayangnya, Smartfren melakukannya secara tak beradab. Mereka memasang branding seenaknya seperti branding liar bahkan tanpa memberikan kompensasi ke warung Ma Eha yang dibranding.
Apakah ini cermin kekejaman sebuah brand besar nasional yang tidak mau membayar?
Pemasangan iklan atau promosi dari sektor pajak tentunya termasuk jenis reklame yang harus mentaati aturan perpajakan.
Tentunya dalam hal ini branding Smartfren tersebut bisa digugat karena merupakan jenis iklan komersil berbentuk reklame, spanduk, rontek yang dipasang di area publik. Anehnya branding Smartfren tersebut dipasang di tempat tanpa izin alias liar bahkan tidak memberikan kompensasi pembayaran.
Mengomentari kasus tersebut, pemerhati periklanan WA Wicaksono mengatakan secara otomatis apa yang dilakukan Smartfren tersebut bisa disebut sebagai iklan liar dan harus ditindak.
Apalagi para pemasang iklan-iklan komersial tersebut tidak mentaati kode etik periklanan, melanggar aturan perundangan yang diterapkan seperti kewajiban untuk membayar atau memberikan kompensasi terhadap pemilik titik lokasi dan menunaikan kewajiban membayar pajak reklame kepada pemerintahan yang memegang otoritas di daerah tersebut.
“Memang ada beberapa kasus khsusus semisal adanya beberapa iklan yang sifatnya temporer untuk kepentingan sebagai iklan layanan masyarakat (PSA), bisa tidak memiliki izin serta tidak membayar pajak reklame ke pemerintah, namun pesan yang disampaikan harus untuk kepentingan masyarakat dan bukan untuk keuntungan branding atau komersil semata. Kalau brand besar sekelas Smartfren semestinya sangat tak layak kalau mau gratis dan seenaknya pasang, ini tidak etis. Sudah semestinya warung tersebut diberikan kompensasi dari Smartfren,”ujarnya.
Reklame berbentuk banner, spanduk atau bentuk-bentuk iklan kreatif lainnya, saat ini memang banyak dilakukan oleh pengiklan dengan memanfaatkan momentum-momentum yang memiliki target potensial yang mereka bidik.
Kasus iklan seperti yang terjadi di warung Ma Eha itu kalau dilakukan secara serius boleh jadi bisa menunjukkan angka yang besar, bisa mencapai kisaran Rp 100- 600 juta pertahun. Karena itu, harusnya kasus yang seperti itu tidak dibiarkan terhadap kebutuhan pemasangan iklan komersial. Baik pemasangan iklan komersial yang ada di dalam pasar atau lapak-lapak kuliner, harusnya memenuhi kewajiban untuk membayar fasilitas yang dimanfaatkan sebagai titik iklannya. Walaupun berupa papan iklan yang menuliskan nama warung atau identitas tempat kulinernya.
“Sudah seharusnya, instansi atau pihak-pihak yang terkait segera melakukan penertiban terhadap papan iklan yang tidak berizin apalagi tidak memberikan kompensasi sehingga dikeluhkan masyarakat sebagai iklan liar,” imbau pemerhati kreatif iklan ini.
Ada kabar bahwa saat ini pihak Smartfren Bandung atau Jabar lagi baru mau lobby dengan pihak keluarga kuliner terkenal di Bandung ini. Nah untuk Smartfren mana tanggung jawabmu haruda lebih beradab??!!! (red/JAKSAT-RNZ)